Pelitakota.id Indonesia, negeri yang dikenal dengan keberagaman agama dan budaya, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: intoleransi yang semakin menguat. Kasus penyegelan tempat ibadah Jamaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Garut, Jawa Barat, pada Juli 2024, menjadi contoh terbaru dari tindakan diskriminatif yang melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, kasus intoleransi juga terjadi di Cidahu, Sukabumi, dan Cilodong, Depok, dan yang terbaru pada minggu sore 27 Juli 2025 adalah berseliweran video di group group WA dan medsos aksi sekelompok orang di sebuah daerah di sumatera barat yang sedang melakukan aksi persekusi menghentikan kegiatan ibadah umat kristen disana dan hal ini masih ditelusuri dan di cari kebenaran informasi ini, kesemuanya itu adalah kondisi Indonesia menunjukkan bahwa intoleransi tidak hanya terjadi di satu tempat, tapi telah menjadi fenomena yang luas di Indonesia.
Bayangkan sebuah rumah yang memiliki banyak kamar, tapi pintu-pintu kamar tersebut dikunci dan dijaga oleh orang-orang yang tidak ingin membiarkan orang lain masuk. Itulah yang terjadi di Indonesia, di mana kebebasan beragama dijanjikan oleh Konstitusi, tapi dalam prakteknya, banyak hambatan dan penolakan yang dihadapi oleh minoritas.
Menurut data yang dihimpun oleh Setara Institute, terdapat lebih dari 342 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada tahun 2020 saja. Kasus-kasus tersebut termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah, penutupan tempat ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Dalam perspektif filsafat Jawa, konsep “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu) menjadi relevan dalam konteks ini. Konsep ini menekankan pentingnya kesatuan dan harmoni di tengah-tengah keberagaman. Namun, realitasnya, intoleransi justru menjadi ancaman bagi kesatuan dan harmoni tersebut.
Di balik kasus-kasus intoleransi tersebut, terdapat peraturan yang seharusnya menjadi payung hukum bagi kebebasan beragama, namun malah menjadi alat penindas bagi minoritas. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No 8 Tahun 2006 (Perber No 9 & No 8 tahun 2006) telah menjadi momok bagi komunitas Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.
_Pasal 29 UUD 1945: Sebuah Janji yang Belum Terpenuhi_
Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Namun, Perber No 9 & No 8 tahun 2006 dengan sengaja membatasi kebebasan beragama dengan mensyaratkan rekomendasi dari masyarakat setempat dan forum keagamaan untuk mendirikan rumah ibadah.
Perber No 9 & No 8 tahun 2006 telah menyebabkan penolakan bahkan penghentian aktivitas keagamaan yang sah secara konstitusional. Menurut data yang dihimpun oleh beberapa organisasi masyarakat sipil, terdapat lebih dari 100 kasus penolakan pembangunan rumah ibadah di Indonesia pada tahun 2020 saja.
Untuk memastikan bahwa kebebasan beragama benar-benar terjamin bagi semua warga negara, kita perlu melakukan beberapa perubahan kebijakan yang tegas dan kritis:
- Hapuskan Regulasi yang Diskriminatif: Segera hapuskan syarat rekomendasi masyarakat dan FKUB dalam pendirian rumah ibadah yang telah menjadi alat penindasan bagi minoritas.
- Tegakkan Hukum dengan Tegas: Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan profesional dalam menghadapi tindakan intoleransi dan kekerasan berbasis agama.
- Perkuat Peran Negara dalam Melindungi Hak-Hak Warga Negara: Pemerintah harus proaktif dalam menjamin kebebasan beragama dan melindungi hak-hak konstitusional setiap warga negara.
- Galakkan Pendidikan Toleransi yang Berkualitas : Pendidikan multikulturalisme dan toleransi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan intolerabilitas dan diskriminasi. Kita harus bersatu untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, lebih setara, dan lebih toleran. Kita harus memastikan bahwa kebebasan beragama benar-benar terjamin bagi semua warga negara.
Oleh Kefas Hervin Devananda, Penggiat Sosial dan Jurnalis Pewarna Indonesia