PSI: DI BAYANGAN JOKOWI ATAU MENJADI PARTAI MASA DEPAN YANG BENAR?

Spread the love

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda, Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Mantan Caleg DPRD Propinsi Jawa Barat Dapil 8 Nov Urut 5 dari PSI

Bogor,29 Desember 2025 Bayangkan: sebuah partai yang menyebut dirinya “partai masa depan” – penuh dengan wajah muda, aktif di media sosial, dan mengusung isu-isu progresif. Tapi setiap kali orang bicara tentangnya, nama orang lain selalu muncul: Joko Widodo. Seolah-olah PSI hanyalah bayangan yang tidak bisa berdiri tanpa cahaya yang dipancarkan oleh mantan presiden itu.

Dari tagline “Jokowiisme” yang dipakai seperti seragam kebanggaan, hingga kehadiran putra Jokowi, Kaesang Pangarep, sebagai pucuk partai – semua itu membuat pertanyaan muncul: apakah ini kepatuhan yang tulus terhadap nilai-nilai Jokowi, atau hanya manuver cerdas untuk menggantung ke populernya sosok yang dulu merajai Indonesia? Bahkan lebih mengagetkan: ketika PSI gagal tembus ke Senayan pada pemilu 2024, bukannya merenungkan kekurangan diri, partai ini malah mencatat eksodus ratusan kader dan petinggi Nasdem yang bergabung sejak pertengahan 2025.

Ini adalah cerita tentang PSI: antara harapan menjadi partai modern yang diterima generasi muda, dan kenyataan yang masih terjebak dalam jaringan manajemen citra yang bergantung pada nama besar orang lain.

Di tengah keramaian peta politik Indonesia, narasi bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengangkat Joko Widodo (Jokowi) sebagai “kiblat politik” dan “role model” semakin kuat dan disengaja. Narasi ini tidak hanya melalui pernyataan kader, tetapi juga aksi-aksi yang terlihat – mulai dari tagline “Jokowiisme” yang dipegang teguh, hingga kehadiran Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum. Namun, di balik “propaganda” ini, terdapat dinamika yang lebih kompleks yang memunculkan pertanyaan: apakah ini sungguh kepatuhan terhadap nilai-nilai Jokowi, atau hanya manuver politik untuk menggantung ke populernya Jokowi dengan segala prestasinya – tanpa memiliki blue print yang jelas untuk menjadi partai kader yang mandiri, yang bahkan tercermin dari hasil nyata pemilu 2024 di mana PSI gagal tembus ke Senayan? Tak cukup sampai situ, dinamika PSI semakin menarik dengan eksodus ratusan kader dan petinggi Nasdem yang bergabung ke partai ini sejak pertengahan 2025 – sebuah langkah yang dianggap sebagai upaya memperkuat struktur internal dan membangun basis pendukung baru.

Narasi PSI sebagai partai yang mengikuti Jokowi sebagai kiblat tidak muncul secara tiba-tiba. Sejak awal dukungan terhadap Jokowi pada pilpres 2019, PSI telah secara teratur menyebarkan pesan ini melalui berbagai saluran. Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie menyatakan bahwa Jokowi adalah “bapak ideologis” bagi kader PSI – sosok yang membuat mereka tertarik terjun ke politik dan dijadikan benchmark untuk mengisi jabatan publik. Bahkan setelah Jokowi lengser, PSI menegaskan akan tetap mengusung “Jokowiisme” dan tidak akan mengubah tagline menjadi yang berkaitan dengan presiden baru, meskipun partai ini berada di koalisi pendukung Prabowo Subianto.

Pernyataan serupa juga datang dari Raja Juli Antoni (RJA), yang saat ini menjabat Menteri Kehutanan dalam Kabinet Merah Putih dan sekaligus Sekretaris Jenderal PSI – sosok yang dianggap “tangan kanan” Kaesang Pangarep di partai. Sebelum menjadi menteri, RJA pernah menjabat Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang serta PLT Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara di era Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, RJA menyebutkan bahwa pengalaman bekerja di pemerintahan Jokowi menjadi “pelajaran berharga” yang dijadikan acuan dalam menjalankan tugasnya saat ini, termasuk dalam mengelola sektor kehutanan.

Waketum PSI Andy Budiman juga menyebut Jokowi sebagai “kompas moral politik tertinggi di Indonesia” dan menyatakan bahwa PSI ingin menjadikan visi Jokowi sebagai tolak ukur memilih pemimpin pada pilpres 2024. Bahkan pada masa kepemimpinan Giring Ganesha, kader PSI pernah berkumpul dengan mengenakan seragam bertuliskan “Jokowiisme” sebagai bentuk dukungan yang terkonsep. Pengamat politik Adi Prayitno bahkan menyatakan bahwa “the one and only kiblat politik PSI selama ini adalah Jokowi” – baik dalam ideologi maupun arah gerakan partai.

Narasi “kiblat Jokowi” menjadi semakin eksplisit dalam Kongres Rakyat PSI yang diadakan di Solo pada Juli 2025. Pada acara tersebut, Ketua Dewan Pembina PSI sekaligus pendiri partai, Jeffrie Geovanni, membuka rahasia dapur yang mengagetkan dalam pidato politiknya. Dia dengan tegas mengungkapkan bahwa Jokowi dan keluarganya adalah “sang penyelamat” PSI dari jurang kematian, bahkan menyampaikan ultimatum internal yang tak terbalik sebelum pemilu 2024.

“Saya pernah sampaikan kepada teman-teman saat itu: Raja Juli Antoni, Grace Natalie, Andi Saiful Haq, Endang Tirtana, kalau kalian tidak dapat anaknya pak Jokowi atau menantunya, atau pak Jokowi sendiri, kita harus melakukan pemakaman terhadap PSI,” kata Jeffrie dengan nada serius di atas panggung.

Pidato Jeffrie juga mengungkapkan betapa terpuruknya kondisi PSI menjelang pemilu 2024, di mana elektabilitas partai hanya berkisar di bawah 0,5 persen – sebuah sinyal bahaya yang menunjukkan minimnya kepercayaan publik. Menurutnya, hanya “efek Jokowi” yang bisa menjadi defibrilator untuk menghidupkan kembali jantung partai yang nyaris berhenti berdetak. Dia bahkan menceritakan bagaimana RJA – yang kini menjadi Menteri Kehutanan – berjuang mendekati Kaesang Pangarep, dengan pesan WhatsApp yang seringkali hanya berakhir dengan dua centang biru tanpa balasan – sebuah penantian yang membuat RJA nyaris putus asa.

Statemen ini menjadi bukti konkret bahwa narasi “kiblat Jokowi” bukan hanya retorika, tetapi strategi kebetulan yang dianggap satu-satunya jalan keluar bagi kelangsungan PSI – meskipun pada akhirnya strategi ini belum mampu membawa PSI tembus ke Senayan pada pemilu 2024.

Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional KPU RI yang diumumkan pada 20 Maret 2024, PSI gagal menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen, sehingga tidak ada satu pun caleg PSI yang dapat menduduki kursi di DPR RI. Partai ini hanya meraih sebanyak 4.260.169 suara, yang setara dengan 2,80 persen dari total suara sah nasional sebesar 151.796.630.

Padahal, jika PSI lolos ambang batas, sedikitnya ada 5-6 caleg yang diprediksi bisa duduk di Senayan, antara lain Cynthia Riza (Dapil Jawa Tengah V), Ade Armando (Dapil Jakarta II), dan Grace Natalie (Dapil Jakarta III) – yang semuanya memiliki perolehan suara cukup baik di masing-masing dapilnya, namun harus menerima kenyataan tidak bisa melenggang ke Senayan karena partai tidak lolos. Respons Kaesang Pangarep saat itu pun irit bicara, hanya menyatakan bahwa hasil ini akan dibahas di DPP PSI dan partai akan melakukan evaluasi untuk pemilu mendatang.

Meskipun RJA menyatakan bahwa PSI mengalami kenaikan suara dibanding pemilu sebelumnya (dari 1,8 persen menjadi 2,8 persen) dan memiliki fraksi sendiri di 16 kabupaten/kota, kegagalan tembus Senayan tetap menjadi bukti bahwa “efek Jokowi” yang diandalkan belum cukup kuat untuk membawa partai ini menjadi pemain utama di peta politik nasional.

Tak lama setelah kongres dan evaluasi pasca-pemilu, PSI mencatat peristiwa penting yang membuat peta politik Indonesia terkejut: eksodus ratusan kader dan petinggi Nasdem yang bergabung ke partai ini, terutama sejak pertengahan 2025. Nama-nama besar yang hengkang termasuk Ahmad Ali (mantan Waketum DPP Nasdem periode 2019-2024 dan Ketua Fraksi Nasdem DPR RI periode 2019-2024) – yang menjadi petinggi Nasdem tertinggi yang bergabung ke PSI. Selainnya, ada juga Bestari Barus (mantan Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019), Ricky Valentino, Indira Mulya Sari, dan Tatong Bara. Bahkan, jaringan relawan pilpres 2024 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) yang sebelumnya tergabung di Nasdem juga ikut bergabung, dipimpin oleh Ham Jadid (mantan Koordinator Nasional Relawan AMIN).

Pelantikan pengurus baru PSI periode 2025-2030 pada 26 September 2025 menjadi puncak dari eksodus ini. Ahmad Ali langsung ditunjuk sebagai Ketua Harian DPP PSI – jabatan hanya di bawah Ketua Umum Kaesang Pangarep – sementara Bestari Barus menjabat Ketua Bidang Politik dan Ricky Valentino menjadi Ketua DPP PSI. Dalam pidatonya saat pelantikan, Ahmad Ali menyatakan bahwa keputusannya pindah ke PSI didasari keyakinan bahwa partai ini adalah “partai masa depan” yang memiliki ruang terbuka untuk berkembang. Dia juga menegaskan bahwa hubungan dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh tetap baik, meskipun telah berbeda partai.

Sisi menariknya, eksodus ini tidak hanya melibatkan elite nasional, tetapi juga mempengaruhi basis daerah. Di Sulawesi Selatan, misalnya, beberapa kepala daerah yang dulunya diusung Nasdem bahkan disebut-sebut akan mengikuti jejak tokoh daerah Nasdem yang bergabung. Pihak Nasdem sendiri menanggapi dengan santai, dengan Sekjen Hermawi Taslim menyatakan bahwa eksodus ini adalah bukti kualitas kaderisasi Nasdem yang diakui oleh partai lain. Namun, banyak pengamat melihat eksodus ini sebagai upaya PSI untuk memperkuat struktur internal dan menarik simpati pemilih yang sebelumnya mendukung Nasdem, terutama menjelang pemilu 2029.

Meskipun statemen Jeffrie menunjukkan seberapa besar harapan PSI pada Jokowi, dan hasil pemilu 2024 membuktikan keterbatasannya, banyak pihak melihatnya sebagai bukti bahwa partai ini hanya menggantung ke populernya Jokowi dan prestasinya (seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kesejahteraan, dan diplomasi luar negeri) tanpa memiliki blue print yang jelas untuk membangun partai kader yang mandiri. Bahkan, eksodus petinggi Nasdem juga dipandang sebagai “manuver cepat” untuk memperkuat struktur tanpa merancang sistem kaderisasi sendiri.

Pertama, dukungan PSI terhadap Jokowi muncul pada saat hubungan Jokowi dengan partai pendukungnya lama, PDIP, mulai memburuk. PSI melihat kesempatan untuk menjadi “tempat tumpah darah” bagi pendukung Jokowi yang merasa terlantar, sehingga bisa meningkatkan elektabilitasnya yang semula rendah. Survei Litbang Kompas pada 2019 menunjukkan elektabilitas PSI hanya 0,9 persen – jauh di bawah ambang batas 4 persen – namun setelah mengangkat narasi Jokowi, partai ini hanya berhasil meningkatkan suara hingga 2,8 persen, yang masih kurang untuk tembus Senayan. Namun, pengamat politik M Jamiluddin Ritonga menegaskan: “PSI hanya menggantung nafsu di populernya Jokowi. Mereka belum punya blue print jelas tentang bagaimana membangun kader, menyebarkan ide, dan membangun basis pendukung yang tahan lama – semuanya tergantung pada nama Jokowi dan sekarang menambah kader ‘milik lain’ dari Nasdem.”

Kedua, kehadiran Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI pada September 2023 juga menjadi bagian dari manuver ini. Kaesang sendiri mengakui bahwa dirinya bisa menjadi pucuk partai berkat “privileges” sebagai anak Jokowi. Kehadiran Kaesang membuat PSI semakin terhubung dengan nama Jokowi, sehingga bisa menarik perhatian massa muda yang menyukai figur putra Jokowi yang populer di media sosial. Namun, ini juga memperkuat kesan bahwa PSI tidak mampu menghasilkan tokoh kepemimpinan sendiri – dan tanpa blue print kader, partai ini akan sulit bertahan setelah nama Jokowi tidak lagi menjadi magnet, bahkan meskipun RJA telah menduduki jabatan menteri dan banyak petinggi Nasdem bergabung.

Ketiga, narasi “kiblat Jokowi” juga digunakan untuk menutupi kekurangan ideologi PSI yang sebenarnya. Sejak didirikan, PSI sering dikritik karena tidak memiliki ideologi yang jelas dan konsisten. Partai ini mengusung berbagai agenda – dari pemberantasan korupsi hingga pemberdayaan UMKM – namun implementasinya di lapangan masih kurang terasa. Dengan mengangkat Jokowi sebagai kiblat, PSI bisa “meminjam” popularitas dan nilai-nilai Jokowi untuk menutupi kekurangan ini, tanpa merancang blue print sendiri yang mengarah ke partai kader yang terstruktur.

Propaganda “kiblat Jokowi” juga menuai kritik karena kurangnya konsistensi dan otentisitas. Contohnya, PSI pernah mengkritik kebijakan Jokowi tentang utang negara pada awalnya, namun kemudian berubah sikap dan mulai membela kebijakan tersebut. Selain itu, PSI adalah bagian dari koalisi pendukung Prabowo Subianto pada pilpres 2024 – padahal Prabowo adalah lawan Jokowi pada pilpres 2014 dan 2019. Hal ini membuat publik bertanya: apakah PSI sungguh mengikuti nilai-nilai Jokowi, atau hanya menggunakannya sebagai alat politik untuk menggantung ke populernya? Bahkan RJA sendiri, sebagai Menteri Kehutanan di Kabinet Prabowo, kini harus menjalankan kebijakan presiden yang berbeda dengan Jokowi, meskipun ia menyatakan masih mengacu pada pelajaran masa lalu.

Kritik lain juga ditujukan pada eksodus petinggi Nasdem. Beberapa pengamat menyatakan bahwa PSI hanya “mengumpulkan” kader dari partai lain tanpa memikirkan integrasi ideologi. “PSI seperti ‘toko sembako’ yang menerima semua kader yang tidak punya tempat lain setelah gagal di pemilu,” ujar pengamat politik Herry Mendrofa. Selain itu, Herry juga menyatakan bahwa Jokowi berperan sebagai “pengendali di balik layar” bagi PSI – bahkan tanpa bergabung secara resmi. Hal ini membuat PSI terlihat sebagai “partai pribadi” Jokowi yang digunakan untuk mempertahankan pengaruhnya pasca-presiden, bukan partai kader yang memiliki identitas sendiri. Namun, Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ia belum memutuskan untuk bergabung dengan PSI, meskipun mengakui lebih memilih PSI daripada PPP.

Jangan salah: “efek Jokowi” dan eksodus petinggi Nasdem bisa jadi peluang emas untuk PSI. Tapi sampai kapan partai ini akan terus mengandalkan “nama besar orang lain” tanpa punya landasan sendiri? Hasil pemilu 2024 yang gagal tembus Senayan adalah peringatan keras yang tidak boleh diabaikan.

PSI harus mengambil langkah dengan tegas: hentikan propaganda “kiblat Jokowi” yang hanya membuat partai terjebak dalam bayangan orang lain! Jangan hanya mengumpulkan kader dari partai lain seperti “toko sembako” – tapi bangun sistem kaderisasi sendiri yang melahirkan tokoh-tokoh muda yang memiliki identitas PSI, bukan identitas mantan partai mereka. Jangan hanya berbicara di media sosial tentang “partai masa depan” – tapi buat blue print yang jelas tentang ideologi, program kerja yang konkret, dan langkah-langkah membangun basis pendukung yang tahan lama.

Generasi muda dan Gen Z Indonesia tidak butuh partai yang hanya mengandalkan nama orang terkenal atau mengikuti arus politik. Mereka butuh partai yang benar-benar modern: transparan, konsisten, memiliki visi yang jelas, dan berani bertindak sesuai prinsip – bukan hanya berubah sikap karena kepentingan politik. PSI memiliki potensi, tapi potensi itu akan sia-sia jika partai ini terus memilih jalan yang mudah: menggantung ke populernya orang lain.

Waktu sudah habis untuk main-main. PSI harus segera menata pola partainya dengan benar – atau siap menjadi sejarah politik yang hanya dikenang sebagai “partai Jokowi” yang tidak pernah bisa berdiri sendiri.

___________

Tinggalkan Balasan