Lukas 9:40 Dan aku telah meminta kepada murid-murid-Mu supaya mereka mengusir roh itu, tetapi mereka tidak dapat.”
Sungguh luar biasa mempunyai pengalaman “puncak rohani,” semisal di retreat, ibadah yg tenang dan menyentuh, sampai-samapi kita tidak mau meninggalkan lokasi tersebut. Tetapi Luk. 9 membuktikan bahwa Allah tidak pernah mengijinkan umat-Nya membangun Tabernakel mereka “dipuncak” saat dunia dalam nyala api. Kita selalu dikirim turun dari gunung ke dunia yang nyata untuk melaksanakan misi yang telah Allah berikan kepada kita.
Petrus, Yakobus dan Yohanes baru saja menikmati suatu pengalaman yang mendalam dengan peristiwa di depan mata mereka Yesus, Musa dan Elia di atas Gunung (Transfigurasi) bercakap-cakap. Mereka melihat Yesus dalam seluruh kemuliaaanNya. Mereka mendengar Allah berbicara. Mereka menikmati pengalaman “puncak rohani.” Tetapi, Apakah pengalaman rohani itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka? Hemm, Cerita selanjutnya mengatakan kepada kita, setelah mereka turun dari gunung tersebut, mereka diperhadapkan dengan seorang anak lelaki yang kerasukan setan, dan Mereka tidak mampu menyembuhkan, karena iman mereka lemah.
Banyangkan, orang-orang yang baru saja “bersenang-senang” dalam Kemuliaan Allah dan beria-ria dalam suatu pengalaman rohani yang menggetarkan hati, tetapi mereka tidak mampu menerjemahkannya ke dalam penggunaan yang praktis. Betapa khasnya ketidak-percayaan mereka. Betapa samanya mereka dengan kita!
Kedengarannya tidak asing bukan? Kita bermasalah dalam menerjemahkan yang ilahi ke dalam hidup sehari-hari. Kita bergumul untuk mendapatkan yang hakiki, iman yang bekerja, bukan sekedar Ekspresif dalam ibadah. Kita boleh mengangkat tangan kita lebih tinggi dari orang lain dalam suatu kebaktian penyembahan. Kita boleh berbicara tentang anugerah dan kuasa Tuhan dalam kehidupan kita pada orang lain (bersaksi). Tetapi, apakah semua itu mempengaruhi cara hidup kita, Kwalitas kekristenan kita?
Mungkin kita mengalami dan sangat menikmati hadirat Allah ketika khotbah disampaikan, karena ada hal tertentu dari pesan yang disampaikan mengena di hati kita. Kita pun berkata : Itu dia, itulah yang Allah beritakan kepadaku. Aku perlu menerapkannya. Tetapi tepat setelah doa terakhir dinaikkan, dan kita bubar, kita berbalik dan mulai bergosip. Atau mungkin kita keluar halaman parkir dan mulai bertengkar dengan suami-isteri. Sadarilah….Hanya dalam sekejap kita beranjak dari Puncak menuju jurang yang dalam. Bukankah ini kemunafikan yang tebal?
Saudaraku, yang penting bukanlah seberapa tinggi kita dapat melompat, tetapi setegak apa kita ketika kita berjalan, ketika kaki kita menyentuh tanah.
_Allah tidak merancang kita untuk mempunyai “Pengalaman Puncak” terus-menerus, tetapi ketika hal itu datang, nikmatilah, karena hal itu hanya sementara. Kita harus mengingat bahwa Allah ingin kita berubah ke dalam gambarNya untuk ‘memperbesar” iman kita, untuk membuat kita lebih kuat._
Tebaklah siapa yang menunggu di kaki bukit setelah pengalaman puncak yang unik itu? Siapa ayo? (baca Luk 9; 36)
Allah rindu kita berubah ke dalam gambarNya dan itu pastinya membutuhkan proses. Itu tidak terjadi hanya semalam, satu KKR dll. Dia akan memakai puncak gunung maupun lembah. Ia akan makan waktu seumur hidup kita. Tetaplah bergerak, karena setiap langkah yang saudara ambil, naik atau turun, menolong saudara untuk berubah dan menjadi semakin menyerupai Yesus.
Amen
Pdt Ezra Simorangkir