Pelitakota.id Bangsa Indonesia yang terkenal dengan Bhineka Tunggal Ika, dengan berbagai suku, ras, agama serta Bahasa manjadi ibarat permadani, karena kekuatan keragaman tersebut telah membentuk karakter bangsa Indonesia yang dikenal rukun dan ramah, (the smiling country). Kondisi ini tentu menghadirkan kekuatan sekaligus tantangan.
Terjadinya ekosistem kehidupan masyarakat Indonesia yang ramah dan toleren, tentu tidak saja given, tanpa ada upaya yang harus dilakukan bersama-sama seluruh komponen bangsa. Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama, antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan juga Umat Beragama itu sendiri. Kurang lebih 18 tahun yang lalu Peraturan Bersama (PBM) antara Menteri Agama dan Kemendagri tahun 2006 telah menjadi rujukan dan saat ini sedang diperkuat menjadi Perpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di mana dalam draft Perpres tersebut, stakehoders yang terlibat semakin diperkuat untuk bersama-sama menjaga kerukunan umat beragama.
Namun demikian tentu saja, ada beberapa aspek lain yang tidak saja diselesaikan dengan pendekatan regulasi atau peraturan semata. Hemat saya, esensi kerukunan umat beragama pada hakekatnya lebih pentinga pada level praktikal yakni praktik kerukunan yang sudah menjadi kesadaran umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mereka antara umat beragama dan intern umat beragama sudah biasa saling “tegur sapa” dan silaturahim, maka kemudahan untuk saling memahami dan menghormati akan terjadi dengan sendirinya dan hambatan-hambatan regulasi bisa diselesaikan dengan kearifan lokal. Lebih dari itu, provokasi dan upaya-upaya untuk membenturkan antarumat beragama tidaklah mudah dilakukan, karena sudah ada chemistry di antara mereka untuk slaing menjaga kedamaian dan toleransi.
Untuk itulah, pemerintah sangat serius untuk menjaga aset yang sangat penting yakni kerukunan dan kedamaian dengan membuat Pusat Kerukunan Umat Beragama, di mana berdasarkan PMA 72 tahun 2022 merupakan level eselon dua di bawah Menag RI langsung dan bertanggung jawab melalui Sekjen. Posisi yang sangat strategis ini, diharapkan mampu mengorkrestrasi stakeholders untuk bersama-sama menjadi kerukunan umat beragama di Indonesia. Banyak stakeholders yang terlibat dalam pemeliharaan kerukunan dan kedamaian, di antara yang menjadi mitra di lapangan adalah FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).
Forum untuk Kerukunan Umat Beragama (FKUB) telah berperan penting dalam menumbuhkan pemahaman di antara komunitas agama yang beragam di negara ini. Namun, untuk memaksimalkan efektivitas FKUB dalam mempromosikan dan mempertahankan kerukunan umat beragama, penting untuk mengintegrasikan kerangka kerja inovatif yang saya tawwarkan dengan tiga pendekatan yang integrative dan interkonektif, seperti The Golden Pathways (TGP), Dialog Demokrasi Terstruktur (SDD), dan Harmonizing EGO (Harmonising the Ego). Kerangka kerja ini menawarkan pendekatan terstruktur dan inklusif untuk mengatasi dinamika keagamaan yang kompleks, memastikan bahwa semua suara didengar dan dihormati.
Jalur Emas: Mengintegrasikan Beragam Perspektif
Golden Pathways (TGP) adalah kerangka konseptual yang menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan beragam perspektif untuk sampai pada pemahaman yang lebih lengkap tentang kebenaran. Dikembangkan oleh Dr. Rudolf Wirawan, TGP didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada sudut pandang tunggal yang dapat sepenuhnya menangkap keseluruhan kebenaran. Sebaliknya, setiap perspektif memberikan pandangan parsial, berkontribusi pada gambaran yang lebih besar dan lebih komprehensif.
Dalam TGP, kebenaran secara metaforis direpresentasikan sebagai titik pusat dalam lingkaran, dengan perspektif setiap peserta diposisikan di sekitar keliling. Jarak masing-masing peserta dari pusat mencerminkan seberapa dekat atau jauh mereka dari kebenaran. Tujuannya adalah untuk mengurangi jarak ini dengan mempertimbangkan sudut pandang lain, sehingga bergerak lebih dekat ke kebenaran sentral. Proses mengintegrasikan perspektif ini sangat penting bagi misi FKUB untuk mendorong kerukunan umat beragama, karena mendorong peserta untuk saling menghormati dan memahami keyakinan satu sama lain, yang mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih terinformasi dan seimbang.
Dialog Demokratis Terstruktur: Memfasilitasi Pengambilan Keputusan yang Inklusif
Dialog Demokratik Terstruktur (SDD), yang ditemukan oleh Aleco Christakis, adalah metodologi transformatif yang dirancang untuk memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan yang efektif di antara berbagai pemangku kepentingan. SDD sangat cocok untuk mengatasi masalah kompleks dan “jahat” yang sering dikaitkan dengan perbedaan agama. Ini menekankan inklusivitas, fasilitasi terstruktur, dan pembangunan konsensus, memberdayakan kelompok untuk memanfaatkan kecerdasan kolektif dan mencapai solusi berkelanjutan.
Dalam konteks FKUB, SDD dapat digunakan untuk menyusun dialog antara komunitas agama yang berbeda, memastikan bahwa setiap suara didengar dan dipertimbangkan. Dengan secara sistematis menangkap dan mengatur kontribusi peserta, SDD membantu mengidentifikasi titik pengungkit untuk intervensi yang efektif, sehingga lebih mudah untuk menyelesaikan konflik dan membangun konsensus seputar isu-isu utama. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas upaya FKUB tetapi juga memastikan bahwa keputusan dibuat secara demokratis dan inklusif, yang mencerminkan beragam perspektif lanskap keagamaan Indonesia.
Menyelaraskan EGO: Mengurangi Konflik yang Didorong oleh Ego
Ego, sering didefinisikan sebagai aspek egois dari kepribadian kita, dapat menjadi penghalang yang signifikan untuk memahami dan berkolaborasi. Ego yang tidak terkendali dapat menyebabkan konflik, perpecahan, dan ketidakselarasan dengan kebenaran yang lebih luas. Dalam konteks kerukunan agama, konflik yang didorong oleh ego dapat memperburuk ketegangan antara komunitas yang berbeda, sehingga sulit untuk mencapai perdamaian abadi.
Harmonisasi EGO berfokus pada pengurangan pengaruh ego dengan mempromosikan kerendahan hati, kasih sayang, dan kesadaran diri. Dengan mengurangi keinginan dan keterikatan yang didorong oleh ego, individu dapat mengembangkan persepsi yang lebih jelas tentang realitas, yang mengarah pada hubungan yang lebih baik dan kedamaian batin yang lebih besar. Bagi FKUB, mengadopsi prinsip-prinsip Harmonisasi EGO dapat membantu menciptakan lingkungan di mana perbedaan agama dihormati dan konflik diminimalkan. Pendekatan ini mendorong para pemimpin agama dan anggota masyarakat untuk memprioritaskan kebaikan bersama daripada ego individu atau kelompok, menumbuhkan masyarakat yang lebih kooperatif dan harmonis.
Tessa yang Tidak Bahagia Cangkir Teh: Pelajaran dalam Perspektif dan Kebenaran
Kisah Tessa the Teacup, yang diciptakan oleh Dr. Rudolf Wirawan (2024), berfungsi sebagai metafora yang kuat untuk memahami keterbatasan perspektif individu dan pentingnya mengintegrasikan berbagai sudut pandang untuk mendekati kebenaran. Tessa adalah cangkir teh ajaib yang tampak bulat jika dilihat dari atas dan persegi jika dilihat dari samping. Penduduk desa, masing-masing yakin bahwa perspektif mereka adalah satu-satunya yang benar, terlibat dalam argumen sengit, gagal mengakui bahwa kedua pandangan tersebut valid dengan hak mereka sendiri.
Penderitaan Tessa menggambarkan prinsip inti TGP: tidak ada perspektif tunggal yang dapat sepenuhnya menangkap kebenaran. Sama seperti penduduk desa hanya dapat memahami bentuk asli Tessa dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang, mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia membutuhkan pengakuan dan integrasi beragam keyakinan dan perspektif masyarakatnya. Pelajaran dari Tessa the Teacup sangat relevan untuk karya FKUB, karena menyoroti bahaya pemikiran yang kaku dan perlunya pikiran terbuka dan kerendahan hati dalam mengejar kebenaran.
Kesimpulan
Mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar dialog; Ini menuntut pendekatan terstruktur dan inklusif yang mengakui kompleksitas dinamika agama dan keterbatasan perspektif individu. Dengan mengintegrasikan Jalur Emas, Dialog Demokratik Terstruktur, dan Harmonisasi EGO ke dalam upaya FKUB, pemerintah Indonesia dapat menciptakan kerangka kerja yang lebih efektif untuk mempromosikan perdamaian dan pemahaman di antara komunitas agamanya yang beragam.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam TGP, SDD, dan Harmonizing EGO menawarkan jalan ke depan yang tidak hanya menghormati keyakinan unik setiap komunitas tetapi juga menumbuhkan pengejaran kolektif akan kebenaran dan harmoni. Kisah Tessa the Teacup mengingatkan kita bahwa tidak ada yang memonopoli kebenaran, dan pemahaman sejati itu berasal dari merangkul dan mengintegrasikan berbagai perspektif. Dengan mengikuti pendekatan komprehensif ini, Indonesia dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis, di mana keberagaman agama dirayakan sebagai sumber kekuatan daripada penyebab perpecahan.
HM. Adib Abdushomad, M.Ed., Ph.D
(Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI).