Pasangkayu, 28 Agustus 2024 – Kinerja Polres Pasangkayu dalam menangani kasus penyerobotan tanah di Kabupaten Pasangkayu kembali menjadi sorotan publik. Rumah Bantuan Hukum Indonesia (RBHI) mengkritik keras keterlambatan penanganan oleh pihak kepolisian, yang dinilai tidak menunjukkan perkembangan signifikan meskipun berbagai bukti telah diserahkan oleh korban.
Latar Belakang Kasus: Penyerobotan Tanah yang Sarat Masalah Kasus ini bermula ketika sejumlah warga Pasangkayu melaporkan adanya dugaan penyerobotan tanah oleh oknum tertentu yang tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah yang diduga diserobot mencakup lahan yang luas 24.110 meter persegi yang terletak di Desa Gunung Sari. Berdasarkan Sertipikat Hak Milik yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pasangkay. Meskipun laporan telah diajukan dan sudah hitungan tahun, Polres Pasangkayu hingga kini belum melakukan tindakan konkret yang dapat memberikan keadilan bagi para korban. Salah satu pengacara RBHI yang menangani kasus ini mengungkapkan bahwa mereka telah mengumpulkan berbagai bukti yang menguatkan dugaan penyerobotan tanah tersebut. Bukti-bukti yang telah diserahkan meliputi dokumen kepemilikan tanah, saksi mata, serta catatan transaksi yang menunjukkan adanya upaya ilegal untuk menguasai lahan tersebut. indikasi Pelanggaran Hukum: Potensi Jerat Pasal berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh RBHI, tindakan penyerobotan tanah ini dapat dijerat dengan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu pasal yang relevan adalah Pasal 385 KUHP, yang mengatur tentang perbuatan mengambil alih tanah tanpa hak, atau memanfaatkan tanah orang lain dengan cara yang melawan hukum. Pasal ini menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja mengambil tanah milik orang lain secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Tidak hanya itu, jika ditemukan bahwa penyerobotan ini melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang, yang dapat dikenai hukuman pidana lebih berat, yaitu pidana penjara hingga lima tahun enam bulan. Menurut pengacara RBHI, ada indikasi kuat bahwa pelaku penyerobotan ini bukan hanya melakukan penguasaan lahan secara ilegal, tetapi juga melibatkan intimidasi terhadap pemilik sah lahan tersebut. “Ini bukan hanya masalah administrasi atau sengketa tanah biasa; ini adalah tindakan kriminal yang seharusnya ditindak tegas oleh aparat penegak hukum,” tegas pengacara tersebut. Kritik terhadap Kinerja Polres Pasangkayu, RBHI mempertanyakan mengapa Polres Pasangkayu lambat dalam menindaklanjuti kasus ini, meskipun telah menerima berbagai bukti kuat yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum. Keterlambatan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ada intervensi dari pihak-pihak berkepentingan yang berusaha menghalangi proses hukum. “Kami sangat kecewa dengan kinerja Polres Pasangkayu. Ada kekhawatiran bahwa kasus ini sengaja diperlambat untuk melindungi pihak-pihak tertentu yang mungkin memiliki pengaruh kuat. Kami mendesak agar Polres segera bergerak dan menuntaskan kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku,” ungkap perwakilan RBHI. RBHI juga mengingatkan bahwa jika keterlambatan ini terus berlanjut tanpa adanya tindakan yang jelas, mereka tidak akan ragu untuk membawa kasus ini ke lembaga yang lebih tinggi, membuat aduan masyarakat ke Wasidik Polda Sulawesi Barat termasuk ke Kadiv Propam di Mabes Polri guna memastikan keadilan bagi para korban.
(EL)