Danantara: Sebuah Langkah Strategis Menuju Kedaulatan Ekonomi, Bukan Otoritarianisme

Spread the love

Pelitakota.id Kritik yang disampaikan oleh pemerhati yang super hati-hati terhadap Danantara memang mendalam dan didukung oleh teori-teori politik serta ekonomi yang mapan. Namun, sementara skeptisisme sangat penting dalam diskursus demokrasi, argumen ini keliru dalam memahami potensi Danantara, dan terlalu cepat menghakimi sebagai alat otoritarianisme, daripada melihatnya sebagai sebuah kebutuhan strategis untuk kedaulatan ekonomi Indonesia.

Berbagai tuduhan—mulai dari nepotisme, kurangnya transparansi regulasi, hingga risiko tata kelola—mengabaikan kenyataan yang lebih besar: Indonesia harus membangun lembaga investasi yang dapat melindungi masa depan ekonominya dari dominasi modal asing. Danantara bukan Temasek, dan memang tidak seharusnya demikian—tetapi itu tidak membuatnya secara otomatis korup atau otoriter.

1. Urgensi Dana Investasi Kedaulatan Negara

Ekonomi Indonesia tidak bisa terus bersikap pasif dalam pasar global. Kritik terhadap Danantara terlalu berfokus pada ketakutan akan otoritarianisme fiskal, dan gagal memahami bahwa pembentukan mekanisme investasi negara adalah langkah yang sudah lama tertunda.

Fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam memanfaatkan aset BUMN untuk reinvestasi modal, tidak seperti Singapura (Temasek) atau Norwegia (Norwegian Government Pension Fund).

Jika kita jujur, keterlambatan Indonesia dalam membangun dana kedaulatan ini justru telah membuat kita lebih rentan terhadap guncangan ekonomi global dan ketergantungan terhadap modal asing. Perusahaan investasi swasta—sering kali milik asing—memegang kendali besar atas sumber daya alam, infrastruktur, dan ekonomi digital Indonesia. Tanpa konsolidasi aset nasional, kekayaan negara kita akan tetap terfragmentasi, undervalued, dan mudah dikuasai pihak luar.

> Mekanisme dana kedaulatan yang kuat bukanlah alat otoritarianisme—melainkan kebutuhan ekonomi yang mendesak.

Apakah para kritikus ingin Indonesia terus-menerus dijajah oleh modal asing, atau sebaiknya mulai mengambil langkah strategis dengan mengendalikan asetnya sendiri demi kesejahteraan nasional?

2. Pengangkatan Pejabat Politik: Kenyataan yang Tidak Bisa Dihindari, Bukan Bukti Korupsi

Hara Nirankara menyoroti penunjukan tokoh politik di Danantara sebagai bentuk patrimonialisme, yang katanya mirip dengan praktik Orde Baru. Namun, ini adalah kesimpulan yang terburu-buru. Semua dana kedaulatan negara di dunia memiliki keterlibatan politik di dalamnya.

Norwegian Government Pension Fund, dana kedaulatan terbesar di dunia, memiliki dewan yang dipilih oleh pemerintah.

Temasek awalnya dipimpin oleh seorang Menteri Kabinet Singapura, tetapi tetap beroperasi sebagai kekuatan investasi global yang profesional.

Bank Sentral AS (Federal Reserve), lembaga keuangan paling berpengaruh di dunia, sepenuhnya terdiri dari pejabat yang ditunjuk oleh Presiden AS.

Menyimpulkan bahwa setiap pengangkatan politik pasti korup atau tidak profesional adalah kesalahan berpikir. Yang lebih penting adalah kompetensi individu yang ditunjuk, bukan sekadar latar belakang politiknya.

Apakah para kritikus beranggapan bahwa dana kedaulatan negara bisa berjalan tanpa sedikit pun keterlibatan pemerintah? Jika demikian, lalu bagaimana mungkin kekayaan negara dikelola tanpa adanya tanggung jawab kepada rakyat?

3. Pengawasan Birokrasi vs. Efisiensi Ekonomi: Perdebatan KPK-BPK

Salah satu kritik terbesar adalah persyaratan izin DPR untuk KPK dan BPK dalam mengaudit Danantara. Kritikus mengklaim ini adalah upaya menutupi korupsi, padahal ini lebih kepada mekanisme efisiensi tata kelola.

> Manajemen kekayaan negara butuh pengawasan, tetapi tidak boleh lumpuh karena birokrasi berlebihan.

Jika setiap kebijakan investasi diperiksa secara berlebihan oleh lembaga politik sebelum bisa dijalankan, maka kita hanya akan berputar dalam siklus ketidakpastian regulasi. Model yang diterapkan tidak menghilangkan pengawasan, melainkan memastikan bahwa audit dilakukan secara terukur dan tidak menjadi alat politisasi.

Apakah para kritikus lebih memilih Danantara lumpuh karena terlalu banyak intervensi politik, atau justru menghendaki keleluasaan bagi mekanisme investasi negara agar bisa bekerja dengan optimal?

4. Korupsi Adalah Tantangan, Tetapi Menghindari Investasi Negara Bukan Solusi

Kritik terhadap potensi korupsi dalam BUMN memang sah, tetapi bukan alasan untuk menolak langkah investasi strategis. Korupsi bisa terjadi di sektor publik maupun swasta, tetapi pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa dengan tata kelola yang baik, dana kedaulatan bisa sangat efektif.

Alih-alih membongkar Danantara, fokus seharusnya pada:

Menerapkan standar transparansi global (seperti model Norwegia).

Menghadirkan auditor independen internasional untuk mencegah penyalahgunaan dana.

Memastikan seleksi kepemimpinan berbasis kinerja, bukan sekadar latar belakang politik.

Apakah para kritikus lebih memilih Indonesia menyerahkan investasinya kepada modal asing, hanya karena takut akan kemungkinan korupsi?

5. Otoritarianisme Adalah Isu yang Tidak Relevan

Salah satu klaim yang paling lemah dalam kritik ini adalah anggapan bahwa Danantara adalah alat menuju otoritarianisme. Tidak ada bukti nyata bahwa dana kedaulatan negara akan otomatis mengarah pada kediktatoran.

> Otoritarianisme tidak dibangun dari strategi ekonomi—melainkan dari represi politik.

Indonesia tetap merupakan negara demokrasi, dan pemerintahan yang berkuasa akan selalu dinilai berdasarkan kinerjanya. Jika kebijakan ekonomi gagal, rakyat tetap memiliki mekanisme untuk mengganti kepemimpinan melalui pemilu.

Apakah para kritikus benar-benar percaya bahwa investasi negara akan secara otomatis menghancurkan demokrasi, atau mereka sekadar mencari alasan untuk menghambat kebijakan yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi Indonesia?

Kesimpulan: Perspektif yang Lebih Seimbang tentang Danantara

Danantara bukan kebijakan yang sempurna—dan memang tidak seharusnya kebal dari kritik. Tetapi narasi oposisi yang sepenuhnya menolak gagasan ini lebih berbahaya daripada risiko yang ditakutkan. Indonesia perlu membangun mekanisme investasi nasional yang kuat, dan menolak Danantara hanya karena prasangka politik adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab secara ekonomi.

Alih-alih menginginkan pembatalan Danantara, perdebatan yang lebih rasional seharusnya berfokus pada bagaimana memastikan tata kelola yang baik.

Indonesia saat ini memiliki peluang emas untuk mengendalikan masa depan ekonominya. Danantara mungkin bukan solusi sempurna, tetapi menolaknya sepenuhnya justru merupakan risiko yang lebih besar bagi Indonesia.

Dalam bukunya Paradoks Indonesia, Presiden Prabowo menegaskan bahwa jika ia terpilih sebagai Presiden RI, peran pemerintah dalam ekonomi akan ia ubah dari sekadar fasilitator menjadi penggerak utama. Hal ini mencerminkan visinya bahwa negara harus lebih aktif dalam mengelola aset dan investasi strategis, bukan hanya memberikan insentif bagi sektor swasta.

Danantara adalah perwujudan konkret dari gagasan ini, di mana pemerintah tidak lagi bersikap pasif, tetapi mengambil peran utama dalam memastikan bahwa kekayaan nasional benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat. Maka, menolak Danantara berarti menolak peluang bagi Indonesia untuk lebih mandiri dalam menentukan arah ekonominya, dan tetap berada dalam bayang-bayang dominasi modal asing.

Apakah para kritikus lebih memilih Indonesia tetap menjadi sandera modal asing, hanya untuk memenangkan debat ideologis?

Jawabannya seharusnya sudah jelas.

By : Andrew Tani, Sr.
Adviser, Orbex GenAI Academy

Tinggalkan Balasan