Menurut Takakusu Junjiro, Profesor Emeritus bahasa Sanskerta dari Universitas Imperial Tokyo, kata ullambana berasal dari perubahan kata dalam bahasa Pali ullumpana yang berarti menaikkan, menyelamatkan, menolong kemudian menjadi ullumbana lalu menjadi ullambana. Ullambana dalam bahasa Mandarin disebut yú lán pén (盂蘭盆) yang berarti mangkuk, baskom, bajan persembahan leluhur. Pada tradisi Tionghoa, setiap bulan ke-7 (Cit Gwee) penanggalan Imlek dianggap sebagai Bulan Hantu. Pada masa tersebut, terdapat beberapa larangan seperti pindah rumah, pesta pernikahan, hingga larangan menengok saat ada yang memanggil. Dalam tradisi Mahayana Tiongkok, ullambana diperingati pada setiap tanggal 15 bulan Cit Gwee.
Meskipun berkaitan dengan adanya kisah hantu kelaparan (peta), Ullambana bukan merupakan Festival Hantu Kelaparan (Zhong Yuan Jie) yang dipercaya bahwa para hantu dibebaskan dari neraka untuk berkeliaran di dunia mencari makanan pada bulan ke-7. Peringatan hari Ullambana berdasarkan pada Ullambana Sutra (Fú Shuō Yú Lán Pén Jīng) yaitu sutra mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna). Hari Ullambana pada dasarnya adalah Hari Pravarana (mengundang), yaitu hari penanda berakhirnya masa varsa (Pali: vassa – retret musim penghujan) selama tiga bulan bagi para bhiksu. Pada Hari Pravarana ini para bhiksu berkumpul dalam komunitas dan melakukan pengakuan atas kesalahan mereka satu sama lain dan saling menasihati.
Wujud Bakti. Kisah tentang Bhiksu Moggallāna yang sedang meditasi kemudian melihat mendiang ibunya terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya.
Terdorong oleh rasa bakti kepada sang ibu, Bhiksu Moggallāna melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan ibunya. Namun segala usaha yang dilakukan menemui kegagalan. Kemudian Bhiksu Moggallāna menemui Buddha, menyampaikan apa yang dialami dan memohon nasehat. Satu-satunya cara yang disarankan Buddha dalam membantu sanak keluarga yang lahir kembali di alam peta adalah dengan mempersembahkan dana kepada sangha. Dengan membuat persembahan dana kepada sangha yang telah memurnikan diri selama masa varsa, maka seseorang dapat membantu mendiang sanak keluarga yang terlahir di alam peta. Cara ini disebut dengan pelimpahan jasa (pattidana) melalui sangha. “Jika seseorang dapat mempersembahkan dana-dana kepada Sangha pada Hari Pravarana tersebut, ayah dan ibunya pada masa kehidupan sekarang, orang tuanya dari keenam generasi yang lampau, akan terbebas dari tiga alam penderitaan” (Ullambana Sutra).
Seseorang pasti memiliki rasa sayang kepada orang tua, seperti halnya Bhiksu Moggallāna. Orang tua adalah sosok paling berjasa dalam hidup seseorang yang tak ternilai. Bagi setiap orang, berbakti kepada orang tua adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. Bakti kepada orang tua dapat dilakukan kapanpun tanpa ada batas waktu baik ketika orang tua masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
Kuatnya Jasa Kebajikan. Upacara ullambana mengajarkan untuk senantiasa melakukan kebajikan. Niddhikanda Sutta menyebutkan bahwa kebajikan adalah harta karun yang paling berharga. Hanya kebajikan yang dapat dilimpahkan kepada seseorang yang telah meninggal. Energi kebajikan adalah energi yang sangat kuat yang dapat melampaui ruang dan waktu menjangkau alam-alam kehidupan. Pelimpahan jasa kebajikan adalah upaya kausalya untuk menolong banyak makhluk.
Sebagaimana Buddha mengajarkan dalam Metta Sutta agar kita memancarkan cinta kasih untuk kebahagaiaan semua makhluk. Demikian halnya dalam Tirokudda Sutta, Buddha mengajarkan untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhur dan semua makhluk agar mereka dapat terbebas dari penderitaan. Inilah bukti kuatnya energi jasa kebajikan. Sementara ullambana adalah wujud aplikasi tentang kuatnya energi jasa kebajikan melalui pelimpahan jasa kepada para leluhur dan semua makhluk.
Meto Sarono, S. Ag. (Penyuluh Agama Buddha PNS Provinsi Kalimantan Barat)