Jakarta, Pelitakota.id | Sehubungan dengan Permasalahan Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 tentang masalah rumah ibadah, ada usulan agar ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden, yang pada akhirnya menimbulkan Pro dan kontra khususnya di kalangan umat Kristen sendiri, oleh karena itu Pewarna Indonesia dengan bekerjasama dengan Yayasan Komunikasi Indonesia, dan PNPS GMKI , pada hari Jumat, 17 Juli 2020 melaksanakan diskusi webnar yang direncanakan dengan menghadirkan 12 tokoh yang berkompeten sebagai narasumber akan tetapi dalam pelaksanaan tersebut hanya mampu menghadirkan 10 Tokoh yang hadirkan dalam webinar ini, sedangkan Prof. Yasona Laoly, Menteri Hukum dan HAM dan Sabam Sirait, Pembina YKI sekaligus Anggota DPD RI Prop. DKI Jakarta tidak bisa bergabung dalam diskusi ini.
Diskusi yang pandu Richardo Marbun Jurnalis Pewarna dan dibuka Sahat Sinaga Sekjen PNPS GMKI ini, dalam paparannya Dirjen Bimas Kristen Protestan Kementerian Agama Republik Indonesia Prof. Dr. Thomas Pentury, M.Si, Dirjen, Menjelaskan ada 7 Faktor Dominan Pemicu Konflik Agama, diantaranya Pendirian Rumah Ibadah, Penyiaran Agama, Bantuan Luar Negeri, Perkawinan Beda Agama, Perayaan Hari Besar Keagamaan, Penodaan Agama, Kegiatan Aliran Sempalan. Dan menurutnya, yang sering menjadi sumber konflik di tengah masyarakat adalah “pendirian rumah ibadah”.
Litbang Kemenag 2019 bahwa Indeks Kerukunan Beragama di Indonesia, untuk Kerja Sama 75,40%, Toleransi 72,37%, dan Kesetaraan 73,72%. Indeks kerukunan yang paling rendah secara provinsi adalan Aceh, yaitu 60,2%. Untuk 3 Provinsi dengan skor tertinggi adalah Provinsi Papua Barat 82,1%, Nusa Tenggara Timur 81,1% dan Bali 80,1%.
Ada 4 Indikator Moderasi Beragama jikalau terimplentasi, akan jauh lebih baik, yaitu Komitmen Kebangsaan, Toleransi, Anti Kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Usulah Dirjen Bimas Kristen ini adalah harus ada “Undang-undang Moderasi Agama”. “PBM itu untuk tata kelola di daerah dalam hal pengelolaan pendirian rumah ibadah. Namun, pengaturan dan pengelolaan di daerah tidak bisa parsial, harus terintegrasi dengan pusat” ungkapnya. “PBM ini perlu di review, jikalau hasil harus dicabut, maka harus ada peraturan atau perundangan yang menggati untuk mengisi kekosongan hukum tersebut”. “Hasil seminar ini harus dikirimkan kepada Meteri dan pihak terkait supaya ada masukan dan hasilnya ada” pintanya.
Sedangkan Pdt. Bambang Jonan, Gembala Sidang GBI Medan, mengungkapkan bahwa “terlalu jauh, jikalau pemerintah terlalu detail mengatur pendirian rumah ibadah”. Sesuai konstitusi, secara jelas bahwa “kemerdekaan umat beragama dijamin. Setuju jikalau PBM hendak di revisi, namun harus tetap adil dan tidak diskriminatif”, Pungkasnya.
Ketua Umum PGLII, Dr. Ronny Mandang, menyampaikan, “Jikalau ini dijadikan sebagai UU maka menjadi perdebatan yang sengit saat pembahasan di legislatif, karena tergantung partai-partai yang merumuskannya. Jikalau PBM ini dijadikan UU, maka akan ada dampak hukum, jika tuntutan kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi”. “Setuju PBM ini dijadikan sebagi Perpres bukan sebagai UU”, tegasnya. Lanjutnya, “pelaksanaannya harus konsisten setelah direvisi dan harus lebih memudahkan dalam menjalankan ibadah”.
Ketua Umum Sinode GKJ, Aris Widianto, menyatakan bahwa “PBM ini mau diperbaiki atau direvisi, tetap saja hal ini tidak mudah bagi umat Kristen. Padahal PBM hanya terkait admistrasi pemerintahan, namun hal ini bisa memicu diskriminatif dan konflik”. “Harus ada suasana politik yang baik. PBM ini bukan hal yang menguntukan bagi Kristen dan agama lain yang minoritas” lanjutnya.
Sedangkan Terkait FKUB menurutnya, “keberadaanya baik, namun dalam tatanan praktik, sering menjadi penghambat dalam mendirikan rumah ibadah”. “Peraturan, kalau jiwanya hanya untuk menjaga ketentraman, maka harus konstruktif. Tidak menggunakan minoritas dan mayoritas. Harus bisa melindungi, khususnya yang lemah, harus dilindungi”, paparnya.
Terkait kinerja legislatif, ungkapnya, “Belum bisa percaya kepada legislatif, untuk bisa mengayomi dan melindungi kaum lemah”. Sinode GKJ, lebih setuju pendirian rumah ibadah tidak melalui pendekatan administratif. Saat pandemi ini, GKJ lebih mengutamakan pembinaan iman dalam keluarga-keluarga. Tidak mengutamakan gedung gereja yang besar-besar. Hal yang paling penting ada tempat dan simbol yang bisa dihadirkan dalam ibadah.
Akademisi STFT Jakarta, Marthin Lukita Sinaga, menyoroti dalam pendirian gereja atau rumah ibadah harusnya di dorong oleh masyarakat. Usulanya adalah harus ada UU kemerdekaan beragama atau kebebasan beragama. Sebab, katanya “Kemenag yang besar saja tidak ada undang-undangnya”. “Kehadiran Kristen dan Kesaksian Kristen dalam bermasyarakat, seluruhnya harus dibenahi dan harus berdampak” paparnya.
Tokoh Masyarakat, R.E Nainggolan, menyampaikan bahwa “di Indonesia seharusnya tidak dikenal mayoritas dan minoritas, karena kita harus hidup dalam kesatuan. Persoalan agama adalah hak masing-masing”. Umat Kristen perlu mengintropeksi diri katanya “Sikap kita kadang eksklusif dan ada gereja yang tidak menjadi penyejuk bagi warga”, karena keliru memahami satu-satunya jalan keselamatan sehingga melakukan gencar melakukan kristenisasi. Usulanya adalah “UU kebebasan beragama itu untuk jangka panjang. Jangka pendeknya, PBM harus direvisi sehingga isinya tidak terlalu teknis”. Lanjutnya, “Perlu ada upaya penegakan hukum yan adil bagi daerah, supaya tidak ada yang melanggar konstitusi. Tujuannya, semua warga negara ke depannya bisa menikmati kebebasan dalam beragama”, tutupnya.
Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, M.Th., Menjelaskan bahwa, “Di tengah kekosongan hukum itu, tiba-tiba hadir PMB 2006, tanpa cantelan undang-undang. Dalam hal inilah saya ingin menyampaikan empat catatan: Pertama: Bagi banyak pihak, PBM 2006 ini belum memenuhi standard ideal dari penegakan HAM, ya benar , khususnya terkait kebebasan beribadah. Namun bagaimana pun, saya melihat beberapa hal penting yang dijamin di dalamnya: a) Ada kriteria dan prosedur terukur dalam proses pengajuan IMB rumah ibadah, yang kalau tanpa PBM ini akan lahir ragam perda, yang isinya bisa lebih parah, yang tentu punya implikasi hukuman kurungan dan/atau denda. b) Ada perintah imperatif kepada aparat negara untuk memfasilitasi manakala yang pertama tadi tidak terpenuhi sementara kebutuhan objektif untuk itu memang nyata.
Kedua yang menjadi problem di lapangan adalah: Ketidak-mampuan atau ketidak mauan penyelenggara negara, dalam hal ini Kepala Daerah, memahami PBM ini, yang jiwa dan semangatnya adalah memfasilitasi dan mengatur, dan bukan membatasi,
Dalam argumentasinya Ketua Umum GPI, Liesye Sumampow, menyampaikan “Saat ini gereja dikembalikan pada keluarga dan gereja rumah. FKUB perlu diposisikan ulang kewenangannya supaya tidak mengambil alih kewenangan negara, khususnya Kemenag”. Terkait revisi PBM, “Setuju jikalau hendak direvisi, khususnya pasal-pasal yang krusial yang menjadi sumber konflik”. “Perlu moralitas dan etika untuk semuanya dalam menjalankan kerukunan antar umat beragama” tegasnya. “Secara konstitusional tidak ada masalah dengan kebebasan beragama di Indonesia, namun yang menjadi masalah adalah dalam tatanan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Moderasi agama menjadi pertimbangan alternatif untuk diperbincangkan dan diimplementasikan”, tutupnya.
Anggota DPD RI Papua, Mamberob Rumakiek, menyampaikan bahwa “Perber atau PBM ini tidak terlalu berdampak di Papua, karena Papua indeks kerukunan umat beragamanya cukup tinggi, meskipun Papua sering dituduh tempat sparatis dan dianggap telah membakar Mesjid di Tolikara dan saat ini bisa berdiri Mesjid besar”. Ungkapnya, “ini akan melemahkan gereja ketika sering memojokkan Papua”. “Kepastian hukum ditegakkan dan harus adil kepada kaum minoritas, tetapi tidak mengorbankan mayoritas atau bias mayoritas”, jelasnya.
Ketua Umum YKI, Dr. Bernard Nainggolan, menyampaikan bahwa hasil diskusi ini akan dijadikan sebagai rekomendasi dan YKI akan mendata persoalan-persoalan yang ada, khususnya terkait rezim politis, rezim hukum, rezim teologi dan rezim yang lainnya. (Pelitakota.Id)