MK Diminta Batalkan UU HPP, Dinilai Membajak Keadilan Pajak dan Bebani Rakyat Kecil Sidang Putusan Uji Materiil Dijadwalkan 14 Agustus 2025

Spread the love

MK Diminta Batalkan UU HPP, Dinilai Membajak Keadilan Pajak dan Bebani Rakyat Kecil Sidang Putusan Uji Materiil Dijadwalkan 14 Agustus 2025

Jakarta, 13 Agustus 2025 —

Sehari jelang pembacaan putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah pasal yang dianggap melanggar konstitusi dan membebani masyarakat miskin serta kelompok rentan.

Perkara dengan nomor register 11/PUU-XXIII/2025 ini diajukan enam warga dari berbagai latar belakang mulai dari nelayan, mahasiswa, pelaku usaha mikro, hingga penyandang disabilitas—serta satu yayasan yang mewakili penyandang disabilitas psikososial. Permohonan diajukan pada 20 Februari 2025, di tengah gelombang protes publik bertajuk #IndonesiaGelap.

PPN Meluas ke Layanan Dasar Afif Abdul Qoyim, kuasa hukum para pemohon sekaligus pengacara publik YLBHI, menilai UU HPP telah memperluas objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari “daftar negatif” menjadi “daftar positif”, sehingga barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum kini berpotensi dikenakan pajak.
“Ini langkah mundur yang menggerus keadilan pajak. Layanan dasar seharusnya bebas pajak sebagai bentuk kewajiban negara memenuhi hak dasar warganya,” kata Afif.

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 11% dan rencana kenaikan ke 12% bersifat regresif dan memperberat daya beli masyarakat kelas bawah.
“Ironinya, pemerintah diberi kewenangan mengubah tarif hingga 15% tanpa indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan yang jelas. Ini membuka ruang keputusan politis jangka pendek dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.

Kesaksian Ahli: Sifat Regresif Perpajakan
Dalam persidangan 9 Juli 2025, ahli kebijakan fiskal Media Wahyudi Askar menyebut PPN paling memberatkan masyarakat miskin karena sifatnya regresif porsinya terhadap pendapatan jauh lebih besar dibandingkan masyarakat kaya.
Sementara ahli ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara menghitung, kenaikan PPN ke 12% akan membebani kelompok rentan hingga Rp1,22 juta per tahun hanya dari selisih pajak.

Dampak terhadap Perempuan dan Ekonomi Rumah Tangga
Novia Sari, kuasa hukum yang juga aktivis Solidaritas Perempuan, menyoroti dampak ganda bagi perempuan. Ia mencontohkan Asmania, pemohon yang bekerja sebagai nelayan, yang pendapatannya stagnan sejak PPN 11% diberlakukan pada April 2022, sementara harga kebutuhan pokok melonjak.
“Beban ganda rumah tangga semakin berat jika PPN dinaikkan hingga 15%,” tegas Novia.

Alternatif Pajak yang Lebih Adil
TAUD-SKP merekomendasikan pemerintah memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak kekayaan, windfall tax industri ekstraktif, pajak digital, dan pajak karbon, alih-alih memperluas PPN pada kebutuhan pokok.

Tuntutan di MK
Para pemohon meminta MK: Menghapus ketentuan PPN atas barang pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum.

Membatalkan pasal yang memberi kewenangan pemerintah menaikkan tarif hingga 15% tanpa indikator jelas.

Mengembalikan kewenangan pengaturan tarif kepada DPR, sesuai Pasal 23A UUD 1945.

“Aspek keadilan sosial harus menjadi pertimbangan utama. Kami berharap MK mengembalikan pajak pada fungsinya: membiayai negara tanpa memiskinkan rakyat,” tutup Judianto.

Sumber :TAUD-SKP
Afif Abdul Qoyim 0813-2004-9060
Judianto Simanjuntak 0857-7526-0228
Novia Sari 0813-6598-4387

Tinggalkan Balasan