Pelitakota.Id | MODAL terbesar kita memasuki 2021 ialah optimisme. Karena optimisme kitalah yang mendorong keberhasilan, dan bukan keberhasilan yang mendorong optimisme. Politik yang dibangun pendiri Bangsa pun politik harapan : Harapan merdeka, sejahtera, adil, dan beradab.
Dalam buku Mata Air Keteladanan; Pancasila dalam perbuatan, Cendekiawan Yudi Latif mengisahkan ketika Indonesia merdeka pada 1945, Indonesia sama sekali tidak punya kas untuk memulai kemerdekaan. Seusai menyatakan kemerdekaan pada Agustus (bertepatan dengan Ramadhan), Bung Karno pulang dari Istana dengan berjalan kaki. Ketika mendengar azan magrib di tengah jalan, Bung Karno yang tengah berpuasa langsung memanggil tukang satai.
Bung Karno membeli 50 tusuk satai untuk dia dan teman-temannya berbuka puasa lalu memakan satai tersebut di pinggir got. Inilah cara pendiri Bangsa merayakan kemerdekaan. Inilah Indonesia awal. Dengan keterbatasan, tetapi penuh optimisme, hingga 20 tahun kemudian menjadi pemimpin Asia — Afrika.
Saat itu, ada juga seorang pemuda bernama Sudiro, yang ikut membawa Soekarno ke Rengasdengklok. Ketika melihat Presiden Soekarno berjalan kaki dari Istana seusai Proklamasi Kemerdekaan, ia merasa kasihan lalu timbul rasa patriotiknya. Sudiro pun menyetop mobil Buick milik seorang kepala jawatan kereta api Jepang lalu meminta pengendara menyerahkan mobilnya untuk Bung Karno. Untung sang pengendara juga memiliki rasa patriotik yang sama hingga bersedia menyerahkan mobil itu.
Itulah kelindan antara semangat gotong royong, patriotisme, dan optimisme. Gotong–royong ialah karakter kita. Dengan Gotong-royong, mereka membangun optimisme padahal kas negara kosong. Dengan Gotong–royong pula, Sultan Yogyakarta, Sultan Syarif Kasim dari Riau, Daud Beureuch dari Aceh, dan para raja dari seluruh Nusantara bahu- membahu membangun Indonesia. Rakyat pun ikut menyumbangkan kekayaan kepada negara.
Semangat itu kini sangat dibutuhkan. Saat ikhtiar mendapatkan vaksin Covid-19 tinggal selangkah lagi, kita mendapati kenyataan serangan korona masih menghebat. Ketika roda perekonomian mulai sedikit bergerak, kurva Covid-19 yang kita harapkan ‘merata’ justru kian mendaki. Itu membuat pemangku kebijakan bersiap menarik rem darurat sehingga laju perekonomian bisa berhenti kembali.
Hingga akhir 2020 ini, korona telah menyerang lebih dari 719 ribu jiwa orang Indonesia. Covid-19 bahkan telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu jiwa di negeri ini. Di seluruh kolong langit, virus mematikan itu sudah sudah menyergap lebih dari 81 juta orang dan ‘membunuh’ lebih dari 1,7 juta jiwa. Korbannya tak mengenal suku, ras, agama, kasta, strata usia, juga tak memilih jenis kelamin.
Bukan cuma itu, Covid-19 juga meremukkan sendi-sendi perekonomian rumah tangga. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia mencatat hingga November 2020 ada lebih dari 7 juta pekerja yang dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Pandemi Virus korona. Data lembaga kajian ekonomi bahkan ada yang mencatat hampir 30 juta orang kehilangan pekerjaan sejak korona menerjang negeri ini, Maret lalu.
Keuangan negara juga dibuat ‘bobol’. Kementerian keuangan negeri ini (Menkeu) mencatat sepanjang periode Januari – Oktober 2020, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 mencapai Rp. 764,9 triliun. Defisit tersebut setara dengan 4,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Data Kemenkeu menunjukkan defisit tersebut sudah mencapai 73,6% dari outlook akhir tahun sebesar Rp.1.039,2 triliun atau setara dengan target defisit akhir 2020, yakni 6,34% terhadap PDB. Realisasi penerimaan negara juga serat, mencatatkan pertumbuhan negatif 15,4% apabila dibandingkan dengan realisasi di Januari – Oktober 2019. Persentase pelemahan tersebut sudah diatas target penerimaan negara akhir tahun yang diprediksi hanya minus 10% secarayear on year.
Namun, bagaimana di awal tulisan saya sebutkan, tak ada alasan untuk mengeluh karena kita punya modal optimisme yang mendorong keberhasilan. Jajak sejarah kita juga membuktikan itu. Kita, kata Bung Karno, bukanlah bangsa Uttara kuru sebagaimana digambarkan dalam kitab ‘mahabrata’, bangsa yang terlalu tenang, tapi tak punya ‘alat’ untuk maju karena tak pernah digembleng dengan kesulitan.
Kita layak melecut semangat seperti kata Franklin Delano Roosevelt, presiden ke- 32 Amerika Serikat yang berhasil membantu negaranya memulihkan diri dari masa depresi hebat pada 1933 — 1945.
Kata Roosevelt, “kami selalu berpegang pada harapan, keyakinan, dengan keyakinan bahwa ada kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih baik, di luar Cakrawala.”
Selamat tinggal tahun muram 2020, Selamat datang tahun Optimisme dan Harapan 2021. (P.sirait)