Bogor,23 Desember 2025 – Di tengah derasnya arus modernisasi, tatar Sunda tetap menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai – dan yang paling menonjol adalah seni tradisinya yang tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang dan tumbuh seiring perkembangan zaman. Bagi saya, sebagai seseorang yang telah melacak perkembangan budaya di tanah air selama bertahun-tahun, ini bukan sekadar kebetulan, tapi bukti kebijaksanaan masyarakat Sunda dalam menjaga akar tradisi sambil membuka diri pada perubahan – membuat budaya mereka tetap relevan dan hidup di hati generasi muda, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan pengembangan budaya tanpa kehilangan nilai luhurnya.
Sejarah menunjukkan bahwa seni Sunda telah ada sejak abad ke-16, seperti yang tercatat dalam naskah Kidung Sunda – mulai dari wayang, tari, hingga musik gamelan. Namun, yang menakjubkan adalah bagaimana seni ini tidak terjebak di masa lalu. Contohnya, tari Jaipong yang muncul pada abad ke-20 – bukan seni “asli” yang ada sejak dulu, tapi gabungan dari tari ketuk tilu, ronggeng, dan pencak silat, diiringi musik kliningan dengan sentuhan modern.
Hari ini, Jaipong tidak hanya dipentaskan di hajatan tradisional, tapi juga di panggung nasional bahkan internasional – membuktikan bahwa seni tradisi bisa “berkembang” tanpa kehilangan jati dirinya. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Tak Benda Indonesia yang mengizinkan inovasi pada warisan budaya asalkan nilai intinya tetap terjaga.
Begitu juga dengan wayang golek. Meskipun cerita utamanya masih diambil dari Mahabharata dan Ramayana, dalang-dalang muda kini seringkali memasukkan pesan tentang masalah sosial modern, seperti lingkungan, kesetaraan, dan pendidikan. Di balik itu semua, nilai silih asih, silih asah, silih asuh tetap menjadi tulang punggung cerita – mengajarkan bahwa kemajuan tidak boleh melupakan kesatuan dan kasih sayang, sesuai dengan norma-norma masyarakat Sunda yang dijamin oleh Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda yang mengutamakan pelestarian nilai budaya lokal.
Di setiap gerak tari, setiap nada gamelan, setiap kata dalang wayang, tersembunyi nilai-nilai filosofis yang menjadi jiwa budaya Sunda – semua itu dilindungi dan dipromosikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur pelestarian warisan budaya baik benda maupun tak benda:
– Gamelan dan Angklung: Membuktikan nilai gotong royong dan harmoni. Satu instrumen saja tidak bisa menghasilkan musik yang indah – butuh kerjasama banyak orang, masing-masing memainkan peranannya dengan penuh kesadaran. Ini adalah cerminan silih asah: menyempurnakan diri untuk kebaikan bersama, yang juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan yang menekankan peran masyarakat dalam pembinaan budaya.
– Tari Merak dan Tari Kuda Lumping: Menggambarkan keselarasan dengan alam, yang merupakan bagian dari filosofi sundawa wiwitan. Tari merak meniru keindahan burung merak yang hidup di hutan – mengajarkan untuk menghargai keindahan ciptaan Tuhan, sesuai dengan Konvensi Penyelenggaraan Warisan Budaya Tak Benda yang diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007.
– Wayang Golek dan Wayang Kulit: Sebagai pandai besi (pembimbing hati). Setiap cerita wayang tidak hanya mengisahkan perang dan cinta, tapi juga tentang pilihan hidup – antara kebaikan dan kejahatan, antara keegoisan dan kebahagiaan bersama. Ini adalah bentuk silih asuh yang diberikan oleh leluhur kepada generasi muda, yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar karya seni tradisional tidak disalahgunakan
Tanpa peran generasi muda, seni tradisi Sunda tak mungkin berkembang seperti sekarang. Saat ini, banyak komunitas seni tradisi di tatar Sunda diisi oleh anak muda yang antusias mempelajari dan mengembangkan warisan leluhur – hal ini didorong oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk mempromosikan budaya lokal di tingkat masyarakat.
Contohnya, komunitas angklung muda di Bandung yang memainkan lagu-lagu populer dengan angklung – bukan untuk merusak tradisi, tapi untuk menunjukkan bahwa angklung bisa berbicara dengan bahasa zaman sekarang. Atau komunitas wayang golek muda yang membuat konten wayang di YouTube dengan cerita yang mengangkat masalah sosial seperti bullying dan kemiskinan – tetap menyimpan nilai pandai besi tapi dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh anak muda.
Ini adalah bukti bahwa nilai filosofis Sunda tidak ketinggalan zaman – yang perlu diubah hanyalah cara menyampaikannya, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 36 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Register Nasional Cagar Budaya yang mendorong dokumentasi dan promosi warisan budaya melalui media modern.
Budaya Sunda dan seni tradisinya adalah bukti bahwa kemajuan dan tradisi tidak harus saling bertentangan. Seni ini adalah waktu yang hidup – di mana masa lalu memberikan filosofi sebagai pedoman, masa kini memberikan inovasi sebagai nafas, dan masa depan menjadi tempat di mana keduanya bertemu, semuanya dijamin oleh aturan hukum dan norma-norma masyarakat yang kuat.
Semoga masyarakat Sunda terus menjaga kebijaksanaan ini – menjadikan seni tradisi sebagai jembatan yang tidak hanya menghubungkan generasi, tapi juga menjaga agar manusia tidak tersesat dalam derasnya modernisasi. Karena di akhirnya, seni yang penuh nilai filosofis dan dilindungi oleh hukum adalah seni yang akan tetap hidup dan menginspirasi, bukan hanya untuk Sunda, tapi untuk seluruh bangsa Indonesia.
Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia


