PK NEWS Pada suatu sore yang penuh semangat di Bogor, penulis bersama beberapa rekan dari Pewarna Indonesia berkesempatan berbincang santai dengan Sugeng Teguh Santoso, seorang anggota DPRD Kota Bogor periode 2024–2029, yang juga dikenal sebagai Ketua Indonesia Police Watch (IPW) dan Sekretaris Jenderal Peradi. Sosoknya tidak hanya menarik karena kiprahnya dalam advokasi hukum dan politik, tetapi juga karena pemikiran tajam serta keberanian dalam menyuarakan kebenaran yang berpihak pada rakyat.
Berdasarkan pengalaman penulis berinteraksi dengan seorang Sugeng, penulis dapat menilai bahwa beliau adalah seorang aktivis dengan gaya bicara lugas dan tanpa basa-basi, menyampaikan kritik keras terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan masyarakat kecil.
Yang menjadi salah satu sorotan utamanya adalah wacana pengampunan bagi pelaku korupsi. Baginya, gagasan tersebut adalah pengkhianatan terhadap perjuangan demokrasi dan keadilan. “Pelaku korupsi tidak boleh dimaafkan,” tegasnya.
Pernyataan ini seolah menjadi tamparan keras bagi siapa pun yang masih memandang remeh dampak destruktif korupsi terhadap bangsa ini.
Lebih lanjut, Sugeng menyinggung kebijakan pengelolaan lahan seluas 25,6 juta hektare dalam program ketahanan pangan. Di balik narasi kesejahteraan yang dielu-elukan pemerintah, ia melihat bahaya besar: deforestasi masif, konflik agraria yang meluas, serta pelanggaran hak asasi manusia. “Ini bukan soal kesejahteraan rakyat, tetapi soal korporasi besar yang menjarah sumber daya alam kita,” katanya lantang. Ucapan ini tidak hanya menggugah kesadaran, tetapi juga mengundang refleksi: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kebijakan semacam ini?
Dalam diskusi kami, Sugeng juga menyoroti isu perlindungan masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan. Baginya, hutan bukan sekadar aset ekonomi, tetapi warisan kehidupan yang harus dijaga bersama. Ironisnya, RUU Perlindungan Masyarakat Adat telah mangkrak selama 13 tahun tanpa kejelasan. “Ketidakseriusan pemerintah dalam isu ini menunjukkan betapa kuatnya kepentingan investasi yang menomorduakan hak rakyat,” ujarnya.
Ketika berbicara tentang program makanan bergizi yang digagas Presiden Prabowo Subianto, Sugeng mengapresiasi langkah tersebut, tetapi dengan catatan tajam: tanpa anggaran memadai, program itu hanya akan menjadi janji kosong. Ia pun mengkritisi kenaikan pajak yang membebani masyarakat, termasuk dirinya yang kini harus membayar pajak hingga 17 juta rupiah per bulan. Dengan nada bercanda tetapi tetap serius, ia menyindir kebijakan fiskal yang sering kali memberatkan rakyat kecil sementara kebocoran anggaran dan korupsi masih merajalela.
Sugeng menyampaikan gagasan radikal yang patut direnungkan: “Pertobatan nasional adalah solusi untuk memberantas korupsi.” Baginya, pemberantasan korupsi tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga transformasi moral bangsa. Tanpa perubahan sikap yang mendasar, praktik busuk di balik layar politik akan terus berulang.
Di tengah derasnya arus politik pragmatis yang mengutamakan citra daripada substansi, Sugeng adalah oase yang menawarkan keberanian dan integritas. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan pemerintahan bukan diukur dari penampilan megah di panggung, tetapi dari langkah nyata yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Pertemuan ini menyisakan kesan mendalam dan inspirasi besar. Sugeng Teguh Santoso adalah bukti bahwa masih ada politisi yang berani berdiri di sisi rakyat, menolak diam, dan melawan korupsi hingga titik penghabisan.
Dialog dengannya mengajarkan bahwa perjuangan tidak mengenal kata selesai—ia adalah panggilan abadi untuk mereka yang mencintai kebenaran dan keadilan, mungkin masih banyak Sugeng – sugeng lain diluar sana yang mencintai negeri ini dengan cara dan argumentasi dalam menarasikan perjuangan yang berpihak di garis Rakyat…. Apakah salah satunya itu adalah Anda dan kita???
Oleh: Ashiong P. Munthe Ketua Litbang PP Pewarna Indonesia
Editor #RomoKefas
#SetiadiGarisRakyat #HukumMenjadiPenglimaIndonesiaBerdaulat
#PertobatanNasional
#SikatKoruptor