Jakarta – Di Tengah gelombang reformasi birokrasi dan penataan ulang manajemen aparatur sipil negara, pernyatan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakhrullah, yang melarang kepala daerah mengangkat staf khusus pasca 20 Februari 2025 menuai polemik di ruang publik.
Pernyataan ini muncul dalam semangat efisiensi birokrasi dan reformasi kelembagaan, namun sekaligus menimbulkan pertanyaan serius tentang basis hukum dari larangan tersebut. Sejumlah pihak mendukung Langkah itu sebagai upaya menertibkan pemborosan anggaran dan mendorong rasionalisasi jabatan non-struktural.
Namun banyak pula yang menganggap pernyataan itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan justru menafikan ruang diskresi kepala daerah. Sesungguhnya, polemik ini berakar dari ketidakjelasan kedudukan hukum staf khusus kepala daerah dalam sistem hukum administrasi pemerintahan Indonesia.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional, tidak ditemukan ketentuan eksplisit yang mengatur tentang jabatan staf khusus kepala daerah. Justru yang ada adalah pengaturan mengenai staf ahli, sebagaimana diatur dalam Pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dan diperjelas melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 2018.
Kedua regulasi tersebut secara tegas menyebutkan bahwa staf ahli merupakan bagian dari aparatur sipil negara (ASN) yang ditugaskan membantu kepala daerah sesuai dengan bidang keahlian tertentu.
Sementara itu, staf khusus lebih bersifat politis-administratif dan biasanya diangkat melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada), seperti Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota, yang dalam praktiknya mengacu pada pelaksanaan kewenangan otonomi daerah sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun yang menarik, praktik pengangkatan staf khusus juga terjadi di pemerintahan pusat, baik oleh Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2020, maupun oleh para Menteri melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2019. Padahal, baik dalam UU Kementerian Negara maupun dalam UU Administrasi Pemerintahan, keberadaan jabatan “staf khusus” juga tidak disebutkan secara eksplisit. Legitimasi pengangkatannya didasarkan pada diskresi Presiden dan Menteri, dengan asumsi bahwa tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dan ditujukan untuk memperkuat efektivitas kebijakan publik.
Memang terdapat perbedaan mendasar antara Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Perpres merupakan produk hukum dalam hierarki perundang-undangan nasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sementara Perkada, meski sah menurut hukum tata negara, tidak termasuk dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan nasional.
Namun, tidak berarti Perkada otomatis tidak sah – selama tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dan dibentuk dalam ruang lingkup kewenangan kepala daerah, maka tetap dapat dijalankan sebagai regeling kebijakan lokal.
Dengan demikian, jika pengangkatan staf khusus oleh Presiden dan Menteri dapat dibenarkan dengan Perpres, maka pengangkatan staf khusus oleh kepala daerah pun semestinya bisa dibenarkan, sejauh mengacu pada prinsip serupa: tidak melanggar hukum yang lebih tinggi, berdasarkan kepentingan umum, dan tidak membebani keuangan daerah secara tidak proporsional.
Di sinilah substansi polemik ini menjadi terang. Bukan soal boleh atau tidak boleh, tetapi soal ada atau tidak adanya kerangka hukum yang memadai untuk mengatur dan mengawasi praktik diskresi tersebut.
Jika pemerintah pusat merasa perlu mengatur staf khusus secara eksplisit melalui Perpres, maka seharusnya Kementerian Dalam Negeri juga memberikan kerangka regulasi yang jelas bagi pemerintah daerah, alih-alih hanya melontarkan larangan administratif yang rentan diperdebatkan legalitasnya.
Pernyataan Kepala BKN menjadi polemik ketika berposisi seperti regulator terhadap kepala daerah, padahal otoritas BKN lebih bersifat administratif terhadap manajemen ASN, bukan terhadap pengangkatan jabatan non-struktural berdasarkan diskresi kepala daerah. Bahkan Permendagri Nomor 134 Tahun 2018 yang disebut-sebut menjadi dasar staf khusus, sejatinya hanya mengatur staf ahli dan tidak menyentuh eksistensi staf khusus.
Daripada menegasikan praktik yang telah berjalan dan memiliki fungsi strategis dalam banyak kasus (misalnya dalam krisis daerah, penanganan isu sosial lokal, atau komunikasi kebijakan kepala daerah), sebaiknya pemerintah pusat mengambil inisiatif menyusun peraturan yang secara eksplisit mengatur mekanisme, batasan, dan pengawasan pengangkatan staf khusus kepala daerah. Termasuk menyusun parameter untuk memastikan bahwa jabatan tersebut tidak menjadi tempat parkir politik atau beban APBD yang tidak rasional.
Hukum tidak boleh hanya hadir sebagai larangan, tetapi juga harus menjadi instrumen untuk mengarahkan, mengatur, dan mengawasi praktik kekuasaan. Diskresi bukan untuk dimatikan, tetapi untuk ditertibkan.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan otonomis seperti Indonesia, diskresi adalah keniscayaan administratif. Ia diperlukan dalam banyak situasi ketika norma hukum bersifat umum dan tidak mampu menjangkau kompleksitas realitas yang dihadapi penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. Maka, tugas utama pembentuk regulasi bukanlah membatasi ruang diskresi semata, melainkan membingkai diskresi dalam sistem pengawasan yang akuntabel, transparan, dan proporsional.
Sebaliknya, membunuh diskresi tanpa membangun alternatif regulasi yang memadai justru akan menciptakan stagnasi adminsitratif dan mengerdilkan inisiatif kepemimpinan, terutama di Tingkat daerah.
Kepala daerah sebagai pemegang mandat rakyat seharusnya diberikan ruang untuk menentukan kebijakan strategis, termasuk dalam menunjuk figur yang dapat menjembatani antara kepentingan birokrasi dan masyarakat luas. Tentu saja, hal ini harus dilakukan dalam kerangka aturan main yang jelas, bukan berdasarkan selera kekuasaan.
Oleh karena itu, jika pengangkatan staf khsusu kepala daerah dianggap menimbulkan persoalan yuridis dan etis, maka solusinya bukan dengan melarang secara sepihak, melainkan dengan menghadirkan regulasi baru yang secara tegas mengatur: siapa yang bisa diangkat, apa tugas dan kewenangannya, bagaimana mekanisme evaluasinya, serta sejauh mana beban anggarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Langkah ini akan jauh lebih konstitusional, demokratis, dan menjunjung tinggi prinsip otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945. Dalam negara hukum, solusi terhadap kekosongan hukum terkait eksistensi staf khusus bukanlah larangan, tetapi regulasi yang adaptif dan solutif.
Oleh: Dr. Bachtiar (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang)