pelitakota.id | Suara Kebenaran Hari Ini | Kejadian 6:7-8, “Berfirmanlah Tuhan: “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka.” Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan.
*KESETIAAN PARAMETER KESELAMATAN*
Bapa yang penuh kasih itu melihat kebodohan dan kekerasan hati anak-Nya yang memberontak dan tidak patuh itu tidak hanya membuat-Nya murka, tetapi juga berduka, dan membuat-Nya berharap bahwa Ia tidak pernah punya anak. Ungkapan yang digunakan di sini sangat aneh: “Maka menyesalah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, bahwa Ia telah menjadikan makhluk yang mempunyai kekuatan dan kemampuan yang mulia seperti itu, dan menempatkannya di atas bumi ini, yang dibangun dan diperlengkapi-Nya untuk menjadi tempat kediaman yang menyenangkan dan nyaman baginya. Dan tentu saja hal itu memilukan hati-Nya.
Tuhan tertekan (menahan amarahNya) oleh dosa-dosa makhluk-Nya (Amsal 2:13), dibuat susah (Yesaya 43:24), hancur (Yehezkiel 6:9), jemu (Mazmur 95:10), dan di sini hati Allah pilu, seperti halnya dengan manusia apabila mereka diperlakukan secara tidak adil dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang sudah mereka perlakukan dengan baik, dan oleh sebab itu menyesal telah berbuat baik. Bukankah Allah sedemikian membenci dosa? Apakah dosa kita membuat hati-Nya pilu?
Dosa tidak hanya melanggar hukum-hukum Allah, tetapi juga mengesampingkan keberadaan Allah. Dosa merajalela, dengan buas mengacungkan tinju menantang Allah; juga menyarangkan belati ke tubuh sesama manusia. Keinginan menyamai Allah beriringan dengan keinginan merampas dan merusak karya-karya indah Allah juga.
Allah tidak membiarkan; Allah memutuskan untuk melakukan dua hal.
“Pertama“, hidup manusia dibatasi. Menjadi hanya 120 tahun saja (Kejadian 6:3).
“Kedua“, akan ada penghukuman, sekaligus pemusnahan (Kejadian:7,13)!
Allah bertindak demikian agar manusia mengetahui sekaligus mengingat dan menyadari bahwa otoritas tertinggi adalah Allah dan manusia itu fana belaka. Kedaulatan ada pada Allah, bukan manusia, karena itu Allah berdaulat untuk menghukum manusia. Kalaupun Allah memakai Nuh — karena hanya dia yang didapati tetap setia kepada Allah, itu semata-mata karena anugerah dan inisiatif Allah (Kejadian 6:8,13a).
Jika kesetian Nuh menjadi alat ukur keselamatan yang diterimanya, bagaimana dengan kesetiaan kita hari ini? Shalom! Pst.harts