Makassar, 13 Oktober 2024 – Ketegangan relasi lintas agama seringkali dipicu oleh prasangka dan stigma di dalam masyarakat. Dalam konteks itu, guru sebagai pendidik memiliki peranan penting sebagai pelopor untuk menumbuhkan pemahaman dan keterbukaan terhadap orang lain yang berbeda agama dan keyakinan.
“Guru perlu mempunyai pemahaman dan keterampilan untuk merawat kemajemukan, agar menjadi pelopor dalam masyarakat untuk melunturkan prasangka lintas agama yang bisa merusak bangunan kebangsaan,” kata Direktur Program Institut Leimena, Daniel Adipranata, dalam Hybrid Upgrading Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI), Institut Leimena, dan Universitas Muslim Indonesia, di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (13/10/2024).
Daniel mengatakan workshop LKLB dengan tema “Pengembangan Program dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang Memperkokoh Kebebasan Beragama dan Supremasi Hukum”, bertujuan membekali guru agar mampu memasukkan nilai-nilai toleransi dan kebebasan beragama dalam pembelajaran di kelas. Disadari, tantangan dalam kebebasan beragama masih sering terjadi seperti perilaku diskriminasi, intoleransi, atau pemaksaan terhadap tafsir agama yang menganggu harmoni sosial.
Daniel menyatakan workshop LKLB tidak hanya berisi dialog, melainkan berusaha membuka ruang-ruang perjumpaan yang bisa mendukung penerapan hak kebebasan beragama. Dia menjelaskan literasi keagamaan lintas budaya pada intinya adalah kerangka untuk menolong seseorang dalam mengembangkan kompetensi dan keterampilan untuk membangun hubungan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan lewat LKLB yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi.
“Pengalaman-pengalaman untuk menerima perbedaan itu sangat dibutuhkan. Kita tidak bisa hanya menghafalkan definisi dari toleransi dan keberagaman saja tanpa benar-benar mengalaminya,” kata Daniel.
Sementara itu, Direktur Diseminasi dan Penguatan Hak Asasi Manusia Kemenkumham RI, Gusti Ayu Putu Suwardani, mengatakan pemahaman masyarakat akan pentingnya relasi antara supremasi hukum dengan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi Konstitusi, adalah modal penting bagi kemajuan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah meningkatnya tantangan polarisasi di dunia.
Hak kebebasan beragama secara universal tercantum dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Di Indonesia, hak kebebasan beragama dijamin dalam Konstitusi atau UUD 1945.
“Negara dan masyarakat sipil diharapkan dapat bekerja sama dalam membangun budaya yang toleran, menjunjung tinggi supremasi hukum, serta menghindari perilaku yang berpotensi memecah belah,” kata Gusti Ayu.
*Ajaran Islam dan Kebebasan Beragama*
Wakil Rektor IV Bidang Tata Kelola Kampus Islami dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muslim Indonesia, Dr. Ishaq Shamad, mengatakan ajaran Islam sendiri sangat mendukung kebebasan beragama, yaitu tertuang dalam Surat Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi , _lakum diinukum waliyadin_ artinya “Untukmu agamamu, untukku agamaku.”
Itu artinya, Islam sendiri tidak mencampurbaurkan agama dan mendorong toleransi dalam membangun hubungan dengan orang lain yang berbeda agama.
Dia menambahkan Surat Al-Hujurat ayat 11 juga menyebutkan “Wahai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari pada mereka (yang mengolok-olok).”
“Saya pernah beberapa kali satu kamar dengan pendeta, bermalam 2-3 hari di hotel bersama-sama. Jadi kalau malam hari saya bilang, ‘Pak Pendeta, saya izin salat Isya dulu. Kata dia, ‘Silakan’. Lalu jam 8 atau 9 malam, gantian, dia bilang, ‘Pak Ustadz, saya izin menyanyi dulu. Saya jawab, ‘Silakan. Jadi kita saling menghargai,” kata Ishaq sambil tertawa.
Menurut Ishaq, masalah dalam hubungan lintas agama biasanya tidak terjadi di kalangan tokoh agama, tapi biasanya di tengah masyarakat karena pemahaman yang keliru. Keretakan dalam hidup bermasyarakat bisa terjadi jika salah satu pihak menganggap diri paling benar, sedangkan yang lain salah.
“Di kalangan tokoh agama sudah tidak ada masalah, tapi yang jadi masalah di kalangan masyarakat, anak-anak kita, bahkan ada ibu-ibu tidak mengizinkan anaknya bergaul dengan orang berbeda agama. Kenapa? Karena pemahaman yang ditanamkan itu menganggap diri paling benar, yang lain salah,” ujarnya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan program LKLB yang dikembangkan Institut Leimena bersama sekitar 25 mitra lembaga keagamaan dan pendidikan, termasuk Universitas Muslim Indonesia, merupakan bentuk tanggung jawab masyarakat untuk merawat kebebasan beragama.
“Beragama di ruang publik Indonesia berarti beragama yang tetap memanifestasikan nilai-nilai etnoreligius, namun dalam koridor tertentu yang dibatasi oleh seperangkat supremasi hukum yang mengatur tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” kata Ruhaini yang juga Senior Fellow Institut Leimena.
Dalam workshop LKLB, para guru yang seluruhnya beragama Islam, mengadakan kunjungan ke dua gereja yaitu Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Bethania dan Gereja Katolik Kristus Raja. Para guru peserta workshop LKLB mayoritas baru pertama kali menginjakkan kaki di gereja. Di sana, mereka mendapatkan kesempatan untuk bertanya apa saja terkait agama Kristen dan Katolik.
“Tidak ada larangan bagi kami untuk berlaku baik dan adil kepada orang non-Muslim selama mereka tidak memerangi kami, sehingga pengalaman ini (mengunjungi gereja) menguatkan kami sebagai seorang Muslim untuk mengajarkan keberagaman kepada siswa kami, agar mencari titik temu untuk bekerja sama sekalipun berbeda agama,” kata Guru SMPIT Al-Fityan School Gowa, Fadly Zainal. [IL/R_Kfs74D]