Jawa Barat – Saudara-saudari sebangsa dan setanah air, mari kita merenung sejenak. Di negara yang kita cintai ini, kekuasaan tertinggi berada di tangan siapa? Jawabannya tegas dan jelas: di tangan rakyat! Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Ini adalah filosofi dasar bangsa kita, sebuah janji suci yang mengikat. Namun, apa jadinya jika kedaulatan itu dirampas, dikebiri, dan diserahkan kepada segelintir elite partai politik? Itulah ancaman nyata yang mengintai di balik sistem proporsional tertutup, sebuah skema yang dirancang untuk mengkhianati kedaulatan rakyat dan meruntuhkan pilar-pilar demokrasi yang telah susah payah kita bangun.
Jangan biarkan sejarah menjadi guru yang tuli, apalagi buta. Sistem ini bukanlah inovasi progresif, melainkan hantu dari masa lalu, warisan kelam Orde Baru yang otoriter. Dulu, kita berhasil mengusirnya, menguburnya dalam-dalam di bawah semangat reformasi. Tapi kini, para elite yang haus kekuasaan itu kembali mencoba membangkitkannya, seperti vampir yang menghisap darah segar demokrasi. Ini adalah perwujudan dari pribahasa Jawa, “Gajah ngidak rapah,” yang berarti orang besar atau berkuasa melanggar aturan atau merusak tatanan yang seharusnya ia jaga. Mengapa? Karena mereka tahu, sistem ini adalah kunci untuk mengamankan singgasana mereka, mengabaikan aspirasi rakyat dan mengkhianati cita-cita reformasi.
Kini, ada upaya rencana itu akan diwujudkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang digodok di balik pintu tertutup. Kabarnya, sejumlah partai politik, yang haus kekuasaan dan takut kehilangan kendali, berupaya memasukkan sistem proporsional tertutup ke dalam RUU tersebut. Mereka adalah para pengkhianat demokrasi, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kedaulatan rakyat. Ini seperti pribahasa Sunda, “Ulah ngukur baju sasampaian,” jangan mengukur baju saat masih di jemuran. Artinya, jangan membuat keputusan penting tanpa perhitungan matang dan tanpa melihat detailnya, apalagi jika keputusan itu disembunyikan dari pandangan publik. Siapa saja mereka? Rakyat berhak tahu! Transparansi adalah kunci untuk melawan konspirasi ini.
Bayangkan Anda membeli seekor kucing, tetapi Anda tidak boleh melihatnya, menyentuhnya, atau bahkan mengetahui jenis kelaminnya. Anda hanya boleh memilih karungnya. Itulah ironi sistem proporsional tertutup: Anda memilih partai, tetapi Anda tidak tahu siapa yang akan mewakili Anda di parlemen. Partai, dengan segala intrik dan transaksinya, yang akan menentukan siapa yang berhak duduk di kursi empuk itu. Bukankah ini sama saja dengan melanggar konstitusi, menginjak-injak hak rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung dan bertanggung jawab? Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Bagaimana mungkin pemilu bisa dianggap langsung jika pemilih tidak punya kendali atas siapa yang terpilih? Ini juga mengingatkan kita pada pribahasa Jawa, “Wong pinter durung karuan bener,” orang pintar belum tentu benar. Kecerdasan para elite dalam merancang sistem ini tidak menjamin kebenaran dan keadilan bagi rakyat.
Para pendukungnya akan menjanjikan stabilitas politik, seperti ular yang membius mangsanya dengan bisikan manis. Tapi jangan tertipu! Stabilitas yang mereka tawarkan adalah stabilitas semu, seperti kuburan yang sunyi, di mana semua suara dibungkam, perbedaan pendapat dianggap pengkhianatan, dan aspirasi rakyat dikubur dalam-dalam. Demokrasi yang mereka impikan adalah demokrasi boneka, di mana rakyat hanya menjadi penonton pasif dalam sandiwara politik yang penuh intrik dan manipulasi. Ini adalah pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat, yang seharusnya menjadi panglima tertinggi dalam negara demokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Filosofi Minahasa, “Tou Minahasa, tou pakatuan wo pakalawiren” (Orang Minahasa adalah orang yang saling menghormati dan saling mengasihi), menjadi relevan di sini. Sistem ini justru menghilangkan rasa saling menghormati dan mengasihi antara wakil dan yang diwakili, menciptakan jurang pemisah yang dalam.
Mereka juga berkoar tentang pemberantasan politik uang, seperti maling yang berteriak maling. Tapi itu adalah kebohongan besar! Politik uang tidak akan hilang, ia hanya akan naik kelas, menjadi lebih terorganisir dan sistematis. Alih-alih menyuap pemilih satu per satu, para politisi akan menyuap elite partai untuk mendapatkan nomor urut yang strategis dalam daftar calon legislatif. Korupsi akan semakin tersembunyi, sulit dilacak, dan menggerogoti integritas pemilu yang seharusnya menjadi fondasi utama demokrasi. Ini jelas bertentangan dengan semangat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengamanatkan pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Pribahasa Jawa, “Jer basuki mawa beya,” setiap keberhasilan membutuhkan biaya, di sini dimaknai secara keliru. Biaya yang dikeluarkan bukanlah untuk kemajuan bangsa, melainkan untuk melanggengkan korupsi dan kepentingan sempit.
Cukup sudah! Jangan biarkan hak pilih Anda dirampas, seperti domba yang digiring ke jurang. Jangan biarkan suara Anda dibungkam, seperti burung yang dikurung dalam sangkar emas. Sistem proporsional tertutup adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita, sebuah langkah mundur yang harus kita tolak dengan tegas. Ini adalah saatnya untuk bangkit dan melawan, seperti pahlawan yang berjuang demi kebenaran! Mari kita serukan filosofi Minahasa, “I Yayat U Santi!” (Angkat dan bersatu!), dan pribahasa Jawa, “Rawe-rawe rantas malang-malang putung!” (Rintangan apapun akan diterjang, halangan apapun akan dihancurkan!). Bersatulah, suarakan penolakan Anda dari Sabang sampai Merauke, dan rebut kembali hak konstitusional kita yang hendak dilucuti! Ingat, Pasal 28 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Jangan biarkan hak-hak ini dicabut oleh sistem yang tidak demokratis dan mengkhianati amanat reformasi!
Pilihan ada di tangan Anda, seperti persimpangan jalan yang menentukan arah masa depan. Apakah Anda akan menjadi bagian dari konspirasi senyap ini, membiarkan hak-hak Anda terampas, ataukah Anda akan berdiri tegak, membela kedaulatan rakyat dan menyelamatkan demokrasi Indonesia dari kematian? Jangan biarkan elite politik merampas hak pilih Anda dan membungkam suara Anda. Sistem proporsional tertutup adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita. Lawan sekarang, atau menyesal selamanya! Jangan biarkan konstitusi kita hanya menjadi pajangan di dinding, tapi jadikan ia sebagai kompas yang menuntun kita menuju keadilan dan kebebasan! Mari kita wujudkan semangat persatuan Sunda, “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak,” (Ke air jadi satu sungai, ke darat jadi satu lembah) dalam membela kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar!
Oleh AS (R_Kfs)