Pencabutan ID Pers: Bukti Nyata Demokrasi Kita Sedang Sakit Parah

Spread the love

Bogor – Dalam setiap pertanyaan yang jujur, ada benih kebenaran yang ingin tumbuh. Namun, ketika Biro Pers Istana mencabut ID pers Diana Valencia, mereka mencoba mencabut akar demokrasi itu sendiri.

Di negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, pertanyaan seharusnya dijawab dengan argumentasi, bukan represi. Namun, ironi pahit justru terjadi ketika Diana Valencia, seorang jurnalis CNN Indonesia, yang menjalankan tugasnya untuk bertanya tentang program “Makan Bergizi Gratis” yang kontroversial, justru dibungkam dengan pencabutan ID pers. Pertanyaan sederhana namun relevan, “Soal makan bergizi gratis ada instruksi khusus gak pak?”, seolah menjadi bom waktu yang mengancam kenyamanan penguasa.

Demokrasi kita ibarat taman yang seharusnya dipenuhi bunga-bunga kebebasan yang mekar dengan indahnya. Namun, tindakan Biro Pers Istana mencabut ID pers Diana Valencia adalah seperti menyiram taman itu dengan air keras, membunuh tunas-tunas kritis dan menyisakan tanah gersang yang dipenuhi ketakutan.

Dalam filosofi Jawa, kita mengenal “Satria pinandhita sinisihan wahyu,” yang berarti seorang pemimpin sejati adalah yang memiliki kebijaksanaan laksana pendeta dan selalu mendapat petunjuk dari Tuhan. Sementara dalam filosofi Sunda, kita mengenal “Silih asah, silih asih, silih asuh,” yang berarti saling mengasah (kepintaran), saling mengasihi, dan saling mengayomi. Tindakan membungkam pers jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur ini, karena menghambat hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.

Img 20250912 wa0029
Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Wartawan adalah ujung tombak demokrasi. Mereka hadir untuk bertanya, menggali informasi, dan memastikan publik mendapatkan jawaban yang jernih dari pemerintah. Apa yang dilakukan Diana Valencia itu bukanlah pelanggaran, apalagi penghinaan. Pertanyaannya sederhana, relevan, dan menyangkut kepentingan publik.

Mencabut ID pers seorang wartawan hanya karena pertanyaan yang mewakili keresahan banyak orang, sama saja menutup ruang transparansi. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 ayat (1), undang-undang tersebut menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pencabutan ID pers Diana Valencia yang dilakukan oleh pihak Biro Pers Istana ini adalah preseden buruk yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencoreng wajah demokrasi.

Tugas wartawan bukan untuk menyenangkan penguasa atau menjadi corong pemerintah, melainkan untuk mengawasi kekuasaan dan mengabarkan kebenaran. Jika pemerintah bereaksi dengan represi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kebebasan pers, melainkan juga kualitas demokrasi kita.

Kita sebagai mahluk sosial selalu diajarkan oleh orang tua kita agar memiliki prinsip yang mengatakan, “Adigang, adigung, adiguno,” yang berarti janganlah menyombongkan kekuatan, kekuasaan, atau kepandaian. Sementara dalam pepatah Sunda pun kita  diingatkan untuk, “Kudu bisa ngeureut neundeun,” yang berarti harus bisa membagi dan menyimpan. Pemerintah seharusnya tidak menyombongkan kekuasaan dengan membungkam pers, melainkan membagi informasi dengan transparan dan menyimpan amanah rakyat dengan baik, sesuai dengan amanat undang-undang.

Wartawan adalah pilar fundamental demokrasi, garda terdepan dalam menjaga akuntabilitas dan transparansi. Tugas mereka adalah bertanya, menggali informasi, dan memastikan publik mendapatkan jawaban yang jernih dari pemerintah. Tindakan Diana Valencia yang mengajukan pertanyaan kritis terkait program “Makan Bergizi Gratis” bukanlah pelanggaran, apalagi penghinaan. Pertanyaan yang diajukan, “Soal makan bergizi gratis gak pak?”, adalah pertanyaan yang sederhana, relevan, dan sangat menyangkut kepentingan publik.

Mencabut ID pers seorang wartawan hanya karena pertanyaan yang mewakili keresahan banyak orang adalah bentuk nyata dari upaya membungkam suara kebenasan dan menutup ruang transparansi. Ini adalah tindakan represif yang tidak hanya mengancam individu wartawan, tetapi juga menciderai prinsip-prinsip kebebasan pers yang dijamin konstitusi.

Dalam pribahasa Jawa kita mengenal kalimat “Memayu hayuning bawana,” yang berarti manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan alam semesta. Senada dengan itu, dalam budaya  Sunda kita diajarkan  agar selalu memiliki pedoman “Tatag, teteg, tumeteg,” yang berarti kokoh, teguh, dan totalitas. Pemerintah seharusnya kokoh dalam prinsip demokrasi, teguh dalam menjamin kebebasan pers sesuai dengan amanat undang-undang, dan totalitas dalam melayani kepentingan rakyat demi mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan malah bertindak represif yang merusak harmoni.

Kami menyerukan agar tindakan pencabutan ID pers ini segera ditinjau ulang dan dibatalkan. Kebebasan pers adalah indikator vital dari sebuah negara demokratis yang sehat, dan setiap upaya untuk melemahkan peran wartawan adalah ancaman serius bagi hak publik untuk tahu dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang transparan.

Oleh : Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) adalah seorang jurnalis, aktivis, dan rohaniawan yang aktif dalam salah satu senode gereja di Indonesia. Beliau dikenal karena kepeduliannya terhadap isu-isu keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi, serta sering memberikan pandangan kritis dan konstruktif terhadap berbagai persoalan sosial dan politik di Indonesia.

Tinggalkan Balasan