Sedimentasi Laut: Menjahit Asa Pembangunan Berkelanjutan di Tepi Pantai Nusantara

Spread the love

Bogor – Putusan Mahkamah Agung (MA) tentang pengelolaan sedimentasi laut adalah sebuah oase di tengah gurun kebijakan yang kerap kali kering akan pertimbangan lingkungan. Sebagai jurnalis dan aktivis di LKBH Pewarna Indonesia, saya melihat ini bukan sekadar vonis hukum, melainkan panggilan untuk menari bersama alam, merajut harmoni antara pembangunan dan kelestarian.

Kita seringkali terjebak dalam dikotomi usang: ekonomi versus lingkungan. Padahal, keduanya adalah mata rantai yang tak terpisahkan. Putusan MA ini adalah momentum untuk meruntuhkan tembok pemisah itu, untuk melihat sedimentasi laut bukan hanya sebagai komoditas, melainkan sebagai potensi besar yang terpendam.

Sedimentasi laut, layaknya bongkahan tanah liat di tangan seniman, dapat kita bentuk menjadi berbagai karya. Ia bisa menjadi fondasi infrastruktur ramah lingkungan, benteng pertahanan pesisir dari amukan gelombang, atau bahkan lahan subur bagi ekosistem baru. Jika dikelola dengan bijak, ia adalah kunci untuk membuka gerbang kesejahteraan bagi masyarakat pesisir, selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai napas kehidupan. Seperti kata pepatah Jawa, “Alon-alon waton kelakon” (Pelan-pelan asal terlaksana), kita harus mengukir kebijakan dengan cermat, memastikan setiap langkah membawa manfaat bagi generasi kini dan nanti.

Namun, pengelolaan ini tak bisa dilakukan di ruang hampa. Ia membutuhkan orkestrasi yang melibatkan seluruh elemen bangsa: pemerintah, masyarakat, akademisi, dan swasta. Kita harus duduk bersama, merumuskan visi yang sama, dan memastikan setiap suara didengar. Proses ini harus transparan dan akuntabel, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lebih dari itu, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak kita untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Pemanfaatan sedimentasi laut harus menjadi wujud nyata dari pemenuhan hak ini. Seperti pribahasa Sunda mengingatkan, “Kudu bisa ngeureuyeuh, ulah ngagugus” (Harus bertahap, jangan tergesa-gesa), kita harus membangun partisipasi publik yang inklusif, memberikan ruang bagi setiap aspirasi untuk tumbuh.

Kita juga harus berani mendobrak paradigma lama. Pemanfaatan sedimentasi laut tak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional yang merusak lingkungan. Kita harus mengadopsi teknologi hijau, meminimalkan dampak negatif, dan memastikan setiap aktivitas selaras dengan alam. Pengawasan yang ketat adalah kunci untuk mencegah praktik-praktik ilegal yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dalam filosofi Minahasa, “Si tou timou tumou tou” (Manusia hidup untuk menghidupi orang lain), kita diingatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam haruslah berorientasi pada kemaslahatan bersama. Dan sebagai umat beriman, kita diingatkan dalam Kitab Kejadian 2:15, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Kita adalah pengelola bumi, bukan perusaknya.

Putusan MA ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa kita mampu mengelola sumber daya alam dengan arif dan bijaksana. Mari kita jadikan sedimentasi laut sebagai jembatan emas menuju pembangunan berkelanjutan, menjahit asa di setiap tepi pantai Nusantara.

Penulis: Kefas Hervin Devananda alias Romo Kefas adalah seorang jurnalis  dan aktivis hukum aktif di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Pewarna Indonesia. Dikenal dengan keberaniannya menyuarakan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan hak asasi manusia, Romo Kefas juga merupakan seorang tokoh agama yang mendedikasikan diri pada pelayanan kemanusiaan dan advokasi kebijakan yang pro-rakyat. Pandangannya yang tajam dan komitmennya yang tak tergoyahkan menjadikannya suara penting dalam setiap isu krusial di Indonesia. Beliau percaya bahwa setiap kebijakan haruslah berlandaskan pada cinta kasih, keadilan, dan keberpihakan pada mereka yang termarginalkan.

Tinggalkan Balasan