Mundurnya Peradaban: Ketika “Meresahkan” Menjadi Senjata Melawan Hak Konstitusional

Spread the love

Jakarta – Ketika perayaan Natal yang direncanakan damai, inklusif, dan berbadan hukum dibatalkan dengan alasan sepele “meresahkan warga”, kita tidak hanya menyaksikan pembatalan sebuah acara—melainkan serangan tersembunyi pada fondasi negara yang kita bangun: kebhinekaan yang dijamin UUD 1945 dan kearifan lokal “gotong royong” yang seharusnya melingkupi perbedaan. Ada pribahasa Sunda yang pas sekali menggambarkan hal ini: “Jang ngaharti ka jang sanes, jang sanes ngaharti ka jang ngaharti”—yang berarti “Yang memahami yang lain, akan dipahami oleh yang lain”. Namun kenyataan yang kita hadapi justru sebaliknya: ketidakmampuan untuk memahami perbedaan malah menjadikan yang berbeda jadi sasaran penolakan.

Narasi “tidak ada tekanan dari pihak manapun” hanyalah selubung yang tipis. Dalam konteks kekuasaan lokal Indonesia, tekanan jarang datang dengan senjata atau ancaman tertulis—melainkan melalui “bisik-bisik elites”, keberatan informal dari kelompok yang merasa “berwenang”, dan ketakutan pejabat untuk menegakkan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa gangguan. Ini adalah soft pressure yang halus, senyap, tapi efektif membungkam hak warga—seolah-olah hukum hanya berlaku ketika tidak ada yang “terganggu”.

Realitas yang lebih mengkhawatirkan: kejadian intoleransi terus meluas dan berulang di berbagai daerah, bahkan dalam beberapa bulan terakhir. Data dari periode 2024-2025 juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut Laporan Setara Institute, angka kasus intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) meningkat dari 217 peristiwa pada 2023 menjadi 260 peristiwa pada 2024, dengan total 402 tindakan intoleransi sepanjang tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2025, kasus-kasus baru terus muncul, termasuk pelarangan ibadah di berbagai daerah.

Pada Juli 2025, sekelompok massa menyerang rumah ibadah Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Padang, Sumatera Barat, dengan balok kayu saat ibadah tengah berlangsung—kursi dan kaca dirusak, sementara jemaat dewasa dan anak-anak panik berlarian. Kasus ini mendapat kecaman dari LBH Padang dan Maarif Institute, yang menyatakan peristiwa itu merusak toleransi dan kebhinekaan negara. Hanya sebulan sebelumnya, pada bulan Juni 2025, terjadi aksi intimidasi terhadap komunitas Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selain itu, pada tahun 2024, terjadi kasus penutupan gereja di Bekasi, Jawa Barat, yang menimbulkan protes dari masyarakat.

Kejadian yang lebih baru, pada bulan November dan Desember 2025, semakin memperkuat kekhawatiran ini—terutama di wilayah Jabodetabek yang seharusnya jadi pelopor inklusivitas. Pada 7 November 2025, ledakan terjadi di masjid SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, selama shalat Jumat—menyebabkan dua orang terluka dan menimbulkan kepanikan massal. Tim Gegana Polda Metro Jaya menyelidiki sumber ledakan, meskipun motif dan pelaku belum diungkapkan secara resmi. Kejadian ini menunjukkan bahwa intoleransi tidak hanya menargetkan minoritas, tetapi juga bisa menyerang kelompok mayoritas dengan kekerasan yang tak terduga—menghancurkan rasa aman yang seharusnya menjadi hak semua warga.

Di Depok, kasus diskriminasi semakin merajalela bahkan di ruang pendidikan dan pembangunan rumah ibadah. Pada Juli 2025, warga memasang spanduk penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilodong meskipun pihak gereja telah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), dengan alasan ketidakharmonisan dan minimnya komunikasi sejak awal. Kasus ini memunculkan pertanyaan tentang keterbukaan masyarakat terhadap perbedaan keyakinan—sesuai dengan pribahasa Sunda lain: “Jang leumpang ka jang keneh, jang keneh leumpang ka jang leumpang”—yang berarti “Yang datang ke tempat yang sudah ada, tempat yang sudah ada harus menerima yang datang”. Tetapi yang terjadi malah penolakan tanpa kesempatan berkomunikasi.

Di Cikarang, tekanan terhadap aktivitas publik dan umat minoritas juga terjadi. Pada 19 Maret 2025, oknum organisasi masyarakat (ormas) menolak keberadaan posko mudik terpadu yang direncanakan oleh relawan di Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, yang menyebabkan ketegangan antara pihak relawan dan warga yang tidak sepakat. Polisi kemudian menginisiasi musyawarah antara kedua pihak untuk mencari solusi bersama. Selain itu, pada 17 Desember 2025, jemaat HKBP Cikarang mengalami penolakan, tekanan psikologis, dan intimidasi verbal dari sekelompok masyarakat yang menentang pelaksanaan ibadah Natal di rumah doa mereka, sehingga terpaksa beribadah di hotel sebagai lokasi alternatif selama 2 bulan ke depan dengan pendampingan hukum dari LBH Gekira dan staf khusus Menteri Agama. Tindakan ini dinilai melanggar hak kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945.

Di wilayah lain, seperti Garut, rumah doa umat kristen ditutup paksa dan pengelolanya diusir pada November 2025, membuat Menteri Agama Nasaruddin Umar meminta agar kasus ini tidak dijadikan isu nasional—yang kemudian dikritik oleh lembaga hak asasi manusia karena dianggap merendahkan keprihatinan terhadap korban.

Kasus-kasus ini bukanlah kebetulan—mereka adalah cerminan dari preceden berbahaya yang kita bangun: hari ini Natal atau gereja di Padang, besok ibadah Buddha di daerah yang dominan muslim, lusa keyakinan tradisional yang dianggap “tidak sesuai” oleh mayoritas. Ini adalah langkah mundur peradaban yang pasti—ketika hukum tunduk pada emosi massa, bukan sebaliknya.

Masalahnya terletak pada ketidakjelasan standar “meresahkan” itu sendiri. Siapa yang menentukan? Berapa banyak orang yang harus merasa “terganggu” agar hak seorang warga bisa diorbankan? Dari sisi kearifan lokal, Indonesia telah lama mengenal “musyawarah mufakat” dan “rasa hormat sesama” sebagai landasan sosial. Tapi kapan waktu kita menyamakan “musyawarah” dengan “menyerah pada tekanan”? Kapan “rasa hormat” hanya berjalan satu arah—dari minoritas ke mayoritas? Perayaan yang damai tidak pernah menjadi ancaman bagi ketertiban—yang menjadi ancaman adalah ketidakberanian pejabat untuk melindungi yang lemah, dan keinginan segelintir pihak untuk menormalisasi veto sosial berbasis intoleransi.

Transparansi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban hukum. Tanpa surat resmi pembatalan, daftar peserta rapat pengambilan keputusan, dan dasar hukum yang jelas, publik berhak curiga bahwa “harmoni” yang diklaim hanyalah penutup untuk ketidakadilan. Sejarah membuktikan: peradaban tidak runtuh karena perbedaan, tetapi karena kita membiarkan ketidakadilan bertahan atas nama “ketertiban”.

Di sinilah tugas pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadi sangat tegas dan tak bisa ditunda. Selama kampanye pilpres 2024, beliau secara jelas menjanjikan untuk menjaga keragaman dan kebhinekaan sebagai kekuatan bangsa, dengan menekankan pentingnya keteladanan pemimpin dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Beliau juga menegaskan komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terkait dengan kebebasan beragama, meskipun tidak tertulis dalam visi-misi secara langsung. Selama masa jabatan, tugasnya adalah memastikan janji ini terwujud: mengakhiri penggunaan aturan yang diskriminatif seperti Pasal Penodaan Agama 1965 dan Peraturan “Kerukunan Umat Beragama” 2006, menegakkan hukum terhadap pelaku intoleransi tanpa pandang bulu, dan memperkuat kepemimpinan toleransi dari pusat hingga daerah. Ketika ibadah dianggap ancaman, sesungguhnya yang terancam adalah wajah kebangsaan Indonesia itu sendiri—negara yang seharusnya menjadi rumah bagi semua, bukan hanya bagi yang berani bersuara lebih keras. Dan tanggung jawab pemerintah Prabowo adalah memastikan bahwa rumah ini tetap terbuka lebar, aman, dan penuh rasa hormat bagi setiap warga, sesuai dengan filosofi Pancasila dan janji yang diberikan kepada rakyat.

(Tim Redaksi)

Tinggalkan Balasan