NEHEMIA: SI PEMBANGUN YANG TIDAK TAKUT MENGHADAPI ANCAMAN – KOMITMEN YANG DIBUAT DENGAN INTEGRITAS DAN CINTA

Spread the love

Pelitakota.id Alkitab bersuara tegas dalam Yesaya 58:12: “Orang-orang yang berasal dari kamu akan membangun tembok-tembok yang tua; mereka akan mengangkat kembali puing-puing yang lama dan membangun kembali bangunan-bangunan yang terlupakan sejak lama.” Ini bukan sekadar janji – ini adalah panggilan. Panggilan untuk mereka yang berani melihat kehancuran dan berkata, “Saya tidak akan biarkan ini tetap seperti ini.” Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Gagal iku pangkal sukses, lali iku pangkal lupa” – kehancuran bukan akhir, tapi permulaan untuk bangkit. Dan di tengah kegelapan, ada Nehemia – seorang pria yang menjadikan panggilan itu sebagai jiwa kehidupannya. Dia tidak hanya membangun tembok batu yang roboh, tapi juga membangun tembok kepercayaan di hati rakyat – dengan komitmen yang tak tergoyahkan, sekeras batu dan selembut air.

Nehemia bukanlah pahlawan yang lahir dengan mahkota di kepala atau pedang di tangan. Dia hanyalah seorang rabi – penjaga meja raja Artakserkses di Persia – hidup dalam kenyamanan yang jauh dari tanah kelahirannya, Yerusalem. Tapi kenyamanan itu hancur seketika ketika adiknya Hanani datang dengan berita yang menyayat hati:
“Yerusalem hancur, temboknya roboh, dan rakyatnya hidup dalam ketakutan karena tidak ada perlindungan!” (Nehemia 1:2-3).

Bukan hanya air mata yang menetes – tapi juga semangat perjuangan yang menyala. Nehemia tidak berkata, “Ah, itu urusan orang lain” atau “Saya terlalu kecil untuk melakukan apa-apa.” Sebaliknya, dia merasakan beban yang tak bisa dilepaskan: “Saya menangis, saya bersedih, saya berdoa, dan saya berpuasa sehari penuh.” (Nehemia 1:4). Dia mengingat pribahasa Jawa: “Wong tuwa ora kebakul, wong enom ora kesusu” – setiap orang memiliki peran, termasuk dirinya, untuk mengubah keadaan. Komitmen dimulai bukan dari kemampuan, tapi dari keinginan yang tulus untuk melayani.

Setelah bertahun-tahun menanam benih doa, Nehemia akhirnya berdiri di depan raja – tempat di mana satu kata salah bisa membuatnya mati. Tapi keberaniannya lebih kuat dari ketakutan. Dia membuka mulutnya dengan tegas:
“Permintaan hamba kepada Engkau adalah: berikanlah kepada hamba izin untuk pergi ke Yerusalem, kota nenek moyang hamba, untuk membangun temboknya yang roboh.” (Nehemia 2:5).

Ini adalah saat yang menentukan. Saat di mana komitmen diuji apakah itu hanya kata-kata atau sikap hidup. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Ojo wedi gagal, wedi wae ora ngoba” – jangan takut gagal, takutnya adalah tidak berani mencoba. Dan Allah memberikan kemenangan yang luar biasa: Raja memberikan izin, pasukan pengawal untuk melindunginya, dan bahkan bahan bangunan yang dibutuhkan!

Ketika tiba di Yerusalem, Nehemia tidak langsung memerintah dengan sombong. Dia keluar malam hari, menyelami sisa-sisa tembok yang roboh, mempelajari setiap celah, menghitung setiap tantangan. Dia bekerja dengan diam-diam, tidak ingin membangkitkan kebencian musuh sebelum dia dan rakyat siap untuk bertempur. Ini adalah komitmen yang cerdas – tidak hanya berani, tapi juga cermat.

Tidak lama setelah pekerjaan dimulai, musuh muncul dengan kebencian yang membara. Sanbalat, Tobia, dan Gesem – tiga makhluk yang tak mau melihat rakyat Israel bangkit – mulai mencaci maki, mengolok-olok, dan mengancam:
“Apa yang kamu kerjakan ini? Kamu mau memberontak terhadap raja kah?” (Nehemia 4:1-2).

Mereka menyebarkan hoaks, mengirim pesan ancaman, dan mencoba memecah belah rakyat. Suasana menjadi tegang – setiap orang takut akan serangan. Tapi Nehemia tidak menyerah. Dia bersuara tegas:
“Jangan takut pada mereka! Ingatlah Tuhan yang Mahakuasa, dan jadilah kuat!” (Nehemia 4:14).

– Setengah orang bekerja membangun tembok dengan tenaga penuh.
– Setengah orang berdiri berjaga dengan senjata, mata mereka selalu waspada.
– Bahkan ketika makan atau minum, mereka harus membawa senjata – tidak ada waktu untuk lengah!

Dan hasilnya? “Kita bekerja dengan kuat, dan tembok makin tinggi, sampai hanya tersisa satu bagian lagi yang belum selesai.” (Nehemia 4:6). Ini adalah kekuatan komitmen yang terarah – sesuai dengan pribahasa Jawa: “Sukses iku asil saka gawe keras lan ngerti cara” – keberhasilan bukan kebetulan, tapi hasil kerja keras dan kecerdasan. Tidak peduli seberapa banyak orang menentang, kita tetap maju!

Yang paling hebat dari Nehemia bukan hanya dia bisa membangun tembok sepanjang beberapa kilometer dalam waktu hanya 52 hari – prestasi yang luar biasa! Tapi dia juga membangun kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Sebagai bupati, dia berhak menerima pajak, makanan, dan uang dari rakyat. Tapi dia menolak semuanya! Dia berkata:
“Saya tidak mengambil hak-hak saya sebagai bupati, karena saya melihat rakyat menderita kesulitan.” (Nehemia 5:14).

Bahkan, dia menggunakan uang sendiri untuk menjamu ratusan orang setiap hari! Dia juga memberantas ketidakadilan dengan tegas: para pemilik tanah yang menindas rakyat miskin dengan bunga pinjaman yang tinggi di suruh mengembalikan tanah dan uangnya – tanpa syarat. Nehemia mengikuti pribahasa Jawa: “Budi disambut budi, rasa disambut rasa” – cinta dan keadilan adalah balasan terbaik yang bisa diberikan kepada rakyat. Dia menunjukkan bahwa komitmen kepada tugas tidak pernah lengkap tanpa integritas. Sebuah tembok yang megah tidak berarti apa-apa jika rakyat di dalamnya menderita.

Kita mungkin tidak perlu membangun tembok fisik di zaman sekarang. Tapi setiap hari, kita dihadapkan dengan “tembok roboh” dalam hidup kita:

– Impian yang terhenti karena kegagalan.
– Hubungan yang hancur karena konflik.
– Lingkungan yang membutuhkan perubahan positif.
– Diri sendiri yang hilang arah karena ketakutan dan keraguan.

Dari Nehemia, kita pelajari kekuatan yang abadi – yang juga terkandung dalam pribahasa Jawa: “Wong suci ora ana ing swarga, ana ing tengah-tengah rakyat” – pahlawan bukan yang hidup di atas awan, tapi yang berani berdiri di tengah rakyat dan membangun bersama.

Kita pelajari:

1. Komitmen dimulai dari doa dan tanggung jawab yang tulus. Jangan tunggu orang lain untuk memulai – jadilah yang pertama yang berdiri dan berkata, “Saya akan melakukan sesuatu.”
2. Keberanian mengalahkan ketakutan. Tidak ada komitmen yang mudah, tapi dengan Allah, kamu cukup kuat untuk menghadapi semua ancaman.
3. Kerja cerdas dan tekun adalah kunci keberhasilan. Jangan hanya bekerja keras – bekerja dengan tujuan, rencana, dan fokus yang jelas.
4. Integritas adalah jiwa dari komitmen. Jangan hanya mengejar tujuan – pastikan jalan yang kamu tempuh penuh dengan kebenaran, cinta, dan perhatian kepada sesama.

Tembok Yerusalem akhirnya selesai dibangun, dan rakyat Israel merayakan dengan gembira yang tak terkira. Nehemia tidak menjadi raja, tapi dia menjadi pahlawan abadi – karena komitmen yang dia tanamkan tidak hanya membangun bangunan batu, tapi juga membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang, sesuai dengan janji Allah dalam Yesaya 58:12 dan semangat pribahasa Jawa: “Gawe luwih penting tinimbang omong” – tindakan lebih berharga daripada kata-kata.

Sekarang, tanya dirimu sendiri: Apa “tembok roboh” yang perlu kamu bangun hari ini? Percayalah – dengan komitmen yang tak tergoyahkan, doa yang tulus, dan integritas yang tegas – kamu bisa menjadi titik balik sejarah di zamanmu!

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Tinggalkan Balasan