R. Hamzaiya: Islam Berkemajuan Adalah Islam yang Mandiri, Cerdas, dan Menolak Feodalisme Keturunan

Spread the love

Cirebon – Di tengah dinamika global dan tantangan zaman yang semakin kompleks, Islam tidak cukup hanya dipahami sebagai ajaran spiritual semata. Ia adalah sistem nilai yang mendorong umatnya untuk tampil unggul dalam berbagai sektor kehidupan—ekonomi, teknologi, hingga budaya. Hal ini ditegaskan oleh budayawan sekaligus pengamat sosial, R. Hamzaiya, S.Hum, dalam pernyataan reflektifnya yang disampaikan kepada media pada Rabu (10/7).

Menurutnya, Islam sebagai agama yang progresif dan rasional telah lama memberi fondasi kokoh bagi peradaban besar, namun belakangan ini cenderung dikerdilkan oleh pemahaman sempit yang memuja simbol, tokoh, bahkan keturunan, tanpa membangun sistem dan akal sehat kolektif.

> “Islam yang berkemajuan adalah Islam yang berpijak pada nilai-nilai transformatif, bukan sekadar nostalgia sejarah atau kultus terhadap satu dua figur. Kita menghormati sejarah, tapi tidak hidup di bawah bayang-bayangnya,” ujar Hamzaiya.

Ekonomi Islam: Mandiri, Berkeadilan, dan Bermartabat

Dalam konteks ekonomi, Hamzaiya menekankan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan ketergantungan. Justru, konsep zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah pilar ekonomi yang mendorong kemandirian umat.

> “Selama ini kita terlalu sering melihat umat Islam digambarkan sebagai penerima manfaat, bukan sebagai penggerak utama ekonomi. Ini keliru secara struktural dan teologis,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa Islam mendorong pembentukan sistem ekonomi yang tidak menjajah, tidak merendahkan, dan tidak menciptakan kasta sosial baru. Kekuatan ekonomi umat harus dibangun dari usaha produktif, bukan dari pola-pola transaksional yang menjadikan agama sebagai alat pencitraan kekuasaan.

Teknologi: Islam dan Inovasi Tidak Pernah Bertentangan

Hamzaiya juga menyoroti pentingnya umat Islam mengambil bagian aktif dalam penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, kemajuan teknologi bukanlah ancaman bagi iman, tetapi perluasan dari tanggung jawab tauhid.

> “Kalau kita bicara era kecerdasan buatan, digitalisasi, dan sains terapan, umat Islam seharusnya tidak menjadi penonton. Sejarah mencatat betapa Islam pernah menjadi pusat gravitasi ilmu pengetahuan dunia,” katanya.

Namun sayangnya, lanjutnya, kemunduran berpikir dan pengkultusan terhadap masa lalu telah membuat banyak komunitas Islam enggan membuka diri terhadap ijtihad intelektual dan kemajuan zaman. “Islam tidak bertentangan dengan sains. Justru sains adalah bagian dari manifestasi kalimat iqra dalam kehidupan sosial kita,” imbuh Hamzaiya.

Budaya: Menyaring Tradisi, Menolak Feodalisme

Dalam hal budaya, Hamzaiya menegaskan bahwa Islam tidak datang untuk menghapus kebudayaan lokal, tetapi menyaring dan menyucikannya dari unsur yang menindas dan menyimpang. Ia menolak keras praktik-praktik feodalisme dalam kultur Islam, termasuk glorifikasi terhadap garis keturunan atau ‘darah biru’.

> “Nabi sendiri tidak mewariskan takhta atau dinasti. Beliau tidak mengistimewakan siapa pun berdasarkan nasab. Islam mengajarkan bahwa kemuliaan terletak pada integritas dan ketakwaan, bukan silsilah,” tegas Hamzaiya.

Ia menilai, banyak kemunduran budaya justru terjadi ketika nilai-nilai Islam digunakan sebagai tameng untuk mempertahankan privilese kelompok tertentu. Menurutnya, ini adalah bentuk pembajakan agama untuk kepentingan sosial-politik yang tidak mencerminkan prinsip egalitarian dalam Islam.

Islam yang Tidak Bergantung, Islam yang Membebaskan

Di akhir pernyataannya, R. Hamzaiya menegaskan bahwa Islam yang berkemajuan bukanlah Islam yang menjadi pelengkap kekuasaan atau alat promosi segelintir elite. Islam yang berkemajuan adalah Islam yang membebaskan umat dari kebodohan, ketergantungan, dan kehinaan ekonomi.

> “Agama ini tidak diajarkan untuk tunduk pada kekuasaan manusia. Islam mengangkat martabat, bukan merendahkan. Ia berdiri bukan karena disokong sistem politik tertentu, tetapi karena kebenaran dan kekuatan nilai yang dibawanya,” tutup Hamzaiya.

Dalam konteks Indonesia hari ini, narasi semacam ini penting untuk menegaskan bahwa Islam bukan hambatan bagi kemajuan—justru Islam adalah kekuatan pendorong utama untuk membangun masyarakat yang adil, cerdas, dan berbudaya. Umat Islam perlu keluar dari bayang-bayang masa lalu dan mulai membangun peradaban baru yang selaras dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial.[÷]

Tinggalkan Balasan