Pelitakota.Id – Tersebarnya agama Kristen di Nusantara seringkali dipandang sebagai “warisan” bangsa barat, mulai dari para penginjilnya hingga model pengajaran yang ditanamkan.
Uniknya, terlepas dari perdebatan pandangan itu, pengajaran nilai-nilai gerejawi dari negara barat nyatanya bisa secara fleksibel berakulturasi dengan budaya masyarakat lokal. Mau bukti? Coba amati Gereja Kristen Jawa (GKJ). Walaupun menginduk pada konsep penginjilan dari Belanda, GKJ dan penerus penggeraknya justru mampu hadir dengan akrab di tengah-tengah budaya Jawa yang kental.
Jika ingin yang lebih spesifik lagi, ada pula Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Dibanding dengan GKJ, GKJW memang rasanya terdengar lebih asing di telinga. Wajar saja, sama seperti namanya, wetan yang berarti ‘timur’ dalam bahasa Jawa, penyebaran GKJW memang hanya sebatas di wilayah Jawa Timur saja.
Nah, sejak kapan gereja Jawi Wetan ini mulai marak berkembang di Nusantara? Mengusut jauh ke belakang, kita bisa mengkaitkannya dengan eksistensi GKJW di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur (Jatim).
Adalah sosok Karolus Wiryoguno, bisa dibilang sebagai tokoh pendiri yang bertanggung jawab atas kehadiran GKJW tersebut. Lahir di Bangkalan, kabupaten di Pulau Madura, Jatim, pada tahun 1809 silam, tak ada yang menyangka bila lelaki dengan nama kecil Raden Paing itu di masa depannya bisa ikut menggencarkan persebaran agama Kristen.
Pasalnya, masa kecil Wiryoguno terbilang jauh dari sentuhan berbau Nasrani. Ya, Wiryoguno lahir sebagai putra ke-3 dari Pangeran Cokrokusumo-keturunan Sultan Cakraadiningrat II yang menyukai berbagai ilmu kebatinan.
Bak buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, minat terhadap ilmu-ilmu itu pun ikut mengalir ke darah Wiryoguno. Sejak kecil dirinya menggandrungi segala macam ilmu kebatinan, serta bela diri secara supranatural alias ilmu kanuragan.
Asal tahu saja, ketertarikan Wiryoguno terhadap ilmu gaib itu cukup beralasan, mengingat kala itu, derajat atau status sosial seseorang akan terdongkrak bila menguasai ilmu-ilmu tersebut. Terlebih lagi, jika ajian-ajian ilmu sakti itu moncer menghantarkan mereka sebagai seorang jawara yang tak tertandingi.
Keyakinan Baru
Suatu ketika, Wiryoguno mendapatkan penglihatan, ada ilmu sejati yang sangat ampuh, yakni musqab gaib. Tak tanggung-tanggung, ilmu tersebut diyakini mampu membuat manusia menjadi kuat dan hidup dalam damai sejahtera.
Haus akan hasratnya mempelajari ilmu kebatinan, akhirnya Wiryoguno menutuskan untuk pergi ke daerah Ngoro demi mengejar ilmu musqab gaib di sebuah desa di wilayah Kabupaten Mojokerto, Jatim. Namun, ketika sampai di sana, tujuan Wiryoguno pun berubah 180 derajat.
Seolah-olah seperti ditakdirkan oleh Tuhan, Wiryoguno berjumpa dengan Coenraad Laurens Coolen, seorang lelaki peranakan Rusia-Belanda-Jawa yang merintis komunitas Kristen pertama di Jawa Timur sejak tahun 1827.
Lahir dan tumbuh bersama dengan penduduk desa, dibalut dengan didikan keras agama Kristen dari keluarganya, membuat Coolen paham betul soal ngelmu Srani atau agama Nasrani.
Tak heran, Coolen yang juga merupakan sosok pemimpin desa itu, tergolong lihai dalam menerjermahkan ajaran penting dalam agama Kristen, seperti Pengakuan Iman Rasuli, 10 Hukum Taurat, hingga Doa Bapa Kami.
Frederick Djara Wellem dalam buku Kamus Sejarah Gereja menceritakan, Coolen dalam pengajarannya kerap memadukan injil dengan kearifan lokal seperti wayang, tembang Jawa, atau legenda setempat yang dipercayai oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Nah, pendekatan Coolen yang unik dengan warna berbeda itu, rupanya cukup ampuh untuk memikat bibit-bibit pengikut Kristus yang baru.
Bahkan, pokok ajaran Kristen njawani ini ke depannya juga diteruskan oleh generasi penginjil Kristen lain yang tidak kalah hebatnya. Sebut saja Kiai Sadrach dan Ibrahim Tunggul Wulung.
Singkat cerita, sama seperti Kiai Sadrach dan Tunggul Wulung, Wiryoguno juga terpukau dengan ajaran-ajaran Kristen yang disampaikan oleh Coolen. Lambat laun, nilai-nilai Kristiani pun deras merasuk ke jiwa Wiryoguno.
Dua tahun menyelami ngelmu Srani bersama Coolen, pria yang tadinya jatuh cinta dengan segala hal bernuansa kebatinan dan gaib itu akhirnya memantapkan hatinya untuk menganut agama Kristen.
Komitmen tersebut, tercermin dari kesediaan Wiryoguno untuk menerima sakramen baptis dari Pendeta Van Meyer pada tahun 1844, tepatnya ketika dia berumur 35 tahun.
Proses ini tak dilalui Wiryoguno sendirian. Dia juga turut membawa saudara-saudaranya yang lain untuk bersama-sama memeluk agama Kristen. Setelah menerima baptisan, nama Karolus disematkan sebagai nama baptis Wiryoguno.
Sayang, kemantapan iman Wiryoguno untuk memeluk agama Kristen ini tidak bisa diterima oleh banyak orang di sekitarnya.Banyak orang di desa asalnya memusuhi Wiryoguno.
Dari sini lah, terbersit di benak Wiryoguno untuk memiliki desa sendiri. Tak butuh waktu lama, Wiryoguno teringat akan Hutan Keracil di dekat Ngoro, daerah yang dulunya ia datangi untuk mencari ilmu kebatinan.
Bangun Desa
Dibantu oleh Pendeta Van Meyer, keluarga Wiryoguno berhasil menerima surat ijin dari Residen Surabaya, P.J.B de Perez, untuk membabat Hutan Keracil. Soal babat hutan ini, Wiryoguno sadar bila pembukaan hutan tidak bisa dilakukan dengan sekadar menebang pohon, tanpa ada perencanaan matang ataupun kerja sama dengan orang lain.
Ia pun berpikir keras tentang cara bagaimana keinginannya untuk membangun desa itu bisa terwujud. Tak diduga sebelumnya, Wiryoguno kembali dipertemukan dengan Abisai Ditotruno, sosok yang telah dia kenal sedari perjalanannya pertama kali mengunjungi Desa Ngoro.
Tanpa membuang banyak waktu, ia mengungkapkan niatnya soal pembangunan desa ke Ditotruno. Mereka berdua pun larut dalam perundingan, dan akhirnya sepakat untuk bersama-sama memulai pembangunan desa. Diawali dari sebelah utara rumah Ditotruno, pembukaan Hutan Keracil pun dimulai.
Sedikit demi sedikit, gubug-gubug yang terbuat dari kayu hutan dan beratapkan pohon rotan mulai kokoh berdiri. Desa perdana yang dibuka ini diberi nama ‘Mojowarno’ oleh Wiryoguno dan Ditotruno.
Adapun, kata ‘Mojo’ diambil dari kata Majapahit, lantaran Hutan Keracil ini masuk dalam wilayah Majapahit. Sementara kata ‘warno’, dipilih mengingat penghuni Hutan Keracil ini berasal dari berbagai daerah, dengan latar belakang sosial dan budaya yang beragam.
Pembangunan itu pun kembali berlanjut ke wilayah lainnya, yang mencakup pembangunan Desa Mojowangi. Tahun 1847, pembukaan hutan baru itu kembali menghasilkan permukiman baru bernama Mojoroto.
Selepas itu, peradaban pun mulai tumbuh, sarana perdesaan agraris lengkap dengan jalan penghubung dan bendungan kini menghiasi wilayah yang tadinya hanya berupa hutan lebat itu.
Cita-cita Wiryoguno untuk melihat desa dengan suasana yang damai dan sejahtera akhirnya terwujud. Pasalnya, masyarakat yang hidup di dalamnya punya budaya tolong-menolong dan rasa persaudaraan yang erat.
Seiring dengan bertumbuhnya desa-desa itu, jumlah masyarakat yang paham terhadap ajaran Kristen pun makin menjamur. Rumah-rumah ibadah yang ada, khususnya di Desa Mojowarno tak lagi memadai untuk mengakomodir jumlah jemaat yang ada di sana.
Hingga akhirnya, seorang penginjil bernama Paulus Tosari mulai menggagas pembangunan gereja di Mojowarno pada tahun 1871. Abdul Rashid dalam bukunya yang berjudul Cahaya Itu Terbit Dari Mojowarno menuliskan, kala itu Wiryoguno menjadi penanggung jawab dari pembangunan gereja yang nantinya menjadi pusat agama Kristen Jawi Wetan di Jatim itu.
Singkat cerita, pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) rampung pada tahun 1881. Mengusung konsep arsitektur Eropa yang terbilang megah, GKJW Mojowarno pertama kali digunakan sebagai tempat ibadah pada 3 Maret 1881.
Selain gereja, Wiryoguno juga ikut ambil bagian dalam pendirian rumah sakit, sekolah, hingga pembangunan jalan besar. Proyek-proyek besar ini akhirnya membawa masyarakat sekitar makin maju lagi.
Pasca pembangunan yang masif itu, orang Kristen Jawa dari kelas wong cilik dapat mengenal pendidikan dan ilmu pengetahuan yang lebih kekinian. Keberadaan ‘dukun’ modern seperti dokter dan mantri, komplit dengan obat-obatan modern, lama kelamaan sukses menggantikan kebiasaan penduduk di desa-desa Kristen untuk pergi ke tabib tradisional.
Sedikit demi sedikit, kepercayaan masyarakat Jawa terhadap keberadaan para roh gaib yang dianggap sebagai sumber dari penyakit yang mereka derita dan takhayul, juga mulai berkurang.
Kian Bersinar
Sampai penghujung tahun 1899, salah satu masterpiece dari Wiryoguno, GKJW Mojowarno, pertumbuhannya makin melesat. Gereja ini bahkan mampu membentuk delapan cabang lain. Persebarannya pun meluas di Jatim, yakni mencapai Bongsorejo, Kertorejo, Ngoro, Segaran, Guyungan, Iyug, Pule, bahkan sampai ke Kota Surabaya.
Perkembangan GKJW Mojowarno juga terus berlanjut seiring dengan berjalannya waktu. Mengutip artikel tabloid Reformata edisi 82 tahun 2008, GKJW Mojowarno bahkan tetap kokoh bertahan dalam kesederhanaan, meski telah lebih dari satu abad berlalu sejak diresmikan.
Buktinya? Lihat saja jemaatnya, di mana pada tahun 2000-an kerap ditemui wanita berusia lanjut yang mengenakan pakaian kebaya. Tak sedikit juga kaum pria yang hadir beribadah dengan menggunakan sarung, layaknya warga muslim perdesaan yang hendak sholat berjamaah.
Selain dari jemaat, kesederhanaan itu ikut tercermin dari format liturginya. Di tengah makin ramainya gereja modern yang menggemakan lagu kontemporer dalam ibadahnya, GKJW Mojowarno masih setia melestarikan kidung pujian yang dilantunkan dengan bahasa Jawa halus.
Namun, patut diakui, liturgi yang dipakai tidak seluruhnya menggunakan bahasa Jawa. Maklum saja, gereja yang mayoritas jemaatnya adalah petani itu juga mesti menyesuaikan keadaan masa kini.
Seolah tak tergerus perubahan jaman, GKJW Mojowarno kian masif berkembang. Tercatat, setidaknya hingga tahun 2008, telah lahir sebanyak 150 gereja baru yang meramaikan Jatim dengan ajaran Jawi Wetannya.
Sayangnya, belum sempat melihat perkembangan pesat dari GKJW Mojowarno yang merupakan hasil rintisannya, Wiryoguno dipanggil kembali ke rumah Tuhan pada tahun 1899, tepat diumurnya yang ke-90. Tanah di Desa Mojowangi yang telah ia bangun sedemikian rupa itu pun, menjadi tempat peristirahatan Karolus untuk selamanya.
Meski fisiknya tak lagi ada, tapi kerja keras terbukti tak sia-sia. Bahkan, sejarah mencatat bila gereja besutan Wiryoguno yang berbasis Jawi Wetan itu, disebut-sebut sebagai gereja tertua dan pusat agama Kristen se-Jawa Timur.
Terlepas dari segala jasanya, satu yang pasti, sosok Wiryoguno selalu terkenang di hati para penerusnya dan siapapun yang terinspirasi olehnya. Secara tidak langsung, kepergiannya juga lah yang bisa mengingatkan generasi saat ini terhadap bentukkonkret kebhinekaan dan pluralisme, di mana keturunan Sultan bisa bebas memilih untuk berkarya demi perkembangan agama Nasrani, walau berada di tengah masyarakat dengan kepercayaan yang beragam. (dari berbagai sumber/Pelitakota.Id)