Sekolah dan Keluarga Bangun Ekosistem Perlindungan Anak yang Solid

Spread the love

Umbulharjo – PK NEWS Pemerintah Kota Yogyakarta menegaskan komitmennya dalam memperkuat perlindungan anak, dengan menjadikan satuan pendidikan sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Hal ini disampaikan Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, saat membuka kegiatan Pelatihan Konvensi Hak Anak dan Konseling di Ruang Bima, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (7/5).

Menurut Aman Yuriadijaya, ada lima peran utama yang harus dijalankan sekolah dalam perlindungan anak. Pertama, memastikan terpenuhinya hak-hak sipil anak, seperti kepemilikan akta kelahiran dan dokumen kependudukan. Kedua, mendukung peran orang tua dalam pengasuhan anak melalui fasilitasi dan mediasi. Ketiga, menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan anak di lingkungan sekolah.

Keempat, sekolah wajib menghadirkan proses pendidikan yang aman, inklusif, dan berkualitas. Dan kelima, sekolah bersama para pendidik harus memiliki kemampuan menangani kasus-kasus khusus yang dialami anak, baik di dalam maupun luar lingkungan sekolah.

Pelatihan Konvensi Hak Anak dan Konseling di Ruang Bima, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (7/5).

“Sekolah dan guru bisa menjadi agen perlindungan anak yang efektif. Maka, pelatihan ini menjadi sangat strategis untuk menguatkan kapasitas itu,” jelasAman.

Pihaknya juga menekankan pentingnya keseragaman pemahaman dan standar penanganan perlindungan anak di seluruh satuan pendidikan di Kota Yogyakarta. Selain itu, ia mendorong terbentuknya jaringan kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membangun ekosistem perlindungan anak yang solid.

“Yang kita bangun bukan hanya pemahaman, tetapi juga peta jalan dan jaringan perlindungan anak. Dengan begitu, Kota Yogyakarta akan benar-benar menjadi kota yang ramah anak,” tandas Aman.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta, Retnaningtyas mengungkapkan bahwa sejak terbitnya Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) telah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMP. Tim ini bertugas melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah secara mandiri maupun dengan melibatkan lembaga terkait.

“Sebagian besar sekolah sudah membentuk tim dan memiliki standar operasional. Bahkan, sudah mulai mampu menangani kasus secara mandiri. Namun, masih ada beberapa sekolah yang belum menyusun kebijakan tertulis atau Child Protection Policy (CPP),” ujarnya.

Ia menekankan bahwa meskipun jumlahnya tidak banyak, ketidaksiapan sebagian sekolah bisa berdampak pada efektivitas penanganan. “Kalau sekolah belum punya SOP dan kebijakan yang jelas, penanganannya bisa tidak tuntas. Hal inilah yang bisa menyebabkan kasus kekerasan tetap muncul,” kata Retnaningtyas.

Pelatihan Konvensi Hak Anak dan Konseling di Ruang Bima, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (7/5).

Retnaningtyas menyebut, meski secara umum kasus kekerasan anak yang terjadi di sekolah sudah menurun, data DP3AP2KB tahun 2024 mencatat masih ada 101 kasus kekerasan terhadap anak di Yogyakarta, termasuk yang terjadi di lingkungan rumah. Oleh karena itu, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah menjadi sangat penting.

“Pelatihan hari ini juga bagian dari upaya peningkatan kapasitas SDM TPPK di sekolah. Selain pelatihan Konvensi Hak Anak, kita juga berikan pelatihan konseling agar tim bisa lebih siap memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak,” tambahnya.

Pelatihan Konvensi Hak Anak dan Konseling yang dilaksanakan selama dua hari ini diikuti oleh perwakilan TPPK dari PAUD, SD, dan SMP se-Kota Yogyakarta, baik secara luring maupun daring, serta menghadirkan narasumber dari berbagai lembaga seperti LP3KP DIY, KPAID Kota Yogyakarta, PUSPADA Kenari, dan Wiloka Workshop hingga praktisi anak.

“Semua pihak harus punya pemahaman dan tujuan yang sama. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah atau orang tua saja, tapi tanggung jawab bersama,” pungkasnya.

Narasumber dari LP3KP DIY, Indriasari Oktaviani menekankan pentingnya guru dan tenaga pendidik menjadi teladan emosional bagi anak. Menurutnya, kebahagiaan dan kesehatan mental guru sangat berpengaruh pada suasana belajar anak-anak. “Kalau guru sedih, enggak apa-apa. Sampaikan saja ke anak, mereka juga manusia, sama seperti kita,” katanya.

Pelatihan Konvensi Hak Anak dan Konseling di Ruang Bima, Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (7/5).

Salah satu poin penting yang dibahas adalah pemahaman terhadap KHA sebagai dasar hukum dan moral dalam perlindungan anak. Indri menyebut bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990, dan semua aparatur negara wajib menjadikannya pedoman mutlak.

Pihaknya juga menekankan bahwa pendekatan perlindungan anak bukan soal menghukum pelaku semata, tapi tentang memastikan anak kembali bisa tumbuh dan berkembang secara utuh.

“Jangan hanya urus pelaku, urus anaknya. Agar mereka bisa kembali bertumbuh sesuai usianya.” ujarnya.

Indri mengajak seluruh peserta untuk menjadikan Konvensi Hak Anak sebagai kitab suci dalam menjalankan peran masing-masing sebagai pendidik, pelindung, dan pendamping anak-anak. “Anak-anak kita tidak butuh tokoh super. Mereka butuh kita (orang dewasa) yang bisa mereka jangkau dan percaya.” pungkasnya. (Chi)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!