SEPENGGAL CERITA DARI PAPUA BARAT: SATU TUNGKU TIGA BATU

Spread the love

Lumajang – Hari itu PJ. Gubernur Papua Barat, Ali Baham Temongmere baru saja mendarat dari London di Bandara Sukarno Hatta,  dan beliau segera melanjutkan perjalannya lewat udara ke Surabaya.. Dari Surabaya langsung melanjutkan perjalanannya melalui darat, menuju Lumajang guna menghadiri malam.Pemganiverahan PEWARNA INDONESIA AWARD (Apresiasi Pewarna Indonesia) 2024. Acara tahunan ini digawangi oleh Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) Indonesia.

Kepada awak media beliau sampaikan  terkait “SATU TUNGKU TIGA BATU” sebuah filosofi kearifan lokal dari Fakfak Papua Barat. Berikut ujar biau:
Sembari mengutip syair lagu, beliu mengawali kisahnya.  “Kota Fakfak tempat berjuta pala di sana. Terkenal sejak dulu sebagai kota perjuangan. Bumi Cenderawasih, Tanah Papua negeri tercinta. Daerah yang penuh kedamaian hidup dalam toleransi. Terikat dalam tatanan adat. Banyak tokoh lahir di sani.” (Cuplikan syair lagu “Kota Pala” Fakfak” dari album Black Sweet Vol. 2)

Lebih lanjut beliau sampaikan.  Sebagaimana tertulis dalam syair lagu ” Kota Pala Fakfak” tersebut: ” ….Daerah yang penuh kedamaian…. Hidup dalam toleransi.” Adalah suatu hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Fakfak.

Sebagai putera Fakfak, saya mengalami dan merasakan sendiri bagaimana kedamaian, toleransi, dan keharmonisan hubungan antar pemeluk agama yang berbeda-beda tersebut terjadi dan terawat dengan baik, bahkan suasana suasana tersebut terjadi dalam lingkup keluarga.

Keluarga besar kami, Temongmere, memiliki tiga agama yang berbeda. Saya beragama Islam, sedangkan keluarga saya  beragama Katolik dan Kristen Protestan. Tidak ada masalah sama sekali yang lain soal perbedaan agama tersebut. Biasa saja, bahkan menjadi sebuah isu pergunjingan pun tidak pernah.

Sebaliknya, kami saling mendukung, misalnya ketika akan dilangsungkan sebuah kegiatan keagamaan., kami saling membantu, bergotong royong, agar acara berlangsung dengan sukses. Di antara kamin sudah tau tentang aturan makanan. Saudara-saudara kami yang Kristiani memasak untuk kami ditempat tersendiri dengan peralatan masak dan penghidangan yang khusus untuk kami.

Semua dilakukan dengan penuh rasa kekeluargaan dan kegembiraan. Tidak ada yang bersungut-sungut ataupun mencibir hal itu. Soal pernikahan, orang tua pun membebaskan anaknya untuk milih Agama yang akan dianutnya demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga anak-anak mereka. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, ada orang tua yang ‘membagi’ agama anak-anak – Islam, Kristen, Katolik – Agar seimbang demi menjaga harmoni keluarga dan adat budaya.  (QQ)

Tinggalkan Balasan