SAAT HATI SAKIT DARI KHIANATI: DOA YANG JADI JANJI UNTUK TIDAK MENYAKITKAN ORANG LAIN

Spread the love

Pelitakota.id Bayangkan sore itu: matahari terbenam di ufuk sawah, angin sepoi-sepoi membawa bau padi yang baru tumbuh. Kamu duduk di teras rumah nenek, hati penuh luka karena orang yang dipercaya justru mengkhianati. Lalu nenekmu mendekat, memijat bahumu lembut, dan berkata: “Anak, berdoalah agar kamu tidak pernah membuat orang lain merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Karena di tanah ini, rasa sakit yang kita alami adalah cermin untuk menjadi orang yang lebih baik.”

Inilah inti dari kalimat yang kamu sampaikan — dan ini bukan cuma kata-kata kosong. Ini terjalin erat dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan filosofi “rasa kebersamaan” yang telah hidup selama ribuan tahun: tentang empati, kepercayaan, dan bagaimana penderitaan bisa menjadi pengajaran yang mahal. Seperti yang tertulis dalam Matius 7:12: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Ayat ini sejalan dengan pribahasa Jawa “Ojo ngrampas hak wong liyo, ojo ngkhianati wong sing tulus, ojo ngfitnah” dan filosofi “paras paramita” (jalan ke kesempurnaan) yang mengajarkan bahwa penderitaan diri harus menjadi pemicu untuk tidak menyebarkan penderitaan pada orang lain.

1. “RASA” YANG MELAMPUI PERASAAN: FILOSOFI “RASA KEBERSAMAAN” SEBAGAI DASAR

Di Indonesia, kita tidak cuma “merasa” — kita “memahami rasa”. Ini berasal dari filosofi “bhinneka tunggal ika” yang tidak cuma soal keragaman, tapi juga “rasa kebersamaan” yang membuat kita terhubung satu sama lain. Kata “rasa” di sini meliputi lebih dari sekadar emosi: itu adalah hubungan antara diri kita dengan orang lain, dengan alam, bahkan dengan Tuhan. Ketika kita sakit karena dikhianati, itu bukan cuma sakit hati — itu adalah kerusakan pada “kepercayaan sosial” yang menjadi tulang punggung kehidupan kita.

Ingat tradisi “silaturahmi”? Setiap kali ada yang sedih, kita datang dengan nasi bungkus, ngobrol lama-lama, dan berbagi beban. Ini karena kita percaya filosofi “rasa yang dibagi lebih ringan” — sebuah ajaran yang juga ada dalam filosofi Buddha tentang “metta” (kasih sayang yang luas). Seperti yang diajarkan dalam Roma 12:15: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Ayat ini mengajarkan empati yang sesungguhnya — merasakan apa yang dirasakan orang lain, termasuk rasa sakit karena dikhianati. Pribahasa Jawa “Tepa selira, utawa bisa ngrasakake apa sing dirasakake wong liyo” juga mengingatkan kita untuk selalu peka terhadap perasaan orang lain. Doa agar tidak mengkhianati orang lain adalah wujud dari rasa ini — kita tidak mau orang lain merasakan kerusakan yang sama pada hubungan yang kita hargai.

2. DOA SEBAGAI “PEMBERSIH DIRI”: FILOSOFI “PEMBENARAN DIRI” DARI TRADISI HINGGA AGAMA

Doa semacam itu juga mirip dengan tradisi “upacara pembersihan diri” yang ada di banyak daerah Indonesia. Misalnya, di Jawa ada “ruwatan” — upacara untuk membersihkan diri dari energi negatif dan kembali ke jalan yang benar, yang berakar pada filosofi “pembentukan diri yang baik” (budi pekerti). Di suku Batak, ada “gondang” — musik yang dimainkan untuk menyembuhkan luka batin dan mengembalikan keseimbangan, sesuai dengan filosofi “sipakatau” (rasa hormat sesama manusia).

Di agama-agama yang dianut di tanah air, ini juga ada. Dalam Kristen, kita diajarkan untuk menjaga hati agar tidak terjerumus ke dalam kejahatan, sesuai dengan filosofi “pembaharuan hati”. Seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 3:17: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” Membuka hati kepada penderitaan orang lain adalah langkah untuk tidak membuat mereka menderita lebih jauh, termasuk dengan cara mengkhianati. Selain itu, Ibrani 4:15 mengingatkan kita bahwa Tuhan juga berempati dengan penderitaan kita: “Sebab imam besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

Doa agar tidak mengkhianati adalah bentuk “pembersihan diri” modernnya: kita mengingatkan diri sendiri bahwa kita tahu betapa sakitnya dikhianati (yang dalam bahasa Jawa disebut “cidro”). Ini sesuai dengan filosofi “self-awareness” (kesadaran diri) yang juga diajarkan dalam tradisi Sufi — bahwa mengenal rasa sakit sendiri adalah kunci untuk tidak menyakitkan orang lain. Seperti yang terkandung dalam pribahasa “Wong suci ora ngrampas hak, wong jujur ora ngkhianati, wong apik ora ngfitnah”, ini bukan cuma takut berdosa — ini adalah kebijaksanaan yang didasari oleh pengalaman pribadi dan filosofi hidup.

3. “GOTONG ROYONG” DALAM HATI: FILOSOFI “KEBANGGAAN BERSAMA” YANG MENGHUBUNGKAN SEMUA

Budaya Indonesia terkenal dengan “gotong royong” — bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Tapi kamu tahu nggak? Gotong royong itu juga ada di dalam hati kita, berasal dari filosofi “kebanggaan bersama” (kollektivisme) yang membuat kita merasa bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Ketika kita berdoa agar tidak mengkhianati, kita sedang berpartisipasi dalam “gotong royong emosional” — kita menjaga agar lingkungan sekitar kita tetap penuh kepercayaan, sehingga semua orang bisa hidup tenang.

Cerita legenda “Sangkuriang” misalnya: dia hampir mengkhianati ibunya karena tidak mengetahui identitasnya. Tapi ketika dia menyadari kesalahannya, dia merasa sangat menyesal dan berusaha memperbaiki. Ini mengajarkan kita filosofi “kesadaran akan kesalahan” — bahkan orang terkuat bisa salah, tapi yang penting adalah kita punya keberanian untuk memperbaiki. Seperti yang tertulis dalam Amsal 11:11: “Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya.” Kejujuran dan tidak mengkhianati adalah fondasi untuk membangun hubungan yang kuat, seperti yang kita laksanakan dalam gotong royong. Pribahasa Jawa “Urip iku urip, urip iku uripe wong liyo” juga mengingatkan kita bahwa kehidupan kita tidak terpisah dari kehidupan orang lain — setiap tindakan kita berdampak pada mereka, sesuai dengan filosofi “interkoneksi” yang ada dalam banyak tradisi lokal.

Jadi, doa semacam itu bukan cuma untuk diri kita sendiri. Ini adalah cara kita berkontribusi pada “kebahagiaan bersama” yang selalu dicari orang Indonesia. Karena ketika tidak ada yang mengkhianati dan mengecewakan, maka hubungan kita akan lebih kuat, dan hidup kita akan lebih damai.

Rasa sakit karena dikhianati bisa jadi hal yang paling menyakitkan di dunia. Tapi di tanah air kita, itu juga bisa jadi titik awal untuk menjadi orang yang lebih baik. Doa agar tidak mengkhianati adalah jembatan antara rasa sakit kita dengan kebaikan yang kita inginkan — sebuah doa yang tidak hanya indah, tapi juga penuh dengan makna budaya, pribahasa Jawa yang bijak, ajaran Alkitab, dan filosofi hidup yang menguatkan setiap kata kita.

Ingat: kita hidup karena saling membutuhkan. Jadi, jadikan rasa sakitmu sebagai pengajaran, dan doamu sebagai janji untuk selalu menjaga kepercayaan orang lain. Karena itu adalah bagian dari jiwa kita yang paling keren dan paling berharga.

(@@@Kfs)

Tinggalkan Balasan