Pena Jurnalistik: Senjata atau Suluh? Saatnya Memilih!

Spread the love

Bogor – Derap langkah kaki menggema di lorong waktu. Di balik mesin tik usang, jemari menari di atas keyboard, merangkai kata demi kata. Di layar gadget modern, berita viral menyebar secepat petir. Di era informasi tanpa batas, pena jurnalistik adalah kekuatan yang tak terelakkan.
Namun, di persimpangan jalan, kita dihadapkan pada pilihan: senjata atau suluh? Apakah pena ini akan dikotori dengan fitnah, mengobarkan perpecahan, dan menjajakan sensasi murahan? Atau justru menjadi obor yang menembus kegelapan, menyuarakan kebenaran yang membara, dan merajut kembali persatuan yang terkoyak?

Di tengah tsunami informasi yang menerjang dunia, pena jurnalistik adalah kekuatan dahsyat. Ia bisa menjadi senjata yang melukai, atau suluh yang menerangi. Pilihan ada di tangan para pemiliknya. “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2 Timotius 4:2)
Setiap kata yang terukir memiliki daya magis. Ia bisa membangkitkan semangat yang membara, atau menghancurkan harapan hingga berkeping-keping. Ia bisa membangun jembatan yang kokoh, atau menggali jurang pemisah yang dalam. Karena itulah, tanggung jawab seorang jurnalis tak terbatas. Ia bukan sekadar penyampai fakta, tapi juga penjaga moralitas bangsa. “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.” (Amsal 25:11)

Ironisnya, realitas seringkali mencoreng idealisme. Sensasi menjadi candu yang memabukkan, mengalahkan nurani dan akal sehat. Kita lihat bagaimana berita hoax tentang vaksin dapat merenggut nyawa, atau bagaimana ujaran kebencian dapat memicu perang saudara. Kritik destruktif lebih menggema daripada solusi konstruktif. Lalu, di manakah letak marwah jurnalisme yang sesungguhnya?

Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, kebebasan ini juga disertai tanggung jawab yang besar. Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa “Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Namun, ayat 2 menambahkan, “Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, pers wajib menghormati hak asasi manusia, kesusilaan, tata nilai masyarakat, serta norma-norma agama.”

Lebih dari itu, jurnalis juga terikat pada Kode Etik Jurnalistik, yang menekankan prinsip-prinsip seperti akurasi, keberimbangan, independensi, dan tidak beritikad buruk. Jurnalis harus selalu berupaya untuk memverifikasi informasi, memberikan ruang bagi semua pihak yang terlibat, dan menghindari konflik kepentingan.

Di tengah kegelapan ini, muncullah para jurnalis Kristiani. Mereka bukan sekadar penulis berita, tapi utusan ilahi yang membawa misi suci. Kasih adalah senjata utama mereka, kebenaran adalah perisai mereka. Mereka adalah suara profetik yang lantang menyuarakan keadilan dan harapan. “Siapakah di antaramu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.” (Yakobus 3:13)

Kita bisa melihat bagaimana jurnalis Kristiani seperti Billy Graham menggunakan platform media untuk menyebarkan pesan damai dan kasih, atau bagaimana media Kristen seperti CBN (Christian Broadcasting Network) memberikan bantuan kemanusiaan dan memberitakan Injil ke seluruh dunia. Mereka adalah contoh nyata bagaimana jurnalisme dapat menjadi alat untuk kebaikan.

Seorang jurnalis yang baik itu seperti nahkoda kapal di tengah samudra informasi yang ganas. Ia harus memiliki kompas moral yang kokoh, peta pengetahuan yang akurat, dan kemampuan untuk membaca arah angin perubahan zaman. Jika ia salah arah, bukan hanya kapalnya yang karam, tapi juga seluruh penumpangnya.

Dalam budaya Jawa yang kaya akan simbolisme, seorang jurnalis ideal dapat diibaratkan sebagai “pandhita” yang memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk melihat kebenaran di balik permukaan. Ia juga diharapkan memiliki sifat “andhap asor” (rendah hati) dan “tresna” (cinta kasih) kepada sesama. Sementara itu, dalam semangat “Gotong Royong” yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, khususnya di Minahasa dengan filosofi “Mapalus”, jurnalisme yang baik adalah hasil kerja sama dan kepedulian terhadap kepentingan bersama. Jurnalis diharapkan menjadi bagian dari solusi, bukan hanya sekadar penyampai masalah.

Mereka adalah “suratan Kristus” yang hidup, yang terpancar melalui setiap kata dan perbuatan. Mereka tidak tunduk pada tekanan pasar, tidak tergoda oleh gemerlap popularitas. Mereka hanya setia pada satu komando: menyampaikan kabar baik, menebar damai, dan menjadi berkat bagi sesama.

Kefas Hervin Devananda

Cukup sudah dengan jurnalisme sampah yang hanya mengejar sensasi dan keuntungan semata. Saatnya kita bangkit dan melakukan revolusi! Mari kita dukung para jurnalis yang berani melawan arus, yang setia pada nilai-nilai kebenaran dan kasih. Mari kita ciptakan ekosistem media yang sehat, yang memberdayakan masyarakat dan membangun bangsa. “Akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)

Pena di tanganmu, wahai jurnalis! Jadilah suluh yang menerangi kegelapan, bukan senjata yang melukai sesama. Jadilah agen perubahan, bukan sekadar pengumpul berita. Jadilah berkat, bukan kutukan. Genggam erat pena kebenaran, ukir sejarah dengan tinta kasih, dan jadilah suara yang menggema di keabadian!

Seperti pelita yang tak pernah padam, jurnalisme sejati akan terus menyala, menuntun umat manusia menuju cakrawala yang lebih gemilang. Ia adalah denyut nadi peradaban, saksi bisu sejarah, dan penjaga harapan bagi masa depan.

Kasih dan Rahmat Kristus menyertai setiap langkahmu. Teruslah berkarya, teruslah berjuang!

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Penulis adalah seorang Jurnalis Pewarna Indonesia, aktivis, dan rohaniawan di salah satu sinode Gereja di Indonesia. Melalui karya jurnalistik dan pelayanannya, Romo Kefas berupaya untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan kasih di tengah masyarakat.

Tinggalkan Balasan