Mencari Wiji Pitu sebagai Wiji Astuti Kangjeng Kijahi Sadrach Soerapranoto (1)

Spread the love

Pelitakota.Id| Sukra Jenar, 18 September lalu, Rasul Frans Selawa dari Gereja Kristen Kerasulan Indonesia (GKKI) berkunjung ke GKJ “Kijahi Sadrach” Karangyasa. Sebagai pewaris iman Sang Kijahi, beliau sengaja mengambil waktu khusus untuk mengunjungi tempat leluhur iman mereka, Kijahi Rasul Sadrach Soerapranoto. Apalagi dengan jabatan rasul yang baru saja diterimanya. Menyempatkan diri napak tilas kehidupan Sang Kijahi seperti menjadi panggilan bagi Rasul Frans yang berdarah Maluku ini.

Menarik bahwa dalam kunjungan itu Rasul Frans menanyakan misteri “Wiji Pitu” sebagai wasiat dari Kijahi Sadrach. Wasiat yang bisa disebut sebagai wujud benih (wiji) kebaktian (astuti) Sang Kijahi kepada Gusti Yesus Kristus, Pangeraning Triloka. Pertanyaan yang akhirnya belum menemukan jawaban yang memuaskan. Tanda bahwa bagi siapapun yang merasa mewarisi iman Sang Kijahi perlu terus mencari isi dari “Wiji Pitu” tersebut. Dan, tentu saja upaya mencari itu juga menjadi panggilan dari GKKI.

Seperti diketahui, GKKI adalah Gereja yang memiliki kesetiaan lebih dengan Sang Kijahi yang akhirnya memilih bergabung dengan Hersteld Apostolische Gemeenten (Gereja Kerasulan). Pilihan yang tidak sederhana, mengingat eksistensi Golongane Wong Kristen Kang Mardika kala itu tidak diapresiasi oleh kaum Zending dan antek-anteknya. Dengan pilihan itu, Sang Kijahi pun diteguhkan menjadi Rasul untuk Tanah Jawa, ditandai Perayaan Ekaristi pada Minggu, 30 April 1899. Artinya, Sang Pendiri Golongane Wong Kristen Kang Mardika ini pada akhir hayatnya adalah pengikut Gereja Kerasulan. Gereja yang menganugerahkan jabatan rasul kepada Sang Kijahi. Gereja yang kemudian justru ditinggalkan oleh anak angkatnya, Yotham Martoredjo, yang sebenarnya sudah diteguhkan menjadi rasul pada 13 April 1925. Hal yang pantas dimaklumi, karena bagaimanapun Yotham dididik oleh Zending Belanda dengan sangat baik.

Untunglah, ketika Gereja Kerasulan Sadrach hendak ditinggalkan, ada sosok Kefas Citrowiryo yang tetap bertahan. Dia memilih memisahkan diri dari kepemimpinan Yotham Martoredjo yang sepeninggal Sang Kijahi justru bergabung dengan Zending NGZV. Jadilah pada 1933, Kefas Citrowiryo yang tidak mau tunduk pada Zending, memilih melanjutkan Gereja Kerasulan Sadrach di Ketug, tidak jauh dari Karangyasa. Kefas Citrowiryo inilah yang menurut tradisi kerasulan jemaat Sadrach menjadi rasul ketiga. Dalam perkembangan, Gereja Kerasulan yang dipimpin Rasul Kefas Citrowiryo ini, sejak 1968 resmi bernama Gereja Kristen Kerasulan Indonesia.

Sekalipun menurut analisa Yotham seperti ditulis S.H.Soekotjo, jemaat kerasulan ini secara perlahan makin berkurang jumlahnya, namun kenyataannya lebih berkembang ketimbang GKJ Karangjoso. Hal ini nampak dengan keseriusan GKKI memelihara “Kumpulan Gedhe” setiap malem Tahun Baru sebagai salah satu “Wiji Pitu” yang menjadi wiji astuti Kijahi Sadrach Soerapranoto. Dalam Kumpulan Gedhe itu, semua warga kerasulan dari seluruh penjuru nawadewata berkumpul di Ketug untuk merayakan Natal dan pergantian Tahun Masehi. Ritus Sakramen dan pelantikan Imam dirayakan dengan penuh astuti, selain Perjamuan Kasih hasil dari persembahan syukur umat dari mana-mana. Tanda dari umat kerasulan yang melimpah dengan ucapan syukur, semangat memberi dan pangastuti. Itulah wujud bahwa nyala api kasih persaudaraan sejati tetap dipelihara dengan segenap hati. Bahkan, demi melestarikan marwah Rasul Kefas Citrowiryo, Keluarga Besar Rasul Martosugondo telah menghibahkan tanah Gereja menjadi hak milik GKKI. |seti

*) Ditulis sebagai ucapan terima kasih atas kunjungan Rasul Frans dan rombongan Pdt. Nicko (GKJ Kabluk) ke GKJ “Kijahi Sadrach” Karangyasa. “Matur nuwun awit sampun kepareng rawuh nelakaken katresnan tulus.”

Tinggalkan Balasan