Sebanyak enam presiden dan 12 wakil presiden telah dilantik di Gedung Kura-Kura. Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka akan menjadi presiden ketujuh dan wapres ke-13 yang dilantik di gedung bersejarah tersebut.
Pelitakota.id Setiap lima tahun sekali bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden (wapres) serta anggota legislatif sebagai wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketika terpilih, baik pasangan presiden-wapres maupun anggota legislatif di tingkat pusat, apakah itu dari jalur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dilantiknya di Gedung Nusantara. Letaknya di dalam Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ada ciri khas dari gedung ini yang selalu diingat oleh bangsa Indonesia, yakni memiliki atap kubah berbentuk seperti cangkang kura-kura.
Gedung ini adalah titik sentral kegiatan dari Kompleks Parlemen Senayan dan menjadi saksi bisu bagi pelantikan sekitar 580 anggota DPR/DPD/MPR RI pada 1 Oktober 2024 atau peristiwa ke-13 kalinya, sejak pertama kali digunakan pada 1966. Gedung Kura-Kura, begitu masyarakat mengingatnya, juga bersiap menjadi saksi bisu pelantikan Presiden RI Kedelapan Prabowo Subianto dan Wapres Ke-14 Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024. Prabowo-Gibran menjadi pemimpin bangsa ketujuh yang pelantikannya dilaksanakan di Gedung Nusantara.
Sebelum ada Kompleks Parlemen Senayan, para wakil rakyat Indonesia beberapa kali berpindah lokasi. Sewaktu Sidang Umum pertama hingga ketiga MPR Sementara (MPRS) pada November 1960–April 1965 menggunakan Gedung Soiceit Concordia di Bandung. Gedung ini dikenal sebagai Gedung Merdeka yang pernah dijadikan lokasi perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika, April 1955. Ketika masih bernama DPR Gotong Royong (DPR GR), pusat kegiatannya ada di bangunan bekas Komando Urusan Asian Games (KUPAG) yang sekarang dijadikan kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sejatinya, Kompleks Parlemen Senayan adalah bagian dari megaproyek pembangunan kawasan terintegrasi Senayan yang dicetuskan oleh Presiden pertama RI Soekarno, pada 8 Maret 1965. Kawasan ini menjadi pusat Games of the New Emerging Force (GANEFO) dan Conference of the New Emerging Force (CONEFO) yang diadakan pada 1964 dan 1966. Soekarno pun menetapkan, Gelanggang Olahraga Senayan (sekarang Kompleks Gelora Bung Karno-red) sebagai tempat olahraga (sport venue), dan Kompleks Parlemen Senayan merupakan bangunan politik (political venue) berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 48 tahun 1965. Kedua kawasan ini letaknya didesain saling bersebelahan.
Tepat pada 19 April 1965 atau saat peringatan satu dasawarsa KTT Asia Afrika, dilakukan pemancangan tiang pertama Gedung CONEFO, demikian nama awal dari Kompleks Parlemen Senayan. Kegiatan itu dilakukan oleh Presiden Soekarno disaksikan perwakilan negara-negara peserta KTT Asia Afrika. Seperti dikutip dari buku Selayang Pandang Gedung DPR, Bung Karno meminta agar kompleks bangunan ini dibangun dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia dan harus mampu menjawab tantangan zaman ke depan. Presiden pertama RI juga meminta agar bangunannya menampilkan kemegahan sebagai sebuah karya rancang bangun unggulan putra putri Indonesia dan bisa memberi kesan tak terlupakan bagi peserta konferensi.
Bung Karno yang memimpin langsung sayembara desain Gedung CONEFO memilih karya arsitek ternama saat itu, Soejoedi Wirjoatmodjo, dengan menyisihkan tiga kandidat lainnya yang seluruhnya adalah perusahaan konsultan perencanaan, yaitu Binakarya, Virama Karya, dan Parentjana Djaja. Soejoedi menjadi satu-satunya perancang yang melengkapi desain dengan maket, sehingga memudahkan tim penilai mememahami wujud bangunan dalam bentuk tiga dimensi hingga bangunan selesai dikerjakan.
Desain awal Soejoedi menampilkan empat massa bangunan yang kini dikenal sebagai Gedung Nusantara, Nusantara II, Nusantara IV, dan Nusantara V. Menariknya, dalam desain asli karya Soejoedi, kompleks tersebut dilengkapi danau buatan agar tercipta unsur estetika untuk memantulkan bentuk kemegahan bangunan lewat bayangan dari permukaan danau. Sayangnya, danau buatan itu gagal terwujud.
Namun, situasi politik di tanah air pada masa 1965–1966 membuat pembangunan Gedung CONEFO terbengkalai, sebelum kemudian dilanjutkan kembali pada Juli 1967 sebagai proyek Kompleks Gedung Parlemen Senayan di atas lahan seluas 41,2 hektare (ha) dan selesai 8 tahun kemudian. Dimensi Gedung Nusantara sebagai bangunan utama berukuran 115×155 meter dengan kubah besar disangga dua busur raksasa berkaki empat. Jarak antara kaki busur depan dan belakang adalah 117 meter dengan lebar beton 180 sentimeter (cm) dan tinggi 280 cm. Soejoedi menggambarkan kubah raksasa itu sebagai sayap burung garuda dan di antara kubah dan dinding dipasang kaca seolah kubah tergantung tanpa penyangga.
Pada Mei 1998 ketika puluhan ribu mahasiswa melakukan aksi menduduki Gedung Parlemen Senayan, ratusan dari mereka berupaya menaiki kubah warna hijau seluas 7.000 meter persegi dan bertahan di atas selama beberapa hari. Aksi itu dihentikan karena muncul kekhawatiran bakal meruntuhkan kubah lantaran desain awalnya tidak disangga oleh beton baja. Kubah itu hanya berupa cor beton setebal 15 cm dan sejak semula tidak dirancang untuk menahan beban berat.
Untuk masuk ke dalam Gedung Nusantara ini, perancangnya mendesain tangga unik. Bentuk tangga utama yang serba luas dan terbuka lebar pada bagian luar Gedung Nusantara itu mencerminkan salah satu tradisi bangsa Indonesia dengan keramahannya dalam menyambut tamu. Khusus tamu VIP disiapkan akses pintu masuk ke bangunan utama pada bagian bawah tangga. Tangga utama Gedung Nusantara menandai terpisahnya ruang sidang utama dengan berbagai ruang pendukung pada lantai di bawahnya. Tersedia lima ruang untuk sidang komisi dan dua ruang cadangan.
Gedung ini telah bertahan dalam usia lebih dari separuh abad sebagai saksi bisu terciptanya rangkaian rekam jejak sejarah demokrasi bangsa Indonesia sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi. (*)