Bidik Kelas Menengah ke Atas, Petani di Ngablak Tanam Sayuran Premium

Spread the love

MUNGKID – Menyasar peluang pasar kelas menengah, petani di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, membudidayakan bit merah. Memenuhi kebutuhan supermarket dan pasar modern.

Ketua Kelompok Tani Mutiara Organik, Eko Manunggal mengatakan, membudidayakan bit merah lebih menguntungkan dibanding jenis tanaman hortikultura lainnya.

Selain perawatan tanaman relatif mudah, harga jual bit merah atau beetroot cenderung lebih stabil. Harga jual bit merah di situs jual beli online saat ini berkisar Rp6.000 hingga Rp12.000 per kilogram.

“Secara umum harga sayuran di pasar lokal, fluktuatif. Sayuran umum tidak bisa (lebih sulit) masuk ke supermarket. Seperti kubis, sawi yang ditanam rata-rata oleh para petani konvensional,” kata Eko saat ditemui di ladang bit merah di Dusun Kenteng, Desa Sumberejo, Ngablak, Rabu (9/4/2025).

Menyiasati kondisi tersebut, Eko bersama sekitar 20 anggota Kelompok Tani Mutiara Organik memilih menanam sayuran jenis nonlokal. Selain bit merah, mereka menanam bayam Jepang (horenso), letucce romain, dan kale.

Sayuran hasil panen biasanya dijual melalui perusahaan penyuplai kebutuhan supermarket di Malang dan Surabaya. Kelompok Tani Mutiara Organik juga meluaskan jaringan pemasaran hingga ke Sumatera.

“Pasar kami untuk jenis sayuran yang bukan mass market (pasar massal). Istilahnya produk premium. Harga jual jenis sayuran premium ini lebih mahal,” terangnya.

Menurut Eko, saat ini belum banyak petani yang tertarik menanam sayuran jenis nonlokal. Persaingan di ceruk usaha ini tidak sekeras persaingan harga di pasar sayuran konvensional.

Harga satu kilogram bit merah di tingkat petani saat ini berkisar Rp5.000. Nilai harga bisa lebih mahal tergantung kualitas sayuran.

Padahal, kata Eko, perawatan sayuran jenis nonlokal lebih mudah. Masa panen sayuran jenis nonlokal lebih pendek dibanding sayuran pada umumnya.

“Kelebihannya tanaman ini umurnya pendek, Jadi perputarannya (panen) cepat. Contoh bit ini sudah bisa dipanen umur 50 hari. Horenso itu umur tanam satu bulan sudah bisa panen raya,” ujar Eko.

Bandingkan dengan kubis yang baru bisa dipanen pada usia tanam sekitar tiga bulan. Masa panen cabai bahkan lebih lama lagi, antara empat sampai lima bulan setelah ditanam.

“Tanaman semacam sayuran daun itu usia panennya pendek. Jadi perputarannya lumayan cepat dibanding misalkan cabai atau kubis. Perbandingannya menanam kubis satu kali, sayuran daun ini sudah bisa panen dua sampai tiga kali,” imbuhnya.

Setiap hari rata-rata Kelompok Tani Mutiara Organik mengirim 200 kilogram sayuran ke perusahaan penyuplai supermarket. Pengiriman tidak dilakukan dalam jumlah besar untuk menjaga kesegaran sayuran setiap hari.

“Kami mengirim sesuai kebutuhan harian di supermarket. Jadi setiap hari kirim. Kami panen pagi, malamnya dikirim. Besoknya kami panen lagi, jadi istilahnya tidak ada kadaluarsa,” ujar Eko.

Pengemasan dan pengiriman buah bit atau jenis sayuran lainnya termasuk sederhana. Cukup dikemas dalam kardus untuk kemudian dikirim menggunakan jasa angkutan bus malam atau travel.

Menjaga kualitas hasil panen menjadi faktor kunci untuk bertahan dalam mata rantai pemasaran produk pertanian premium. Supermarket biasanya menetapkan grade sayuran sesuai kebutuhan pasar.

Standar bobot bit merah misalnya, sekira empat buah untuk setiap kilogram. Bayam Jepang grade A memiliki tinggi tanaman 35-40 centimeter, dengan kondisi daun bersih tanpa bercak hitam atau bekas dimakan serangga.

Meski begitu, kata Eko, sayuran yang tidak lolos standar supermarket masih bisa dijual ke beberapa pasar modern di Semarang.

“Kalau spek-nya tidak masuk (supermarket), kita jual ke semacam home industry atau pasar modern. Hasil panen kita serap semua baik yang grade A, B, maupun C,” lanjutnya.

Kelompok Tani Mutiara Organik saat ini menerapkan sistem tani plasma kepada para anggota. Petani anggota wajib menerapkan metode tanam yang seragam, sehingga mendapat hasil panen sesuai standar pasar.

Pengaturan masa tanam pada sistem pertanian plasma menjamin ketersediaan sayuran setiap hari. Petani tidak menanam sayuran dalam waktu bersamaan, sehingga dapat panen bergiliran.

Kepala Desa Sumberejo, Subandi menjelaskan, selain dipasarkan ke supermarket, hasil panen bit merah juga dikembangkan menjadi produk olahan minuman.

Bekerja sama dengan Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, bit merah diolah menjadi teh celup.

Teh celup berlabel “Bieten Tea” saat ini diproduksi oleh badan usaha milik Desa Sumberejo. Selain meningkatkan nilai jual, produksi teh celup bisa membantu menstabilkan harga saat terjadi penumpukan hasil panen bit merah.

“Tapi sampai saat ini teh bit masih terkendala pemasaran. Alat-alat dan tenaga kerja sudah ada, tapi masih sulit pemasaran. Mungkin karena masyarakat belum familiar bit merah diolah menjadi teh celup,” kata Subandi.

Subandi berharap pemerintah bisa membantu membuka jalur pemasaran bit merah hingga menjangkau pasar yang lebih luas.

“Potensi budidaya bit merah di desa kami masih sangat besar,” kata dia [÷]

Tinggalkan Balasan