Pelitakota.Id
Keberadaan BMPS & Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta
Peringatan 75 tahun Kemerdekaan RI, merupakan momentum tepat untuk melakukan refleksi dari perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia dimana ditengah perjalanannnya diwarnai pula dengan merebaknya pandemi Covid-19, yang tidak hanya merubah budaya interaksi tiap-tiap individu manusia, tetapi juga merubah tatanan budaya bangsa dan negara.
Aktivitas rutin untuk jumpa/tatap muka dengan para peserta didik disekolah, tak ayal berubah pula menjadi komunikasi via aplikasi-aplikasi daring. Begitu pula dengan proses pembelajarannya berlangsung secara daring demi melakukan social and physical distancing guna memutus mata rantai penyebaran Virus Korona.
Mempertimbangkan kenyataan sejarah, haruslah diakui bahwa keberadaan Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta memiliki jasa yang cukup besar terhadap republik tercinta ini. Perguruan Swasta (Sekolah/Madrasah), selain kelahirannya sebagian besar mendahului yang bersatus negeri, juga telah menjangkau di wilayah-wilayah yang belum dijangkau oleh layanan Pemerintah jasanya demikian besar. Pengabdian organisasi sosial/keagamaan seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Ma’arif NU, Katolik, dan Kristen terhadap bangsa ini di bidang pendidikan sudah tidak terhitung lagi. Tetapi memang zaman selalu berubah. Tuntutan masyarakat sudah berbeda dari zaman-zaman sebelumnya. Sehingga, siapapun, baik yang telah berjasa maupun yang akan berjasa, dituntut untuk mengikuti tuntutan masyarakat yang selalu berubah itu.
Sejak merebaknya wabah pandemi covid-19 dibulan Maret 2020 sampai sekarang ini, para peserta didik sulit mendapatkan akses untuk belajar, karena kendala pada infrastruktur pembelajaran (internet, perangkat ponsel pintar dan laptop). Perangkat pembelajaran ini begitu terasa sebagai barang mewah bagi anak didik khususnya yang tinggal di kawasan tertinggal, terluar, danterdepan (3T). Orang tua mereka, lebih memilih beli beras dari pada beli kuota pulsa yang haltersebut tidak cukup hanya diatasi dengan dana BOS, terlebih tidak pula cukup hanya dengan mengisi kuota pulsa bagi para peserta didik. Meski bagi orang tua murid pada tataran menengah ke atas, membeli perangkat pembelajaran PJJ tidak ada masalah.
Kondisi di daerah kawasan 3T saat ini, tidak dapat dilaksanakan proses pembelajaran dengan tatap muka, meski sebagian besar adalah daerah zona hijau dan kuning. Pembelajaran dengan daringpun tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya anak-anak di daerah 3T, praktis sudah hampir 6 bulan ini tidak belajar. Inilah yang sangat mencemaskan bagi masa depan anak anak Indonesia di daerah kawasan 3T, dengan kondisi seperti ini mereka akan semakin tertinggal.
Lebih jauh lagi, akibat dari pandemi ini, akan membawa ketidakadilan sosial yang semakin dalam dan melebar. Meskipun di beberapa tempat masih ada guru idealis yang datang ke rumah siswa untuk mengajar.
Oleh karenanya guna merefleksikan kelanjutan dari suatu perjuangan, BadanMusyawarah Perguruan Swasta (BMPS) beserta Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta sebagaianggotanya, menginginkan sekaligus mendorong Pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan bangsa yang sangat mendasar ini, yaitu tentang hak anak untuk mendapat kualitas pendidikan yang terbaik. Jika kita berharap anak-anakadalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini, maka sudah seharusnya pemerintah mengutamakan pendidikan anak dan berupaya melaksanakan kebijakan dan tindakan yang menunjukkan keseriusan pemerintah menangani situasi pendidikan saat ini.
Persoalan pendidikan di era wabah pandemi ini, hanya dapat diatasi bila negara menjadikan pembelajaran berbasis teknologi digital sebagai hak asasi dalam era 4.0, yang implikasi dari semua itu, negara harus dapat menyediakan perangkat pembelajaran berbasis digital yang murah, bahkan gratis di sekolah/madrasah, khususnya pada daerah kawasan 3T.
Jika tidak ada campur tangan pemerintah dalam pengadaan perangkat pembelajaran ini, maka dapat dipastikan bahwa perangkat tersebut, akan tetap menjadi perangkat pembelajaran mewah, yang akan berakibat semakin tertinggalnya anak-anak di daerah kawasan 3T dalam mengakses berbagai sumber informasi dan pengetahuan.
Dari pengamatan BMPS, selain problem peserta didik, masih ada problem lain di daerah kawasan 3Tyaitu :
- Banyak guru yang masih gagap teknologi, kenyataan ini mempengaruhi pelaksanaan pendidiikan jarak jauh pada masa ini. Pada daerah 3T guru tidak memiliki alat-alat komunikasi dan teknologi yang dapat menunjang pelaksanaan pembelajaran. Disamping itu akses internet belum merata pada semua daerah. Hal ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi guru dan orang tua. selain itu;
- Orang tua murid gagap menghadapi pembelajaran online ini karena mereka dituntut untuk mendampingi anak-anaknya dalam belajar. Orang tua terbiasa menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada sekolah. Karena itu, ketika mereka diminta tanggung jawab untuk membantu guru-guru dalam mendidik anaknya, banyak keluhan muncul pada media sosial. Bahkan untuk daerah kawasan 3T, praktisnya orang tua sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendampingi anak anak mereka dalam proses pembelajaran.
Dengan tersedianya perangkat pembelajaran berbasis teknologi digital oleh pemerintah, dapat dipastikan bahwa anak didik kita akan semakin maju dan mampu menerapkan keterampilan di abad ke-21.
Lebih lanjut “Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka (Quo Vadis Sekolah Swasta)” patut dijadikan bahan renungan bahwa telah sekian lama Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta berjuang dalam upaya turut mencerdaskan kehidupan bangsa, kemudian timbul ancaman gulung tikar terhadap Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta di Indonesia. Sesungguhnya sejak Era Reformasi, fenomena itu makin menguat. Sebelumnya perhatian Pemerintah terhadap Sekolah Sewasta/Madrasah/Seminarium cukup besar baik melalui dukungan fisik (sarana dan prasarana) mau pun penyediaan Guru-Guru PNS (yang biasanya disebut Guru DPK). Meski dirasakan persentase Guru PNS tersebut dalam mendukung Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta masihmembutuhkan kajian mendalam untuk ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Bukan malah ditarik oleh Pemerintah.
Pada masa Presiden Gus Dur, dukungan dana untuk BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) sebagai wadah berhimpun Perguruan Sekolah/Madrasah Swasta yang sudah berdiri sejak 1971, dihentikan dengan beberapa alasan, walaupun secara filosofis patut diselami lagi perlunya peninjauan kembali terhadap penghentian dan problematika tersebut. Semula, dana untuk BMPS Pusat disalurkan Pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara, sedangkan di beberapa daerah disalurkan melalui Pemprov setempat. Selama pemerintahan Presiden Gus Dur, dukungan Pemerintah (baik pusat mau pun daerah) kepada Sekolah-Sekolah Swasta praktis ditiadakan. Diakui bahwa walaupun di beberapa daerah terdapat guru DPK yang ditarik oleh Pemerintah untuk selanjutnya ditempatkan di sekolah-sekolah negeri, namun beberapa di antaranya masih tetap melayani di Sekolah-Sekolah Swasta. Hal ini patut dipikirkan lebih jauh, apakah dengan masalah ini justru merupakan upaya pelemahan terhadap Sekolah-Sekolah Swasta dan bukanlah upaya “pendewasaan” Sekolah-Sekolah Swasta. Dalam bentuk lain, Pemerintah tega-teganya menempatkan Guru dari Sekolah Swasta yang lulus/masuk PNS di tugaskan mengajar ke Sekolah-Sekolah Negeri. Bukan justru dijadikan penguat bagi Sekolah-Sekolah Swasta. Sungguh menyedihkan.
Harusnya Pemerintah mau mengakui bahwa Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta selama ini telah banyak mengkader guru kemudian menyumbangkannya kepada Sekolah Negeri. Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta memiliki peran plus, selain mendidik murid-murid, juga mencetak Guru-Guru Professional dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk praktik mengajar. Setelah menjadi PNS, mereka dipindahkan/ditugaskan ke Sekolah Negeri. Menghadapi kenyataan ini Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta tak dapat berbuat apa-apa. Sekolah Negeri tinggal terima matangnya, karena guru yang hadir sudah memiliki pengalaman mengajar. Dampak dari kebijakan tersebut, jurang pemisah antara Sekolah Negeri dan Swasta semakin lebar.
Mengembalikan posisi Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta sebagai mitra Sekolah Negeri rasanya lebih rasional dan adil. Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta yang merupakan bagian dari pilar Pendidikan Nasional sudah semestinya mendapatkan bantuan tenaga pengajar yang digaji negara. Dengan demikian, dapat meringankan beban Sekolah Swasta. Anak-anak yang dididik di perguruan swasta adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan anak-anak yang ada di sekolah negeri. Oleh karena itu mereka berhak memperoleh perhatian dari negara berupa dukungan terhadap guru-guru yang mengajar mereka.
Sejak kebijakan Pemerintahan Gus Dur, tercatat cukup banyak Sekolah Swasta di berbagai daerah – termasuk di DKI Jakarta yang “gulung tikar” hingga saat ini. Sewaktu Penulis masih aktif di MPK (Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia) sebagai Sekretaris Umum, Penulis amati dari dekat bagaimana sekolah-sekolah Kristen berguguran di berbagai daerah. Penulis memperoleh informasi faktual mengenai keadaan itu dari berbagai daerah. Sekolah-sekolah Kristen yangdidirikan oleh berbagai gereja jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, tidak banyak yang sanggup bertahan hidup. Hal itu terjadi di Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, NTT, Maluku dan Papua yang kesohorannya sudah sebatas “legenda.”
Perlu direnungkan, apakah lenyapnya Sekolah-Sekolah Swasta tersebut dapat disebut sebagai kebanggaan, sebab berhasil “melenyapkan” sisa-sisa buah karya para pejuang kemerdekaan atau justru kegagalan untuk merawat warisan dari generasi sebelumnya, yang secara konkrit telah melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi teladan bagi masyarakat dan bangsa ini ? Demikian juga “nasib” Sekolah/Madrasah Swasta yang berguguran, yang Penulis amati dengan seksama sewaktu aktif mengambil bagian di BMPS Pusat/Nasional sebagai Sekretaris Jenderal selama dua periode hingga tahun 2018. Tidak seberapa yang bertahan hidup dan berkembang. Sungguh tragis dan memilukan!
Ada pihak yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena “masalah internal” Sekolah/Madrasah Swasta itu sendiri, misalnya “salah urus” dan “tidak berkualitas”. Ada pula yang disebut sebagai akibat problematika antara pengelola dengan penyelenggara/yayasan-nya. Namun menurut Penulis, tidak begitu saja dapat disimpulkan sesederhana itu, apalagi ada penyebab lainnya dan ini berdampak jauh lebih besar yakni regulasi dan kebijakan Pemerintah sejak saat itu yang “tidak lagi memihak” pada Sekolah/Madrasah Swasta sebagaimana masa sebelumnya. Bisa juga terjadi atas kehendak para birokrat di bidang pendidikan nasional yang tidak memahami sejarah bahwa jauh sebelum kemerdekaan RI, Sekolah Swasta/Madrasah/Seminarium sudah eksis mendidik anak-anak bangsa. Bahkan lembaga-lembaga itu di berbagai daerah sudah menjadi pusat-pusat perjuangan kemerdekaan RI. Alumninya turut serta mengisi kemerdekaan dari dulu sampai sekarang. Ketidaktahuan itu, barangkali, yang membuat pencetus regulasi dan pengambil kebijakan tersebut tidak peduli terhadap eksistensi, karya pengabdian dan keberlanjutan Sekolah/Swasta. Pertanyaan besarnya di sini adalah bagaimanakah sejatinya Politik Hukum Pendidikan Nasional ? Apakah kita lupa akan ucapan Bung Karno yang mengatakan: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JASMERAH)?” Atau sebagaimana ditengarai beberapa sastrawan kita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa ?
Masih ada Sekolah Kristen yang bertahan hidup bahkan berkembang, terutama yang didirikan Gereja atau Lembaga Keumatan Kristen atau beberapa warga masyarakat Kristen. Tetapi persentasenya relatif kecil dan selalu diberi stigma sebagai sekolah mahal, meskipun ada di antaranya yang melakukan subsidi silang demi membantu kalangan ekonomi lemah. Keberadaan sekolah mahal ini pun akhir-akhir ini terbentur pada semakin menurunnya siswa dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas yang dapat diandalkan untuk menyokong anak-anak dari keluarga ekonomi lemah tadi.
Ada pula Sekolah Swasta yang di belakangnya ada perusahaan besar (raksasa). Biasanya sekolah tersebut tidak terlalu sudi “bergaul” bersama dalam himpunan Sekolah Swasta lainnya, yang lebih lemah secara ekonomis, justru cenderung jalan sendiri karena merasa superior. Bahkan ada di antaranya yang didirikan untuk meraup keuntungan ekonomis, katakanlah berupa “industri pendidikan.” Berkualitas ya berkualitas, tapi targetnya adalah anak-anak orang kaya. Bahkan ada yang membekali para peserta didiknya dengan 2-3 bahasa dan “kelebihan” lain yang sifatnya mendunia. Mungkin sekali mereka tidak punya perhatian pada keindonesiaan dan tak pelak lagi dapat membuahkan hasil anak-anak Indonesia yang lebih suka studi keluar negeri, lalu bekerja di sana hingga akhirnya menyeberang menjadi warga negara tersebut. Bicara soal nasionalisme dan solidaritas kepada sekolah tersebut bak upaya menggantang asap sebab hampir tidak ada kepedulian pada anak-anak bangsa yang berekonomi lemah dan mereka yang tergolong “kurang pintar.” Pendekatan mereka yang bersistem pure business atau business as ussually, tidak lebih dari itu.
Industri pendidikan yang berkaitan dengan kapitalisme akan menghancurkan bukan hanya sendi-sendi dasar bangsa ini tetapi juga menutup kesempatan pada anak-anak miskin untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pemerintah juga perlu mengontrol industri pendidikan seperti itu sehingga mereka tidak semena-mena menentukan besaran SPP diluar batas kewajaran.
Merajut Harapan pada Pemerintah
Dulu, sewaktu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diundangkan, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, Sekolah-Sekolah Swasta menaruh harapan besar akan memperoleh perhatian serius dari Pemerintah sebab ada rumusan yang menyatakan bahwa di antara Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta tidak ada dikotomi. Tentu perlakuan dikotomis pun, demikian harapannya, tidak boleh dilakukan Pemerintah kepada Sekolah-Sekolah Swasta. Namun kenyataannya justru sebaliknya, mirip penggalan lagu masa lampau: “…lain di bibir, lain di hati.” Dikotomi justru semakin menganga dan perlakuan diskriminatif semakin terasa pahit dan menyakitkan bagi Sekolah-Sekolah Swasta. Menyedihkan memang! Lalu ibarat keluarga, jika ada anak yang merasa tersakiti atau dibedakan karena adanya ketidaksamaan secara fisik dengan saudaranya yang lain, kemanakah ia akan mengadu ? Bukankah ia harus mengadu kepada orangtuanya ? Tentu bukan kepada tetangga atau orang lain ! Dan orangtuanya patut mendengar jeritan hati dan tangisan si anak lalu mengambil sikap dan tindakan untuk memperbaiki perlakuan salah itu ?
Para pendiri bangsa ini, menjadikan pendidikan sebagai salah satu jalan menuju tercapainya cita-cita luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bukti pentingnya pendidikan bagi bangsa ini, hal tersebut tertera dalam konstitusi dan diperkuat lagi lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Negara bahkan mengamanahkan pendidikan menjadi tanggung jawab negara dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
Disisi lain, sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta menjadi rentan, karena setiap waktu harus rela kehilangan guru terbaiknya. Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta setiap saat harus mandiri dalam merekrut dan mengkader guru baru jika guru lama (yang telah dibinanya) diambil pemerintah.
Memang harus diakui perhatian dan kehebatan Prof. Dr. Fasli Jalal, pejabat di Kemendiknas ketika masa Presiden SBY. Ketika itu, Prof. Fasli Jalal, sebagai Dirjen PMPTK Kemendikbud RI, memimpin satu tim untuk mendata guru-guru di Indonesia, baik PNS mau pun bukan PNS. Itulah yang melahirkan NU-PTK (Nomor Unik Pendidik Dan Tenaga Kependidikan). Penulis adalah Sekretaris Tim itu mewakili BMPS. Gagasan itu pun murni dari BMPS. Bukan itu saja, selanjutnya Prof. Fasli Jalal memimpin tim yang “menjadikan guru bukan PNS menjadi pejabat negara”. Guru-Guru bukan PNS memperoleh pangkat sebagaimana Guru PNS. Mesti diakui bahwa Prof. Fasli Jalal menunjukkan keberpihakannya pada Sekolah-Sekolah Swasta. Program sertifikasi pun ada dalam jamahan beliau. Prof. Fasli Jalal, ketika itu bercerita bahwasanya tertib adminstrasi Sekolah-Sekolah Swasta lebih unggul dari Sekolah-Sekolah Negeri pada umumnya. Pemerintah terpaksa membatasi Sekolah-Sekolah Swasta (jatah Sekolah-Sekolah Swasta menjadi 15-20 % setiap angkatan untuk Sertifikasi Guru).
Pengurus BMPS Pekalongan pernah memenangkan judicial review terhadap UU Sisdiknas, sehingga rumusan awal pada Pasal 55 ayat (4) yang berbunyi “dapat” diubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi “wajib” bagi Pemerintah mendukung Sekolah-Sekolah Swasta. Itu berarti, sejatinya maju tidaknya Sekolah-Sekolah Swasta juga merupakan tanggung jawab Pemerintah. Idealnya begitu dan sepatutnya demikian! Namun kenyataannya hingga kini, masih “jauh panggang dari api.”
Setelah periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, Sekolah-Sekolah Swasta menaruh harapan yang tinggi sebab Mendikbud, Mas Nadiem mengatakan bahwa beliau adalah menterinya Sekolah-Sekolah Swasta juga. Namun pada tataran praksis di lapangan, Mas Nadiem tidak mewujudkan pernyataannya, bahkan dengan sengaja membatasi hidup Sekolah-Sekolah Swasta; katakanlah melalui peraturan yang sebatas mengatur Sekolah-Sekolah Negeri sebagaimana terlihat pada ketentuan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Terjadilah guncangan besar. Pemerintah mengubah ketentuan mengenai rombel yang pada awalnya dibatasi hanya 36 orang bagi SMA/SMK menjadi 40 orang, hampir di semua daerah. Termasuk untuk jenjang dibawahnya, SD dan SMP. Pemda setempat memperbolehkan penambahan itu menjadi 40 orang per-rombel, bahkan lebih hingga sekolah-sekolah negeri kewalahan. Dapur sekolah pun dijadikan ruang kelas saking membludaknya peserta didiknya. Dan…Sekolah-Sekolah Swasta tidak lagi memperoleh pesertadidik yang memadai dengan adanya regulasi yang tidak memihak pada semua pihak. Hal itulah yang mengakibatkan Sekolah-Sekolah Swasta menjadi kesal, gusar, gelisah dan marah!
Kondisi Sekolah Swasta Saat ini
Menurut data yang dihimpun oleh BMPS diperoleh gambaran umum dan spesifik mengenai Data Satuan Pendidikan Indonesia dan Data Peserta Dididk Indonesia, yang menggambarkan besarnya peran sekolah swasta, terlihat dari grafik berikut :
Negeri | Swasta | Jumlah | |
SD | 131.879 | 17.556 | 149.435 |
SMP | 23.594 | 19.965 | 40.559 |
SMA | 6.883 | 7.061 | 13.944 |
SMK | 3.622 | 10.679 | 14.301 |
Jumlah | 165.978 | 52.261 | 218.239 |
Jumlah Sekolah di Indonesia (tahun 2019) | ||
*) sumber: http://statistik.data.kemdikbud.go.id/ |
Hal ini sangat dirasakan oleh Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta seakan ada usaha/sengaja mendorong Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta untuk ”menyerah atau mati secara perlahan”. Itu semua nampak dari sejumlah regulasi/peraturan dan kebijakan terkait dengan Pendidikan Nasional, yang sangat memungkinkan terjadinya proses “euthanasia”, membunuh sekolah swasta. (Sidharta Susila Kompas.com – 12/03/2012, 14:43).
BMPS beserta Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta sebagai anggotanya, telah berusaha memahami bahwa hakikat dan makna peraturan dari perundang-undangan maupun kebijakan Pemerintah di bidang Pendidikan Nasional, merupakan acuan, pedoman dan petunjuk pelaksanaan dilapangan serta dorongan untuk memajukan Pendidikan Nasional, dalam hal ini termasuk Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta ada didalamnya. Namun demikian fakta menunjukkan, bahwa sejumlah regulasi pendidikan dan Kebijakan Pemerintah di bidang Pendidikan Nasional, justru sering membingungkan, bahkan menyulitkan Perguruan (Sekolah/Madrasah) Swasta.
Sebutlah sebagai contoh apa yang terjadi di Sumatera Barat pada beberapa minggu lalu. Dalam koordinasi Pengurus BMPS Prov. Sumatera Barat, tanggal 29 Juli 2020, Sekolah-Sekolah Swasta setempat melakukan perlawanan kepada Pemerintah dengan melakukan demo damai ke Kantor Gubernur dan DPRD setempat. Konon kabarnya, Dinas Pendidikan menambah jumlah rombel SMA/SMK menjadi 40 orang dengan dalih atas seizin Kemendikbud RI. Menurut informasi kekinian mereka akan mem-PTUN-kan pejabat terkait.
Kegelisahan itu semakin mengkristal setelah Sekolah-Sekolah Swasta yang didirikan perusahaan raksasa memperoleh kesempatan menerima hibah dalam Program Organisasi Penggerak (POP) masing-masing 200 M. Pihak NU, Muhammadiyah dan PGRI marah dan menarik diri dari program itu. Alasan Mas Nadiem, kedua lembaga itulah yang mengajukan proposal sebagaimana dikehendakinya. Mereka tidak mau memantau bagaimana sejatinya yang terjadi di lapangan dan terkesan timbul pembiaran terhadap Penyelenggara Sekolah-Sekolah Swasta lainnya sehingga tidak memiliki kemampuan merumuskan proposal “berkualitas” sebagaimana dikehendaki Mas Nadiem. Banyak pihak menduga bahwa ada unsur kesengajaan pada Mas Nadiem agar Sekolah-Sekolah Swasta yang lainnya “tidak kebagian kesempatan”. Perlahan-lahan akan gulung tikar. Walah kejamnya! Wajarlah jika ada yang mengritik hal itu sebagai bentuk liberalisasi dunia pendidikan, sehingga jangankan belajar tentang pendidikan dari Finlandia, dari sila kelima Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun masih menjadi mimpi panjang dunia pendidikan kita.
Semoga benar terjadi apa yang direncanakan Pemerintah bahwa UU Sisdiknas akan direvisi. BMPS sudah mengajukan hal itu sejak beberapa tahun yang lalu. Selain tidak memuat arahan yang cukup dan kuat untuk Pemerintah menaruh peduli pada Sekolah-Sekolah Swasta, UU Sisdiknas sudah “banyak bopeng-bopeng”nya sebagai hasil judicial review. Keluarga Besar BMPS sudah menyampaikan masukan terhadap revisi itu. Dua diantara masukan itu adalah 1) mengembalikan frasa swasta; penggantian swasta dengan “yang diselenggarakan masyarakat” tidaklah pas/tepat; 2) Sekolah-Sekolah Swasta benar-benar sub sistem pendidikan nasional.
Penulis telah mengirimkan surat kepada Pengurus BMPS Pusat/Nasional agar memberi perhatian serius dalam menanggapi permasalahan yang timbul akhir-akhir ini terkait dengan pendidikan nasional. Melalui Pengurus BMPS Pusat/Nasional, kami menganjurkan kepada Mas Nadiem agar lebih berhati-hati dan berhikmat merealisasikan gagasan/ide dan program/kegiatan-nya di bidang pendidikan. Mestinya melakukan “studi kelayakan” yang matang dengan mengajak para pemangku kepentingan untuk membahasnya bersama-sama sebelum menukikkan gagasan/ide yang baru itu secara faktual. Janganlah seperti selama ini, Mas Nadiem justru lebih percaya pada kawan-kawannya di luar negeri ketimbang para pakar dan praktisi yang sudah begitu lama menggeluti dunia pendidikan di Indonesia. Mestinya Mas Nadiem memahami dengan sungguh-sungguh “peta masalah” pendidikan di Indonesia sebelum sesuatunya dilaksanakan dalam tataran praksis di lapangan. Masalah pendidikan di Indonesia memang complex dan complicated!
Apakah gagasan Ki Hadjar Dewantara, Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia dan tokoh-tokoh pendidikan Indonesia lainnya akan semakin tergerus oleh pusaran jaman yang semakin tak menentu ? Sejatinya tatap muka Pengurus BMPS Pusat/Nasional akhir-akhir ini dengan Pemerintah baik dengan Kemendikbud RI mau pun DPR RI sudah mengisyaratkan beratnya beban yang dihadapi/dipikul oleh Sekolah-Sekolah Swasta di Indonesia. Tidak berdiri sendiri tetapi pasti berdampak pada maju mundurnya pendidikan nasional.
Filosofi dasar dan historisitas salah satu tujuan kemerdekaan RI yang ditorehkan pada alinea IV Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 berupa “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus dan selalu menjadi prinsip utama pembangunan kebudayaan dan pendidikan nasional. Pada sisi yang sama, amanat UU Sisdiknas terkait dengan Sekolah Swasta (tidak ada dikotomi dengan Sekolah Negeri) mesti menjadi bagian integral dari kebijakan Kemendikbud RI terutama mengenai kewajiban Pemerintah memajukan Sekolah Swasta sebagaimana disebut pada Pasal 55 hasil judicial review sebagaimana diuraikan di muka.
Memprihatinkan bagi warga masyarakat kebijakan Pemerintah yang justru mendukung “industri pendidikan” sebagaimana tersiar dalam berita nasional akhir-akhir ini. Sementara terhadap Sekolah-Sekolah Swasta yang sudah eksis jauh sebelum Indonesiamerdeka, Pemerintah tampaknya “ogah-ogahan”.
Jika selama ini BMPS dan Sekolah-Sekolah Swasta “sabar menunggu kebaikan Pemerintah” maka waktunyalah sekarang ini BMPS dan Sekolah-Sekolah Swasta menuntut dan merebut keseriusan Pemerintah dengan cara elegan dan smart berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945. Sebab, itu adalah haknya !
Marilah kita sama-sama renungkan dengan hati bersih dan pikiran yang lurus: mau dibawa ke manakah (quo vadis) pendidikan nasional Indonesia yang berkebudayaan?
Penulis : Jerry Rudolf Sirait. (Ketua Pengawas BMPS Pusat/Nasiona)l