Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah sudah berlalu. Namun, perayaan dalam rangka hari kemenangan itu masih digelar masyarakat.
Bentuk perayaannya pun beragam. Setiap daerah di Indonesia seakan memiliki tradisi masing-masing dalam merayakan Idulfitri sesuai dengan budaya dan kepercayaan yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun.
Setiap tradisi lebaran tersimpan makna yang sangat indah dan mendalam. Salah satunya tradisi yang terdapat di masyarakat Melayu. Di masyarakat itu, berkembang tradisi perilaku yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga kearifan lokal, termasuk mengusung soal kebersamaan, kedamaian, dan kepedulian sosial.
Riau adalah daerah yang memiliki tradisi yang sarat budaya Melayu yang sangat kental, termasuk tradisi yang masih lestari hingga kini, yakni penggunaan lampu colok, atau dalam bahasa Melayu disebut “pelite” atau “pelito”.
Benar, menyalakan lampu colok atau pelito telah menjadi ciri khas perayaan malam-malam terakhir Ramadan hingga malam takbiran. lampu colok menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan. Tangkai lampu colok biasanya terbuat dari bambu, kaleng, atau botol bekas minuman yang diisi dengan minyak tanah dan dilengkapi dengan sumbu di tengahnya.
Selain menjadi hiasan di depan rumah, lampu colok juga memiliki makna dan romansa tersendiri bagi masyarakat Melayu di Riau. Dalam upaya melestarikan budaya lampu colok, pemerintah daerah dan masyarakat setempat biasanya menyelenggarakan Festival Lampu Colok yang telah menjadi bagian dari khasanah warisan budaya tempo dulu yang masih bertahan hingga sekarang, serta menjadi agenda wisata bagi daerah tersebut.
Tradisi lampu colok memiliki sejarah yang panjang di masyarakat Melayu Riau. Dahulu, lampu colok digunakan sebagai alat penerangan sehari-hari yang diletakkan di depan pintu rumah. Di sisi lain, keberadaan lampu colok sangat berguna bagi anak-anak yang pergi mengaji atau belajar di tengah kegelapan malam.
Selain itu, lampu colok juga menjadi penerangan bagi masyarakat yang beraktivitas di luar rumah, terutama para nelayan yang akan pergi melaut. Hingga kini (kecuali di 2020-2021 akibat pandemi) pada malam takbiran, anak-anak yang mengaji di masjid akan berkeliling kampung membawa lampu colok dalam sebuah pawai.
Seiring berjalannya waktu, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi, masyarakat Melayu Riau menggunakan lampu colok sebagai hiasan di depan rumah mereka menjelang penghujung bulan Ramadan, terutama dalam menyambut malam Lailatul Qadar, yang puncaknya adalah menyalakan lampu colok di seluruh pelosok kampung pada malam ke-27 Ramadan.
Lampu colok memiliki makna dan romansa tersendiri bagi masyarakat Melayu Riau. Cerita turun-temurun mengisahkan bahwa lampu colok dahulu merupakan sarana penerangan jalan bagi masyarakat yang ingin membayar zakat fitrah setiap malam ke-27 Ramadan ke masjid atau ke rumah masyarakat yang menghimpun zakat fitrah.
Nah, tradisi menyalakan lampu colok itu tetap menjadi tradisi masyarakat Melayu, bahkan kadangkala dilombakan dalam bentuk festival, seperti dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkalis yang menggelar Festival Lampu Colok Tahun 1445 H/2024 M sebagai upaya memelihara dan merayakan warisan budaya yang kaya akan makna.
Festival yang diresmikan oleh Wakil Bupati Bengkalis, Bagus Santoso, merupakan penghormatan terhadap tradisi lampu colok yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Menurut Wakil Bupati, festival ini bukan sekadar acara biasa, melainkan sebuah syiar kearifan lokal yang tak ternilai. Malam ke-27 Ramadan dipilih sebagai momen yang tepat untuk memulai festival ini, mengisyaratkan pentingnya nilai-nilai religi dan kehidupan yang terkandung dalam tradisi lampu colok.
Keberadaan festival ini juga memiliki makna yang lebih dalam, karena lampu colok telah diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda. “Dengan demikian, festival lampu colok bukan hanya sekadar perayaan, melainkan juga merupakan upaya konkret dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa,” ujar Wakil Bupati Bagus Santoso, seperti dikutip dari MC Riau.go.id, Minggu (7/4/2024).
Bagus Santoso juga mengajak semua pihak untuk mendukung upaya pelestarian ini, dengan harapan bahwa keunikan dan kekhasan budaya lokal Bengkalis akan menjadi daya tarik bagi warga yang berada di perantauan serta para wisatawan. Melalui partisipasi aktif dalam festival dan penyebaran informasi melalui media sosial, diharapkan festival ini dapat menjadi agenda wisata religi yang signifikan, tidak hanya di tingkat provinsi Riau, tetapi juga di seluruh Indonesia.(***)