Politik Sandiwara: Ketika Kekuasaan Mengangkangi Kebenaran, Adigang, Adigung, Adiguno

Spread the love

JAKARTA,28 DESEMBER 2025 Tutup mata, buka lagi – apa yang kamu lihat di panggung politik Indonesia 2025? Bukan drama yang mengharukan, tapi sandiwara yang memalukan. Di mana para pemeran pakai topeng keadilan, tapi di baliknya tersembunyi rahasia kepentingan yang busuk. Di mana kekuasaan seolah menjadi “raja yang tidak ada undang-undang” – melanggar, menindas, dan mengangkangi kebenaran seolah itu haknya. Para elite politik seolah lupa sepenuhnya dengan pepatah Jawa kuno yang membisikkan, “Adigang, adiguno, adigung – aja nyombong, aja sok kuat, aja sok pintar” – padahal itu adalah inti dari bagaimana kekuasaan seharusnya dipakai. Yang terlihat sekarang, cuma kesombongan kekuatan, keangkuhan kekuasaan, dan kepintaran palsu yang hanya merugikan rakyat. Ini adalah politik yang hilang arah – di mana demokrasi hanyalah kata-kata indah di kertas, dan hukum hanyalah alat untuk menutupi kejahatan. Dan buktinya? Berbagai kasus besar dan operasi tangkap tangan (OTT) yang mengguncang negeri sepanjang tahun ini, termasuk yang terbaru dan viral yang melibatkan pejabat kabinet.

1. UU Pemilu yang Dipaksakan & Kekurangan Partisipasi Publik:
Revisi Undang-Undang Pemilu menjadi bukti nyata bagaimana kekuasaan dapat mengangkangi kebenaran. Proses legislasi yang minim partisipasi publik dan sarat kepentingan politik menunjukkan bahwa demokrasi hanya menjadi retorika kosong. Para pembuat undang-undang seolah “kuminter (sok pintar)” dan mengabaikan aspirasi rakyat yang menginginkan sistem yang lebih adil dan representatif. Kasus ini semakin menjadi sorotan ketika berbagai LSM melaporkan bahwa proses publikasi rancangan undang-undang hanya menjadi “tampilan” tanpa adanya perubahan yang signifikan berdasarkan masukan masyarakat.
2. Pilkada Serentak yang Tercoreng & Dugaan Politik Uang:
Pelaksanaan Pilkada serentak di beberapa daerah di tengah tahun 2025 diwarnai praktik politik uang dan intimidasi yang tak kunjung hilang. Di satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, Bawaslu menemukan bukti transfer uang dalam jumlah besar yang terhubung dengan tim calon kepala daerah, meskipun proses penyidikan masih berjalan. Lembaga pengawas dan penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi kekuatan politik yang besar. Hasilnya, pemimpin yang terpilih pun diragukan legitimasi dan integritasnya. Mereka seolah “ora duwe isin (tidak punya malu)” melakukan praktik-praktik kotor untuk meraih kekuasaan.
3. Korupsi yang Merajalela & OTT Besar KPK – Termasuk yang Terbaru & Viral:
Pemberantasan korupsi hanya menjadi jargon politik, dan tahun 2025 penuh dengan OTT KPK yang mengguncang.
– OTT Kasus Dinas PUPR Oku (Maret 2025): KPK menangkap kepala Dinas PUPR Pemkab Ogan Komering Ulu (Oku) No Prian Syah, tiga anggota DPRD Oku, dan dua pemberi suap terkait dugaan suap proyek tahun 2024-2025. Dari OTT ini, KPK menyita uang tunai Rp2,6 miliar, 1 unit mobil Toyota Fortuner, dan berbagai barang bukti lainnya. Sebelumnya, tersangka juga telah menyerahkan Rp1,5 miliar yang sebagian digunakan untuk membeli mobil baru.
– OTT Kasus Inhutani V (Agustus 2025): KPK menangkap sembilan orang, termasuk direksi BUMN Industri Hutan V (Inhutani V) dan pihak swasta, dalam OTT di Jakarta. Meskipun konstruksi perkara belum diungkapkan secara rinci, kasus ini menunjukkan bahwa korupsi juga merambah sektor hutan dan BUMN.
– OTT Kasus Wakil Menteri Tenaga Kerja (Agustus 2025) – TERBARU & VIRAL: Ini adalah OTT yang paling mengguncang publik akhir-akhir ini. Pada rabu malam 20 Agustus 2025, KPK menetapkan Wakil Menteri Tenaga Kerja Immanuel Ebenezer Gerungan (juga dikenal sebagai Noel) dan 10 orang lainnya sebagai tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan. Biaya yang semestinya hanya Rp275 ribu dibuat menjadi Rp6 juta, dengan uang tambahan itu dikucurkan ke pihak terkait. Kasus ini viral karena melibatkan pejabat kabinet tinggi dan menunjukkan bahwa korupsi tak hanya terjadi di daerah, tapi juga merambah ke pusat kekuasaan. KPK juga telah menyita puluhan aset milik tersangka, termasuk uang tunai dan properti.
Lembaga penegak hukum seolah tebang pilih dan terkadang terkesan lambat dalam menindak, sementara para pelaku korupsi seolah “emoh rugi (tidak mau rugi)” dan memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri.
4. Kekhawatiran Atas Kebebasan Berekspresi & Penindasan Kritikus:
Kritik dan demonstrasi dibungkam dengan alasan stabilitas. Di beberapa daerah, aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah ditangkap dengan tuduhan yang dianggap kurang masuk akal, seperti “menyebarkan hoaks” atau “mengganggu ketertiban umum”. Ruang publik dipersempit dan kebebasan berekspresi dikekang, terutama di media sosial yang semakin banyak dikenai pemantauan. Pemerintah seolah alergi terhadap suara rakyat dan lebih memilih otoritarianisme, seolah “nutupi bathang (menutupi bangkai)” dan tidak mau mengakui kesalahan.

Politik Indonesia 2025 menunjukkan bahwa kekuasaan telah kehilangan arah. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, kekuasaan justru menjadi alat untuk menindas dan memeras. Hukum hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan penguasa. Para elite politik seolah lupa dengan pepatah Jawa, “becik ketitik, ala ketara” (yang baik akan kelihatan, yang buruk akan tampak) – karena semua keburukan mereka, dari korupsi hingga penindasan, sudah terlalu jelas untuk disembunyikan oleh berbagai kasus dan OTT yang terjadi, termasuk yang viral melibatkan pejabat tinggi.

Demokrasi hanya menjadi sandiwara yang dimainkan oleh para aktor politik yang haus kekuasaan. Rakyat hanya menjadi penonton yang pasrah menyaksikan drama yang memilukan, seolah “koyo kebo dicucuk irunge (seperti kerbau yang dicocok hidungnya)” dan tidak berdaya melawan penindasan.

1. Revolusi Mental di Kalangan Elite Politik: Perlu ada revolusi mental di kalangan elite politik. Kekuasaan harus dipandang sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Mereka harus ingat dengan pepatah Jawa, “memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara” (memperindah dunia, memberantas angkara murka).
2. Reformasi Hukum dan Penguatan Lembaga Penegak Hukum: Sistem hukum harus direformasi secara menyeluruh. Lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Mahkamah harus benar-benar independen, profesional, dan bebas dari intervensi politik. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Mereka harus ingat dengan pepatah Jawa, “jer basuki mawa bea” (untuk mencapai sesuatu yang baik diperlukan pengorbanan) – pengorbanan untuk menjaga keadilan.
3. Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan Partisipasi Publik: Masyarakat harus diberdayakan untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan penegakan hukum. Partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan dan pemilihan pemimpin harus ditingkatkan. Mereka harus ingat dengan pepatah Jawa, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” – kebersamaan adalah kekuatan untuk mengubah.
4. Pemulihan Ruang Publik dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi: Pemerintah harus membuka kembali ruang publik untuk diskusi yang konstruktif dan melindungi kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia. Kritik harus diterima sebagai masukan untuk perbaikan, bukan sebagai ancaman.

Indonesia tidak boleh terus terperosok dalam politik sandiwara. Rakyat harus bangkit dan merebut kembali kedaulatannya. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat menjadi negara yang adil, makmur, dan beradab. Ojo lali marang purwa duksina (jangan melupakan asal usul) – bahwa negara ini didirikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan sebagian orang.

(***)

Tinggalkan Balasan