Bogor – Gubernur Jawa Barat, Bapak Dedi Mulyadi, kembali menginisiasi sebuah program yang mengundang perhatian publik: program donasi Rp1.000 per hari yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari ASN hingga siswa. Program ini disosialisasikan melalui surat edaran, yang kemudian diliput oleh Republika.co.id dalam artikel berjudul “Surat Edaran Dedi Mulyadi, Warga Jabar Diminta Donasi Rp 1.000 Per Hari” yang diterbitkan pada 3 Oktober 2025. Tentu, niat baik di balik program ini patut kita hargai. Namun, penting pula untuk mengkaji program ini secara komprehensif, agar dapat diimplementasikan secara efektif dan memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh masyarakat Jawa Barat.
Inisiatif “Rereongan Sapoe Sarebu” ini pada dasarnya adalah sebuah wujud kepedulian sosial yang diharapkan dapat membangkitkan semangat gotong royong. Namun, agar semangat tersebut tidak hanya menjadi seremonial belaka, diperlukan evaluasi yang cermat dan implementasi yang strategis.
Pertama, bagaimana sebaiknya kita memaknai partisipasi dalam program donasi ini? Esensi dari solidaritas adalah kesukarelaan dan kesadaran untuk berbagi. Apabila imbauan untuk berdonasi dilakukan secara massif, dikhawatirkan akan mengurangi nilai luhur dari tindakan tersebut. Lebih jauh lagi, partisipasi yang kurang didasari kesadaran dapat menimbulkan beban psikologis bagi sebagian pihak, terutama mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang kurang mampu. “Situasi ini dapat dianalogikan dengan senyuman yang dipaksakan; secara kasat mata terlihat indah, namun belum tentu mencerminkan perasaan yang sebenarnya.” Peribahasa “Kawas miraj, bisi miskin menderita!” (Seperti fatamorgana, terlihat menggembirakan, namun berpotensi mengecewakan) kiranya relevan untuk menggambarkan potensi disonansi tersebut. Semangat gotong royong akan tumbuh lebih kuat apabila berakar pada kesadaran pribadi, selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang kita junjung tinggi.
Kedua, sejauh mana program ini dapat mencapai efektivitas yang diharapkan? Niat baik untuk membantu sesama tentu sangat terpuji. Namun, perlu dipertimbangkan secara seksama apakah biaya operasional yang dibutuhkan untuk mengelola dan mendistribusikan dana yang terkumpul sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana menjadi imperatif untuk menjaga kepercayaan publik. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memastikan program-program bantuan sosial yang sudah berjalan dapat terlaksana secara efektif dan tepat sasaran, sebelum meluncurkan inisiatif baru yang berpotensi menimbulkan kompleksitas birokrasi. “Kita perlu memastikan bahwa program ini tidak menjadi seperti ‘ember yang berlubang’, di mana lebih banyak sumber daya yang terbuang daripada manfaat yang tersalurkan.” Peribahasa “Ngarah teu burung diuntungan buntung, rugi banda” (Jangan sampai usaha yang dilakukan justru menimbulkan kerugian) memberikan pengingat yang relevan. Pengelolaan keuangan publik harus dijalankan secara cermat, transparan, dan akuntabel, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ketiga, apakah program ini dapat mengatasi akar masalah sosial yang lebih kompleks? Kemiskinan, kesenjangan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta berbagai permasalahan struktural lainnya membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Program donasi, meskipun memiliki kontribusi positif, hendaknya tidak dipandang sebagai pengganti dari upaya-upaya strategis untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan, penciptaan lapangan kerja yang layak, serta pengurangan kesenjangan sosial. “Upaya memberikan bantuan secara langsung perlu diimbangi dengan upaya pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat mandiri dan meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan.” Peribahasa “Mending ge ngurek belut, tibatan ngahutang ka rentenir” (Lebih baik berusaha mencari nafkah sendiri daripada bergantung pada pinjaman yang mencekik) menggambarkan pentingnya kemandirian. Pemenuhan hak-hak dasar warga negara di bidang pendidikan dan kesehatan merupakan amanat konstitusi yang harus diwujudkan oleh pemerintah, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sebagai penutup, program donasi Rp1.000 per hari ini merupakan sebuah ikhtiar yang patut diapresiasi. Namun, agar ikhtiar ini dapat memberikan dampak yang optimal, diperlukan evaluasi yang berkelanjutan, pengelolaan yang transparan dan akuntabel, serta fokus pada solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, yang berlandaskan pada kesadaran dan tanpa paksaan, juga menjadi kunci untuk memastikan program ini berjalan sesuai dengan harapan. Marilah kita jadikan program ini sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan kepedulian sosial di Jawa Barat. Dengan semangat gotong royong yang tulus dan pelaksanaan yang bertanggung jawab, kita dapat bersama-sama mewujudkan Jawa Barat yang gemah ripah loh jinawi, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan. Mari berkontribusi dengan penuh kesadaran, mari beraksi dengan penuh tanggung jawab, demi Jawa Barat yang lebih baik dan gemah ripah loh jinawi! Peribahasa “Ulah pupuk bengkung, moal jadi lempeng” (Upaya yang kurang tepat tidak akan membuahkan hasil yang maksimal) kiranya menjadi pengingat bagi kita semua. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dapat menjadi landasan dalam merancang program-program kesejahteraan sosial yang lebih komprehensif dan terintegrasi, sehingga dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi seluruh masyarakat Jawa Barat. Semoga kajian ini dapat memberikan perspektif yang konstruktif dan mendorong diskusi yang lebih mendalam mengenai upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat.”
Oleh Urang Jawa Barat