Bogor – Di tengah riuhnya dunia yang makin berwarna, toleransi bukan lagi sekadar hiasan bibir atau slogan kosong. Ia adalah fondasi kokoh yang menopang keberagaman, jembatan emas yang menghubungkan perbedaan, dan kunci ajaib yang membuka pintu harmoni.
Bayangkan Indonesia tanpa toleransi. Alih-alih mozaik indah yang mempesona, yang ada hanyalah kepingan-kepingan kaca yang saling melukai. Alih-alih simfoni merdu yang menenangkan, yang terdengar hanyalah kebisingan konflik yang memekakkan telinga.
Toleransi itu bukan berarti kita harus meleburkan diri dalam keyakinan orang lain. Bukan berarti kita harus mengorbankan identitas diri demi menyenangkan semua orang. Tidak! Toleransi adalah tentang menghargai perbedaan, mengakui hak setiap individu untuk menjadi dirinya sendiri, dan merayakan keberagaman sebagai anugerah yang tak ternilai harganya.
Setiap tanggal 16 November, kita memperingati Hari Toleransi Internasional. Bukan sekadar seremoni tahunan, hari ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa toleransi adalah kerja keras yang tak pernah selesai. Ia adalah panggilan untuk terus belajar, berdialog, dan berempati. Ia adalah ajakan untuk membuka hati dan pikiran kita, serta melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Contohnya, lihatlah bagaimana warga desa di Bali tetap menghormati dan membantu tetangga mereka yang beragama Islam saat Hari Raya Idul Fitri, atau bagaimana anak-anak muda lintas agama di Yogyakarta bersama-sama membersihkan tempat ibadah yang berbeda keyakinan. Tindakan-tindakan sederhana ini adalah bukti nyata bahwa toleransi bisa hidup dan berkembang di tengah masyarakat kita.
Namun, mari kita jujur, toleransi di Indonesia masih menghadapi tantangan. Contohnya, kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, ujaran kebencian di media sosial, dan intoleransi di lingkungan pendidikan masih sering terjadi. Ini adalah fakta yang tidak bisa kita abaikan.
Landasan hukum yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Selain itu, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut keyakinannya. Beberapa daerah juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang penyelenggaraan toleransi kehidupan bermasyarakat, seperti Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 12 Tahun 2022 dan Perda Provinsi Maluku Nomor 3 Tahun 2022.
Literasi tentang toleransi adalah kunci untuk memahami dan menghargai perbedaan. Dengan membaca, belajar, dan berdiskusi, kita dapat memperluas wawasan kita tentang berbagai budaya, agama, dan keyakinan. Kita juga dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan empati, sehingga kita dapat melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Filosofi budaya Nusantara mengajarkan kita tentang “Bhineka Tunggal Ika”, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di Indonesia, serta untuk tetap bersatu sebagai bangsa. Contoh lain adalah konsep “Gotong Royong”, yang mengajarkan kita untuk saling membantu dan bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.
Kerennya lagi, toleransi itu bukan cuma urusan orang dewasa. Anak-anak muda juga punya peran penting dalam menjaga dan merawat toleransi. Dengan kreativitas, inovasi, dan semangat yang membara, generasi muda bisa menjadi agen perubahan yang membawa angin segar bagi toleransi di Indonesia. Contohnya, banyak anak muda yang aktif mengkampanyekan toleransi melalui media sosial, seni, dan kegiatan sosial.
So, mari kita jadikan toleransi sebagai gaya hidup. Mari kita tebarkan virus kebaikan di dunia maya maupun dunia nyata. Mari kita buktikan bahwa Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia dalam merawat keberagaman dan membangun harmoni.
Seperti kata pepatah Jawa, “Desa mawa cara, negara mawa tata.” (Setiap daerah punya cara, setiap negara punya aturan.) Artinya, kita harus menghargai perbedaan tradisi dan keyakinan yang ada di setiap daerah, karena setiap perbedaan itu memperkaya Indonesia. Toleransi bukan warisan nenek moyang, tapi perjuangan kita hari ini untuk masa depan Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Berani jujur, berani bertindak, atau kita akan terus terjajah oleh ketakutan dan kebencian!
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Parkindo


