Lumajang – Baru-baru ini Pewarna (Persatuan wartawan Nasrani) Indonesia menggelar acara APRESIASI PEWARNA INDONESIA 2024 di Lumajang, Jawa Timur. Ada sebelas kategori nominasi, salah satunya adalah figur Kepala Daerah Pengamal Harmoni Kebhinekaan.Penghargaan tahun ini diberikan kepada PJ Gubernur Papua Barat, bapak Drs. ALI BAHAM TEMONGMERE, ini MTP.
Mengawali percakapan, beliau mengutip syair sebuah syair lagu demikian, “Kota Fakfak tempat berjuta pala di sana. Terkenal sejak dulu sebagai kota perjuangan. Bumi Cenderawasih, Tanah Papua negeri tercinta. Daerah yang penuh kedamaian hidup dalam toleransi. Terikat dalam tatanan adat. Banyak tokoh lahir di sani.” (Cuplikan syair lagu “Kota Pala” Fakfak” dari album Black Sweet Vol. 2)
Lebih lanjut beliau sampaikan. Sebagaimana tertulis dalam syair lagu ” Kota Pala Fakfak” tersebut: ” ….Daerah yang penuh kedamaian…. Hidup dalam toleransi.” Adalah suatu hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Fakfak.
Sebagai putera Fakfak, saya mengalami dan merasakan sendiri bagaimana kedamaian, toleransi, dan keharmonisan hubungan antar pemeluk agama yang berbeda-beda tersebut terjadi dan terawat dengan baik, bahkan suasana suasana tersebut terjadi dalam lingkup keluarga.
Keluarga besar kami, Temongmere, memiliki tiga agama yang berbeda. Saya beragama Islam, sedangkan keluarga saya beragama Katolik dan Kristen Protestan. Tidak ada masalah sama sekali yang lain soal perbedaan agama tersebut. Biasa saja, bahkan menjadi sebuah isu pergunjingan pun tidak pernah.
Sebaliknya, kami saling mendukung, misalnya ketika akan dilangsungkan sebuah kegiatan keagamaan., kami saling membantu, bergotong royong, agar acara berlangsung dengan sukses. Di antara kamin sudah tau tentang aturan makanan. Saudara-saudara kami yang Kristiani memasak untuk kami ditempat tersendiri dengan peralatan masak dan penghidangan yang khusus untuk kami. Ujar beliau yang hari itu baru tiba dari London dan langsung ke Lumajang untuk menghadiri acara Malam Apresiasi Pewarna Indonesia (API) 2024 di Lumajang, Jawa Timur.
Semua dilakukan dengan penuh rasa kekeluargaan dan kegembiraan. Tidak ada yang bersungut-sungut ataupun mencibir hal itu. Soal pernikahan, orang yua pun membebaskan anaknya untuk milih Agama yang akan dianutnya demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga anak-anak mereka. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, ada orang tua yang ‘membagi’ agama anak-anak – Islam, Kristen, Katolik – Agar seimbang demi menjaga harmoni keluarga dan adat budaya.
Menurut Pj. Papua Barat ini, Semua itu sebagai manifestasi dari nilai budaya “SATU TUNGKU TIGA BATU” yang dianut setiap orang Fakfak. Secara sederhana “SATU TUNGKU” diartikan diartikan sebagai persatuan dan persaudaraan masyarakat Fakfak yang berdiri secara kokoh di atas “TIGA TUNGKU” yaitu Adat, Agama dan Pemerintah. Ketiganya saling menopang, dan mewujudkan suasana damai dan harmonis di Fakfak.
Hubungan Harmonis tersebut. meliputi juga hubungan antar pemeluk agama yang berbeda-beda dalam satu keluarga. Harmoni tersebut menjadi kokoh karena ditopang oleh nilai budaya “SATU TUNGKU TIGA BATU” tersebut. SEHINGGA hubungan antara agama di Fakfak bukan Hannya sekedar penuh toleransi namun lebih daripada itu, yaitu berlandaskan persaudaraan, kasih sayang, kesetaraan, dan kerjasama atau gotong royong untuk bangun kehidupan yang lebih baik dari hari ke hari. Ungkapnya PJ. Gubernur Papua Barat ini dengan serius.
Dalam kesempatan itu juga Ali Baham Temongmere, menyampaikan bagaiman pengalamannya yang pernah tinggal di keluarga yang kepercayaannya berbeda dengan beliau, demikian ujarnya:
Saya pernah tinggal di rumah milik keluarga yang beragama Katolik. Ketika ayah saya diangkat sebagai Kepala Desa dan harus berpindah dari kampung kami ke kampung lain, maka kami sekeluarga tinggal di sebuah rumah milik kerabatnya dari dari keluarga Temongmere juga, yaitu Demianus Temongmere, yang beragama Katolik.
Lebih lanjut kata beliau.Naman desanya Wayati yang mayoritasnya masyarakatnya beragama Katolik. Salah satu kamar di rumah tersebut dijadikan sebagai kantor desa untuk melayani berbagai kepeeluan masyarakat. Sementara Sang pemilik rumah itu dengan sukarela pergi ke hutan di gunung dan membangun rumah di sana sebagai tempat tinggalnya.
Persahabatan antara ayah saya yang bernama Ahmad Temongmere dan bapak Demianus Temongmere begitu mendalam, hingga mereka bersepakat untuk “bertukar nama”. Kenang beliau
Persahabatan kedua kedua orang ini diwariskan kepada anak-anak mereka. Pada 26 September 2024 lalu, saya berkunjung ke rumah itu untuk napak tilas. Di sana saya mendapati anak dari bapak Demianus yang bernama Primus (80 th), sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Lalu kami saling berpelukan dalam keharuan, setelah sekian lama tidak bertemu. Keluarga kami yang lain pun turut larut dalam kebahagiaan saat bertemu dengan saya yang datang kembali saat menjabat sebagai Gubernur Papua Barat. Ungkap beliau dengan raut wajah yang ceria.
Selanjut beliau mengatakan. Dari pengalaman tersebut, saya mencermati bahwa hubungan antar agama harus pula ditopang oleh hubungan antara saudara dalam ikatan adat budaya. Nilai-nilai adat atau budaya adalah nilai-nilai baik, yang pada hakikatnya adalah merawat hubungan antar saudara atau antar keluarga.
Satu aspek lagi adalah Politisi dan Pemerintah, baik regulator atau pun panutan masyarkat. Misalnya, Politis jangan menjadikan agama sebagai alat politik indentitas untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Menurut Ali Baham Temongmere, PJ. Gubernur Papua Barat ini.
Pemerintah sebagai regulator hendaknya mendorong moderasi beragama dengan tidak dengan tidak mengakomodir kepentingan kelompok Gama tertentu dalam berbagai regulasi.
Pemerintah diharapkan mampu menjaga suasana harmonis dalam hubungan antar agama dengan dengan menggunakan berbagai otoritas yang diwakilinya. Dengan begitu maka hubungan Antar beragama tidak lagi sekedar menjaga toleransi bagai menjaga sebuah gelas cantik dan mahal harganya tidak tersenggol dan akhirnya (jatuh dan) pecah. Namun kita semua harus mampu berpikir dan bersikap lebih rasional, bukan emosional, untuk bangsa dan negara kita yang majemuk ini, yaitu menerapkan prinsip kesetaraan pada semua agama yang ada di negara kita.
Sudah saatnya kita beranjak dari pembicaraan tentang hubungan antar beragama ini, dari sekedar toleransi menuju kesetaraan, dan selanjutnya adalah melakukan kerja sama dan gotong royong – yang harus dimulai oleh para pemimpin agama masing-masing untuk diikuti umatnya, untuk era Indonesia Emas yang kita dambakan. Pungkas bapak penjaga toleransi dan kesetaraan ini. (QQ)