Surabaya – Kasus Nenek Elina Widjajanti (80 tahun) di Surabaya bukan sekadar peristiwa viral — ini adalah kekerasan menyakitkan, pelanggaran hukum terang-terangan, dan pelanggaran akar budaya Indonesia. Ketika video aksi pengusiran dan perobohan rumahnya pertama kali diunggah melalui akun Instagram @cak_ji_1 pada Rabu (23/12/2025), publik terkejut karena apa yang terlihat adalah oknum-oknum mengenakan seragam Madura Asli (Madas) melakukan tindakan brutal terhadap seorang nenek, seperti yang dilaporkan BeritaSatu.com.

Hanya sehari kemudian, akun @voktis.id juga mengunggah video yang sama, dan Wakil Wali Kota Surabaya Armuji turun tangan dengan mengunggah rekaman kunjungan ke lokasi melalui akun @cak_ji_1 pada Kamis (24/12/2025). Ia langsung mengecam oknum-oknum tersebut dan menuntut aparat bertindak tegas atas nama kemanusiaan yang diatur Konstitusi Indonesia — seperti yang dicatat KabarBaik.co. Video pun menyebar liar ke TikTok dan Facebook, memicu kemarahan publik.
Kronologi yang diungkap NetralNews.com berdasarkan BeritaJatim.com menunjukkan: pada 6 Agustus 2025, sekitar 50 oknum Madas tiba-tiba, mengusir Nenek Elina dengan kekerasan (luka di hidung dan bibir), menyegel rumahnya atas perintah dua pria berinisial SM dan YS, lalu pada 15 Agustus 2025 menghancurkannya hingga rata — semua tanpa putusan pengadilan, izin resmi, atau upaya menyelesaikan sengketa melalui hukum.
Ini jelas melanggar aturan:
– Pasal 170 KUHP (Pengeroyokan): Kelompok oknum bertindak bersama menyakiti, berpotensi 5 tahun penjara.
– Pasal 478 KUHP (Pengrusakan Barang): Perobohan rumah tanpa izin, berpotensi 2 tahun penjara.
– UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung: Larang perubahan bangunan tanpa izin.
– UU No. 39/1999 tentang HAM: Melanggar hak tempat tinggal dan keamanan pribadi.
Yang paling menyakitkan: meskipun kasus telah dilaporkan ke Polda Jatim sejak 29 Oktober 2025 dengan nomor LP/B/1546/X/2025/SPKT/Polda Jawa Timur — seperti yang dicatat JPNN.com Jatim — aparat tidak bertindak saat aksi terjadi. Ini menunjukkan penegakan hukum lambat telah menjadi “ruang aman” bagi kekerasan, padahal tugas aparat adalah bertindak tegas atas nama kemanusiaan yang diamanatkan Pasal 28A UUD 1945 (hak hidup dan kesejahteraan layak).
Di Indonesia, lansia adalah “pohon beringin” yang layak dihormati — sesuai nilai “sila kemuliaan” Jawa dan “siri” Madura yang mengajarkan perlindungan terhadap yang lemah. Semua nilai ini hancur ketika Nenek Elina ditarik paksa keluar rumahnya oleh oknum Madas, melihat barang-barang diangkut, dan rumahnya diratakan — seperti yang dilihat langsung Armuji dan dicatat MetroTVNews.com.
Ketua Umum Madas Moch Taufik sendiri menyatakan insiden bukan instruksi resmi dan terjadi sebelum dia menjabat, membantah pelaku adalah anggota resmi — seperti yang dilaporkan BeritaSatu.com. Tindakan oknum ini tidak hanya melukai Nenek Elina, tapi juga jiwa masyarakat yang bangga gotong royong dan melanggar spirit kemanusiaan Konstitusi.

Kasus Nenek Elina tidak boleh hilang seiring waktu. Ini harus menjadi pemicu perubahan:
– Perbaiki penegakan hukum: Aparat bertindak cepat terhadap oknum apapun, tanpa menunggu video viral — atas nama kemanusiaan Konstitusi, seperti yang diinginkan Armuji dalam unggahannya yang dilaporkan Kilat.com.
– Awasi ormas ketat: Ormas harus beroperasi sesuai tujuan mulia dan bertanggung jawab atas oknum anggotanya.
– Perkuat perlindungan warga lemah: Negara miliki sistem solid melindungi hak tempat tinggal lansia dari pengusiran paksa.
Jika kita tidak bisa melindungi seorang nenek di rumahnya sendiri dari oknum, apa artinya negara hukum? Jika aparat tidak bertindak tegas atas nama kemanusiaan UUD 1945, apa artinya mereka ada? Kasus Nenek Elina adalah ujian bagi kita semua — apakah kita benar-benar ingin masyarakat beradab dan berhukum, atau hanya berbicara tentangnya.
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)


