Mencari Wiji Pitu sebagai Wiji Astuti Kangjeng Kijahi Sadrach Soerapranoto Bagian (2)

Spread the love

Pelitakota.Id | Apa yang dikerjakan Keluarga Besar Rasul Martosugondo, dengan menghibahkan tanah untuk Gereja, sejatinya menjelaskan tentang kelanjutan “Wiji Pitu” yang menjadi wiji astuti Kangjeng Kijahi. Seperti diketahui bahwa puncak acintyabhakti Kangjeng Kijahi adalah ketika yasa Dalem Pamujan. Tempat khusus bagi Kangjeng Kijahi untuk melakukan maladihening hingga tempat untuk merayakan iman atas cinta-kasih Sang Maha Hyang Ilahi bersama para pengikutnya. Sebuah Sanggar Palanggatan yang mendekati usia 150 tahun. Begitulah persembahan hidup Kangjeng Kijahi yang bisa dimaknai sebagai kelanjutan wiji astuti beliau. Hal yang kemudian hari lebih diikuti oleh para pewaris ideologisnya.

Selain dari Keluarga Besar Rasul Martosugondo dari GKKI, salah satu warga Pepanthan Purwosari -yang dulu menjadi pepanthan GKJ Karangjoso sebelum bergabung dengan GKJ Kutoarjo- juga telah menghibahkan tanah pekarangan dan tanah sawah sebagai wujud acintyabhaktinya. Persembahan yang didorong tujuan mulia, supaya pekerjaan penyelamatan Allah terus lestari dikerjakan oleh Pepanthan Purwosari.

Begitulah ketika orang sudah mampu merasakan kenikmatan buah-buah Roh Kudus yang bernama kemurahan dan kebaikan hati. Orang demikian jelas jauh dari kata serakah dan rakus. Tidak heran bila menghibahkan tanah untuk Gereja menjadi laku hidup bhakti. Berbeda dengan orang yang masih dikuasai roh kerakusan yang berperilaku berkebalikan terhadap Gereja. Sejenis orang yang bukannya menghormati Gereja sebagai Sarira Dalem Sang Kristus, karena lebih mengutamakan perebutan harta duniawi dalam Gereja. Sikap hidup yang menyuburkan aneka macam konflik kepentingan karena memilih menjauhi cinta Kristus secara terstruktur, sistematis, dan massif. Persis yang dikatakan Dono kala itu: “Gile nDro…!”

Kembali pada kunjungan Rasul Frans dalam rangka mencari “Wiji Pitu” sebagai wiji astuti Kangjeng Kijahi. Memang menarik, karena ketika Rasul Frans menanyakan hal tersebut kepada generasi Kyai Yotham di Karangjoso, keberadaan “Wiji Pitu” tidak ada penjelasan. Dari fakta ini, saya merasa keberadaan “Wiji Pitu” mungkin perlu dicari ke dalam tubuh GKKI sendiri. Sebagai penerus Kijahi Rasul Radin Abbas Sadrach Soerapranoto melalui kepemimpinan Rasul Kefas Citrowiryo barangkali “Wiji Pitu” justru masih ada dalam tubuh GKKI.

Salah satunya adalah eksistensi “Kumpulan Gedhe” setiap menyambut Tahun Baru Masehi. Bukankah di balik “Kumpulan Gedhe” itu buah dari benih injil telah nampak melalui persembahan syukur menyelenggarakan “Kumpulan Gedhe?” Bagaimana jemaat yang sederhana itu dengan bhakti yang tinggi membawa bahan makanan dan segala macam persembahan demi terselenggaranya perayaan iman pada acara Kumpulan Gedhe tahunan. Dengan penuh antusias seluruh warga jemaat dari seluruh penjuru nawadewata yang tersebar dari Daerah Istimewa Yogyakarta hingga Jawa Barat berkumpul di Ketug. Tempat yang pernah didiami Rasul Kefas Citrowiryo sebagai rasul kedua setelah Rasul Sadrach Soerapranoto.

Salah satu keutamaan dari Kumpulan Gedhe tersebut adalah terselenggaranya Bojana Pirukunan. Pada awalnya, menurut catatan Adriaanse seperti dikutip S.H. Soekoetjo, makan bersama keakraban (Bojana Pirukunan) itu disediakan di rumah imam. Tentu setelah kebaktian tahun baru usai diselenggarakan di Gereja. Lewat pemaknaan Bojana Pirukunan itu, momen perayaan Tahun Baru pun menjadi ajang rekonsiliasi dan membangun kembali hubungan sosial di antara jemaat. Sebuah tradisi yang sampai hari ini dipelihara dengan baik oleh GKKI.

Pemandangan akan sedikit berbeda dengan yang terjadi di GKJ Karangjoso. Bila GKKI bisa menghadirkan seluruh umat dari seluruh penjuru nawadewata, tidak demikian yang terjadi di rumah Kijahi Sadrach Soerapranoto itu. Kini hanya segelintir orang yang melestarikan tradisi rekonsiliasi yang sudah kehilangan sentuhan Bojana Pirukunan tersebut. Memang mengherankan, ketika di kediaman Sang Kijahi justru makin sepi dari kebaktian dan ucapan syukur pada malam pergantian tahun Masehi. Hal yang berbeda sekali dengan antusiasme dari generasi Rasul Martosugondo -penerus tradisi hidup merasul Rasul Sadrach Soerapranoto dan Rasul Kefas Citrowiryo- yang berhasil menjadi simbol pemersatu GKKI. |seti

Oleh Pdt. Setiadi, GKJ Karangjasa

*) Ditulis sebagai ucapan terima kasih atas kunjungan Rasul Frans dan rombongan Pdt. Nicko (GKJ Kabluk) ke GKJ “Kijahi Sadrach” Karangyasa.

Tinggalkan Balasan