Pelitakota.Id | Ketika ditunjuk sebagai Kabareskrim di tahun 2019, tanda-tanda bahwa Komjen Listyo Sigit akan menduduki Trunojoyo 1 semakin tampak jelas. Alasan utamanya adalah, Presiden sang pemilik prerogative sangat dekat dengan mantan Kapolda Banten ini.
Sangat dekat, kenal dengan sangat baik, dan tentu saja prestasi pernah dia capai adalah modal positif tak banyak dimiliki oleh para pesaingnya.
Menangkap Joko Tjandra buron kakap tahunan itu mungkin dapat dijadikan salah satu rujukan dia berpreatasi. Namun alasan itu tak sehebat pengaruh dari rasa nyaman Presiden karena mengenal Listyo ini dengan baik.
Ini posisi sangat penting bagi Presiden. Posisi sangat vital keberadaan dukungan aparat pada orang nomor 1 di Indonesia tersebut maka prerogative melekat pada jabatan Presiden.
Sama dengan Panglima TNI Jendral Hadi Tjahyono yang mulai dikenal di Solo sebagai Komandan Landasan Udara Adi Soemarno, Listyo pun dikenal sejak menjadi Kapolres Solo pada 2011.
Keduanya dikenal Presiden sejak beliau menjabat sebagai Wali Kota Solo. Keduanya sangat penting harus dapat dipercaya untuk duduk pada jabatan super strategis itu.
Keduanya dikenal ketika sama-sama duduk pada level jabatan yang masih belum terlalu tinggi dan rasa saling percaya itu sudah dibina sejak lama. Kedekatan emosional diantara mereka tak lagi perlu dipertanyakan.
“Tapi dia minoritas kan?”
Jabatan Kapolres sebagai ukuran prestasi pernah dia lalui, bukan hanya satu kali saja. Tiga kali pada tiga Kota yakni Kapolres Pati, Kapolres Sukoharjo dan Kapolres Solo.
Kembali beliau memiliki kesempatan berdekatan dengan pak Jokowi ketika pada tahun 2014, dia ditunjuk sebagai ajudan Presiden.
Jabatan sebagai Kapolda Banten dan Kadiv Propam sebelum pada akhirnya dipercaya menduduki posisi strategis di Kabareskrim Polri pun sempat dilaluinya. Komplit bila ukuran calon Kapolri dijadikan sebagai salah satu rujukan.
Presiden Jokowi ingin Komjen Listyo Sigit Prabowo menjadi Kapolri bukan karena dia beragama apa. Sangat mungkin, Presiden lebih merasa nyaman bekerja bersamanya.
Secara politis, kadang agama seseorang memang sering menjadi acuan tak tertulis tapi penting. Namun pada tahun 1974-1978 Jendral Polisi Widodo Budidarmo seorang Kristen juga pernah menduduki posisi itu.
Tak ada aturan tertulis bahwa jabatan itu harus dididuki oleh seseorang yang beragama Islam misalnya. Tak ada keharusan agama menjadi ukuran pantas tidaknya seseorang menjabat sebagai Kapolri atau Panglima TNI.
Komjen Listyo Sigit Prabowo akan ditunjuk menjadi Kapolri bukan karena faktor agama yang diyakininya, namun 100% karena prerogative Presiden.
“Ohh..pantesan efpei dibubarin buru-buru. Pasti ada kaitanya dengan rencana penunjukan itu kan?”
Kalau teorinya gotak gatik gatuk, bukan mustahil itu terkait. Karena persidangan Rijik yang tak lama lagi harus dilaksanakan oleh Pengadilan pun akan dapat dihubungkan dengan pentingnya pembubaran tersebut.
Dapat dibayangkan bagaimana ramai ruang sidang dengan para pendukungnya yang masih berbadan hukum misalnya.
Betapa rentannya situasi keamanan kita dengan turunnya massa berjumlah ribuan dalam setiap sidang. Mereka punya alasan memobilisasi massa dengan bendera efpeinya.
Demikian pula dengan pengangkatan non muslim pada jabatan Kapolri, mereka akan merasa punya panggung tak berbatas, tak punya limit untuk pesta demo.
Namun, tak pantas kiranya bila segala sesuatu selalu harus dikaitkan. Sebaiknya cukup dimaknai sebagai prerogative Presiden saja.
Bahwa ada kesan Presiden Jokowi secara politik kini makin kuat posisinya dengan berani mengangkat seorang non muslim di tengah ramai penolakan sebagian dari mereka yang selalu garang padanya, itu kabar baik bagi arah pembangunan kita.
Itu kabar gembira sebagai ukuran perangnya melawan kaum intoleran yang selama ini seolah tak pernah berhenti menderanya terlihat dimenangkan. Itu kabar bagus bagi rasa tenang negara ini melanjutkan pembangunan.
Paling tidak, sinyal itu sangat terasa.
“Apa jaminan Kapolri baru ini lebih bagus dari calon yang lain?”
Paling tidak, Komjen Listyo Sigit sebagai Kapolri, dijamin lebih mampu menterjemahkan setiap perintah langsung maupun tak langsung dari Presiden. Dia sangat mengenal Presiden sebagai Panglimanya. Demikian sebaliknya Presiden.
Komunikasi sebagai acuan sukses pekerjaan yang diperkirakan akan sangat berat apalagi pada era pandemi yang arahnya semakin kompleks, tak akan mengalami kesulitan.
Keruntuhan ekonomi dunia, terutama pada banyak negara yang diakibatkan oleh pandemi yang tak tahu kapan akan berakhir ini, tak mungkin tidak, pasti akan memberikan dampak negatif. Dampak langsung maupun tidak langsung, pasti akan berimbas pada negara kita.
Akan ada banyak saling sikut antar negara demi siapa lebih dulu pulih. Akan ada banyak persaingan tak sehat dilakukan oleh negara mana pun demi selamat warga negaranya dari himpitan ekonomi tak sehat ini.
Situasi keamanan dunia bergerak pada titik sulit diprediksi.
Sudah dengar bagaimana Kapitalis penguasa dunia mulai gerilya? Dengar-dengar, George Soros sang arsitek bangkrut ekonomi dunia tahun 97 sudah mulai bergerak. Dan ingat, seperti apa cara bergeraknya, tidak akan ada orang pernah tahu.
Bukan hanya George Soros direktur Quantum Fund seorang akan sibuk berburu, akan ada Soros-Soros yang lain, yang jauh lebih gila yang berdiri di belakang kepentingan para kapitalis akan menyerbu tanpa kenal kata ampun.
Mereka bisa berubah menjadi apa saja. Hari ini dia hajar moneter kita, besok dia susupkan radikal agama demi saling pukul kita sebagai sesama anak bangsa, tak ada yang tahu. Dia luar biasa pintar dan duitnya tak kenal kata habis.
Itulah makna penting situasi aman harus terkendali di dalam Negeri. Itulah makna penting kontrol Presiden pada sang Kepala Keamanan di dalam negerinya terjaga. Itulah makna Komjen Listyo Sigit Prabowo adalah orang paling tepat sebagai Kapolri.(PN)