Natal Tanpa Tempat: HKBP Cikarang Ditekan Masyarakat, LBH & Kemenag Harus Turun Langsung

Spread the love

ASKARA,26 DESEMBER 2025 – Ibadah Natal 2025 jemaat HKBP Cikarang berjalan aman, tapi dengan rasa tertekan. Yang seharusnya digelar di Rumah Doa, malah harus dipindahkan ke Hotel Lakeside Tel Cikarang pada Rabu (24/12/2025) – akibat penolakan yang ganas, tekanan psikologis, dan intimidasi verbal dari sekelompok masyarakat seminggu sebelumnya. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GEKIRA dan Staf Khusus Menteri Agama RI terpaksa turun langsung mendampingi, sebagai bukti bahwa hak kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945 masih jauh dari terpenuhi.

Peristiwa yang mengguncang terjadi pada 17 Desember 2025: sekelompok warga menolak keras pelaksanaan ibadah Natal di Rumah Doa dengan kata-kata yang menakutkan, membuat jemaat merasa tidak aman bahkan di tempat ibadah mereka sendiri. Situasi ini tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tapi juga merupakan pelanggaran konstitusional yang jelas – sesuatu yang seharusnya menjadi kebanggaan negara berdemokrasi ternyata harus diperjuangkan dengan susah payah.

“Penolakan terhadap ibadah Natal ini tidak hanya menciptakan rasa tidak aman bagi jemaat, tetapi juga merupakan pelanggaran nyata terhadap hak kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi,” tegas Rediston Sirait, anggota Tim LBH GEKIRA yang ditugaskan langsung oleh Ketua LBH GEKIRA, Dr. Santrawan Paparang, SH, MH, MKn. Komitmen kelembagaan mereka dalam inventarisasi fakta, koordinasi dengan aparat, dan pendampingan lapangan adalah tindakan yang perlu, tapi juga menyiratkan bahwa negara gagal mencegah intimidasi sejak awal.

Setelah negosiasi dengan Staf Khusus Menteri Agama RI, jemaat akhirnya memilih hotel sebagai lokasi alternatif selama 2 bulan, sambil menunggu dialog dan mediasi. Dalam ibadah tersebut, hadir lintas unsur: Pengurus Pusat GEKIRA, Tim LBH GEKIRA, rombongan Kementerian Agama RI, Kapolsek Sukasari, TNI Babinsa, FKUB, dan Camat Serang Baru. Kehadiran mereka memastikan ibadah berjalan penuh sukacita – tapi pertanyaan tajam tetap mengganggu: mengapa jemaat harus mengorbankan tempat ibadah yang sudah mereka miliki? Mengapa aparat tidak mampu menekan tindakan intoleransi sebelum semuanya terlambat?

“Ibadah Natal jemaat HKBP Cikarang dapat berlangsung dengan aman dan penuh sukacita meskipun dilaksanakan di lokasi alternatif. Kami memberikan jaminan bahwa ibadah dapat terus berjalan sembari proses negosiasi dan mediasi antarwarga dilaksanakan,” ujar Gugug Gumelar, Staf Khusus Menteri Agama RI. Meskipun kata-katanya menenangkan, jaminan ini tidak menyembunyikan kenyataan bahwa jemaat menjadi korban dari kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka.

LBH GEKIRA mencatat berbagai bentuk persekusi yang dialami: penolakan terbuka, tekanan psikologis, dan ancaman yang berpotensi membahayakan keamanan. Atas dasar itu, mereka mengajukan rekomendasi yang tegas dan tidak main-main kepada pemerintah daerah:

– Lebih proaktif mencegah dan menindak tindakan intoleransi dengan segera, bukan setelah kerusuhan terjadi
– Berikan perlindungan maksimal kepada jemaat HKBP Cikarang agar tidak terus merasa terancam
– Perkuat edukasi toleransi di masyarakat agar keberagaman tidak lagi dijadikan alasan perselisihan
– Percepat proses perizinan (PBG) rumah ibadah HKBP Cikarang agar jemaat punya tempat ibadah yang sah dan aman

Pendampingan ini adalah wujud nyata komitmen LBH GEKIRA menjaga nilai-nilai Pancasila dan persatuan bangsa. Namun, ini juga menjadi tanda peringatan yang mendesak bagi negara: kebebasan beragama bukan kata-kata kosong. Perlu tindakan cepat, tegas, dan tidak diskriminatif agar kelompok minoritas beragama tidak terus-menerus dipaksakan mundur – karena, seperti yang ditegaskan Rediston Sirait: “Ibadah Natal ini adalah hak warga negara. Negara wajib hadir dan memastikan tidak ada intimidasi ataupun tekanan terhadap kelompok minoritas beragama.”

Jurnalis: Tim
Editor: Romo Kefas

Tinggalkan Balasan