Bogor – Di jantung Indonesia, sebuah negara yang kaya akan mozaik budaya dan kepercayaan, terbentang sebuah pertanyaan yang mendalam: Mungkinkah suara umat Kristen Indonesia, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas nasional, menemukan resonansinya kembali di panggung politik? Di tengah riuhnya demokrasi, di mana setiap suara berhak didengar dan dihargai, aspirasi politik umat Kristen seringkali tenggelam dalam arus besar kepentingan yang saling bersaing. Ironisnya, di negara yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, representasi politik kelompok minoritas justru kerap terpinggirkan.
Sejarah mencatat jejak langkah Parkindo dan PDS, dua entitas politik yang pernah mewarnai lanskap Indonesia. Namun, kini, keduanya hanya menjadi kenangan, terukir dalam prasasti sejarah. Apakah ini berarti mimpi tentang representasi politik Kristen telah usai? Ataukah ini justru menjadi momentum untuk merajut kembali mimpi tersebut dengan benang-benang kebangsaan yang lebih kuat? Pertanyaan ini bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan panggilan mendesak untuk merefleksikan kembali makna keberagaman dalam politik Indonesia.
Dalam pusaran sejarah Indonesia, politik kebangsaan seringkali diwarnai oleh berbagai ideologi dan aspirasi. Di tengah dinamika tersebut, partai-partai berbasis agama Kristen dan Katolik hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa. Kehadiran mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan peneguh nilai-nilai kebhinekaan dan nasionalisme yang menjadi fondasi negeri ini. Ibarat “cai herang, laukna beunang,” kehadiran partai-partai ini memberikan warna tersendiri dalam politik Indonesia, meski mungkin tak selalu menjadi pemenang utama. Namun, pertanyaannya adalah: apakah warna tersebut masih cukup kuat untuk mewarnai lanskap politik Indonesia saat ini?
Indonesia, sebuah negara kepulauan yang membentang luas, adalah cerminan sejati dari ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Keberagaman bukan hanya pada suku dan budaya, melainkan juga pada keyakinan spiritualnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam dengan persentase sekitar 86,93%. Namun, mozaik keagamaan ini diperkaya oleh kehadiran Kristen (Protestan 6,96% dan Katolik 3,10%, total 10,06%), Hindu (1,69%), Buddha (0,73%), Konghucu (0,05%), serta keyakinan lainnya (0,54%). Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan narasi tentang harmoni dan toleransi yang telah terjalin selama berabad-abad. Namun, di balik angka-angka tersebut, tersimpan potensi keretakan sosial jika keberagaman ini tidak dikelola dengan bijak.
Mari kita telusuri linimasa partai-partai Kristen dan Katolik di Indonesia dari masa revolusi hingga era reformasi, serta relevansinya hingga saat ini:
Masa Revolusi dan Orde Lama (1945-1966)
Pada awal kemerdekaan, umat Kristen Indonesia aktif terlibat dalam perjuangan fisik dan politik. Maklumat Pemerintah No. X/Th. 1945 membuka ruang bagi pembentukan partai politik, yang kemudian mendorong lahirnya partai-partai Kristen.
– Partai Kristen Indonesia (Parkindo): Didirikan pada 10 November 1945, Parkindo menjadi wadah aspirasi politik umat Kristen Protestan. Tokoh-tokoh seperti Wilhelmus Zakaria Johannes dan Johannes Leimena menjadi motor penggerak partai ini. Basis dukungan Parkindo solid di wilayah-wilayah dengan populasi Kristen yang signifikan, seperti Tapanuli, Minahasa, Maluku, dan Toraja. Dalam Pemilu 1955, Parkindo meraih 2,6% suara dan 8 kursi di DPR (Sumber: KPU). Parkindo memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan umat Kristen, serta aktif dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Namun, apakah peran ini masih relevan di era polarisasi identitas yang semakin menguat?
– Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) / Partai Katolik: Lahir pada 8 Desember 1945, PKRI menjadi representasi politik umat Katolik. I.J. Kasimo Hendro Wahyono adalah tokoh kunci dalam partai ini. Basis dukungan Partai Katolik terutama di Jawa, Flores, dan wilayah lain dengan populasi Katolik yang signifikan. Dalam Pemilu 1955, Partai Katolik meraih 2,09% suara dan 6 kursi di DPR (Sumber: KPU). Partai Katolik dikenal karena komitmennya terhadap keadilan sosial dan pendidikan, serta aktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Namun, apakah perjuangan ini cukup efektif dalam menghadapi tantangan diskriminasi dan intoleransi yang semakin meningkat?
Orde Baru (1966-1998)
Pada masa Orde Baru, terjadi fusi partai-partai politik menjadi tiga kekuatan utama. Parkindo dan Partai Katolik kemudian bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
– Partai Demokrasi Indonesia (PDI): PDI menjadi wadah bagi berbagai kelompok nasionalis, termasuk Kristen dan Katolik. Namun, ruang gerak partai politik dibatasi oleh dominasi Golkar. Meskipun demikian, tokoh-tokoh Kristen dan Katolik tetap memberikan kontribusi signifikan dalam PDI, memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Namun, apakah integrasi ini justru melemahkan identitas dan aspirasi politik umat Kristen?
Era Reformasi (1998-sekarang)
Setelah Reformasi, muncul kembali partai-partai berbasis agama, termasuk Kristen.
– Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna): Didirikan pada 20 Mei 1998, Krisna berupaya memperjuangkan aspirasi umat Kristen dalam era baru. Namun, dalam Pemilu 1999, partai ini hanya meraih 0,35% suara dan gagal mendapatkan kursi di DPR (Sumber: KPU). Krisna menghadapi tantangan besar dalam membangun basis dukungan yang kuat, serta bersaing dengan partai-partai lain yang lebih mapan. Kegagalan ini menjadi cermin bagi partai-partai Kristen lainnya: strategi apa yang harus diubah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama?
– Partai Damai Sejahtera (PDS): PDS sempat menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan. Pada Pemilu 2004, PDS berhasil meraih 13 kursi di DPR (Sumber: KPU). Basis dukungan PDS terutama di wilayah-wilayah dengan populasi Kristen yang signifikan, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara. Namun, pada Pemilu 2009, PDS gagal mempertahankan kursi di DPR (Sumber: KPU). Kegagalan PDS menunjukkan betapa sulitnya mempertahankan dukungan politik dalam sistem multipartai yang kompetitif. Apakah PDS terlalu fokus pada isu-isu sektoral, sehingga kehilangan relevansi di mata pemilih yang lebih luas?
– Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB): PDKB juga merupakan salah satu partai yang mencoba peruntungan di era Reformasi. Yang menarik, PDKB pernah meraih 5 kursi di DPR RI pada Pemilu 1999 (Sumber: Tempo.co). Meskipun demikian, PDKB kemudian mengalami kesulitan untuk mempertahankan eksistensinya dalam percaturan politik nasional. Faktor-faktor seperti kurangnya sumber daya, strategi kampanye yang tidak efektif, dan persaingan internal diduga menjadi penyebab kemunduran PDKB. Namun, pelajaran apa yang bisa dipetik dari keberhasilan singkat PDKB?
– Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI): PKDI juga hadir sebagai salah satu alternatif partai politik Kristen di Indonesia. Namun, PKDI juga belum berhasil menembus parlemen. PKDI terus berupaya membangun jaringan dan memperjuangkan isu-isu yang relevan bagi umat Kristen, meskipun menghadapi berbagai kendala. Apakah PKDI mampu menemukan formula yang tepat untuk menarik perhatian pemilih, ataukah akan bernasib sama dengan partai-partai Kristen lainnya?
Partai-partai Kristen dan Katolik mungkin tidak selalu menjadi pemain utama dalam panggung politik Indonesia. Namun, kehadiran mereka memiliki makna tersendiri. Ibarat “Ulah adigung, ulah adigung,” partai-partai ini menjadi pengingat akan pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan dalam berpolitik. Mereka adalah bagian dari mozaik kebangsaan yang memperkaya warna Indonesia. Namun, apakah mozaik ini akan tetap utuh jika salah satu warnanya semakin memudar?
Meskipun memiliki sejarah panjang dan basis dukungan yang potensial, partai-partai Kristen di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang menghambat perkembangan mereka. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain:
1. Regulasi yang Membelit: Undang-undang kepartaian yang ketat, dengan syarat administrasi yang rumit dan ambang batas parlemen yang tinggi, menjadi batu sandungan bagi partai-partai kecil. Sistem politik yang dirancang untuk partai-partai besar justru mematikan potensi partai-partai minoritas.
2. Demografi yang Kurang Menguntungkan: Dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki basis massa potensial yang terbatas untuk partai Kristen. Meskipun umat Kristen berjumlah sekitar 30 juta jiwa, jumlah ini relatif kecil dibandingkan mayoritas Muslim. Apakah ini berarti partai Kristen harus menyerah pada realitas demografi, ataukah harus mencari cara untuk menjangkau pemilih dari kelompok agama lain?
3. Sentimen Agama yang Sensitif: Stigma dan prasangka terhadap Kristen, yang kerap dituduh sebagai agen asing, dapat menghambat upaya membangun dukungan yang luas. Narasi-narasi intoleran yang beredar di media sosial semakin memperburuk situasi ini.
4. Kurangnya Solidaritas Internal: Perpecahan dan persaingan internal di antara partai-partai Kristen seringkali melemahkan posisi mereka dalam percaturan politik. Ego sektoral dan kepentingan pribadi mengalahkan kepentingan bersama.
5. Isu-Isu yang Kurang Relevan: Beberapa partai Kristen dianggap kurang mampu merumuskan isu-isu yang relevan bagi masyarakat luas, serta kurang efektif dalam mengkomunikasikan pesan-pesan mereka. Apakah partai Kristen terlalu fokus pada isu-isu keagamaan, sehingga kehilangan relevansi di mata pemilih yang lebih luas?
6. Keterbatasan Sumber Daya: Partai-partai Kristen seringkali menghadapi keterbatasan sumber daya finansial dan sumber daya manusia, yang membatasi kemampuan mereka untuk bersaing dengan partai-partai lain yang lebih besar dan mapan.
Namun, di tengah tantangan, ada pula potensi yang dapat dimanfaatkan. Terdapat sejumlah wilayah di Indonesia yang menjadi kantong-kantong kekuatan dengan proporsi penduduk Kristen yang signifikan. Misalnya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana persentase penduduk Kristen mencapai angka menonjol, bahkan 88.88% pada tahun 2010, menjadikannya provinsi dengan mayoritas Kristen yang kuat. Demikian pula di Provinsi Papua dan Papua Barat, komunitas Kristen memiliki akar yang sangat dalam dan menjadi mayoritas. Selain itu, Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (Sulawesi Selatan), Pulau Nias (Sumatera Utara), dan Kabupaten Karo (Sumatera Utara) juga merupakan daerah-daerah dengan konsentrasi umat Kristen yang besar. Kantong-kantong Kristen yang signifikan juga tersebar di Maluku, sebagian wilayah Kalimantan, dan kota-kota besar di Jawa. Potensi basis dukungan ini menjadi krusial dalam merumuskan strategi politik yang relevan bagi partai-partai Kristen. Namun, apakah partai Kristen mampu memanfaatkan potensi ini secara efektif, ataukah akan terus terjebak dalam pola-pola lama yang tidak efektif?
Kehadiran partai Kristen bukan hanya tentang meraih kursi kekuasaan atau memperjuangkan kepentingan sektoral. Lebih dari itu, kehadiran partai Kristen adalah tentang:
– Merawat Kebhinekaan: Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Partai Kristen dapat menjadi garda terdepan dalam merawat kebhinekaan ini, menjunjung tinggi toleransi, dan menghormati perbedaan.
– Menjaga Nasionalisme: Umat Kristen Indonesia adalah bagian integral dari bangsa ini. Mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap NKRI dan siap berjuang untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Partai Kristen dapat menjadi wadah untuk memperkuat semangat nasionalisme ini.
– Mewujudkan Keadilan Sosial: Pancasila mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Partai Kristen dapat memperjuangkan keadilan sosial ini, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan dan kemajuan.
– Menjadi Jembatan Penghubung: Partai Kristen dapat berperan sebagai jembatan penghubung antarumat beragama, mempromosikan dialog dan kerjasama yang konstruktif.
– Menginspirasi Generasi Muda: Partai Kristen dapat menginspirasi generasi muda untuk mencintai Indonesia dengan sepenuh hati, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Pengalaman partai berbasis agama di negara lain dapat memberikan pelajaran berharga bagi partai Kristen di Indonesia. Misalnya, di Jerman, Partai Kristen Demokrat (CDU) telah menjadi salah satu kekuatan politik utama selama beberapa dekade. Di India, Bharatiya Janata Party (BJP), yang memiliki afiliasi dengan organisasi Hindu nasionalis, saat ini menjadi partai yang berkuasa.
Namun, ada pula negara-negara di mana partai berbasis agama mengalami kesulitan untuk berkembang. Di Prancis, misalnya, partai-partai Katolik tidak pernah berhasil meraih dukungan yang luas, karena adanya tradisi sekularisme yang kuat.
Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa keberhasilan partai berbasis agama sangat bergantung pada konteks sosial, politik, dan budaya di masing-masing negara. Namun, apakah perbandingan ini relevan untuk Indonesia, yang memiliki sejarah dan karakteristik yang unik? Apakah kita bisa begitu saja meniru model partai berbasis agama dari negara lain, ataukah kita harus mencari jalan sendiri yang sesuai dengan konteks Indonesia?
Dalam khazanah budaya Sunda, terdapat filosofi luhur yang sangat relevan dengan semangat kebangsaan dan kebhinekaan, yaitu “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh.” Filosofi ini mengandung makna:
– Silih Asah: Saling mengasah, saling mengingatkan, saling memberikan masukan yang membangun. Dalam konteks politik, ini berarti partai Kristen dapat memberikan perspektif yang unik dan berharga dalam pembangunan bangsa, serta saling mengingatkan dengan partai-partai lain untuk mencapai tujuan bersama.
– Silih Asih: Saling mengasihi, saling menyayangi, saling mencintai. Ini berarti partai Kristen harus mampu merangkul semua lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang.
– Silih Asuh: Saling mengayomi, saling melindungi, saling membimbing. Ini berarti partai Kristen harus mampu menjadi pelindung bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan, serta memberikan bimbingan dan arahan yang positif bagi masyarakat.
Namun, apakah filosofi ini hanya menjadi hiasan bibir, ataukah benar-benar diimplementasikan dalam tindakan nyata? Apakah partai Kristen mampu menunjukkan bahwa mereka benar-benar “silih asah, silih asih, silih asuh” dalam politik Indonesia yang keras dan kompetitif?
Meskipun mungkin belum tentu bisa menjadi pemenang dalam kontestasi politik elektoral Indonesia, kehadiran partai Kristen tetap memiliki nilai yang signifikan. Kehadirannya memberikan warna yang lebih jelas dalam politik kebangsaan, menghadirkan perspektif yang unik dan berharga dalam pembangunan bangsa.
Partai Kristen dapat menjadi katalisator bagi dialog antaragama, mempromosikan toleransi dan kerukunan, serta memperjuangkan keadilan sosial bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, atau golongan. Dengan demikian, kehadiran partai Kristen dapat memperkaya khazanah politik Indonesia dan memperkuat fondasi kebangsaan.
Untuk mewujudkan mimpi ini, partai Kristen harus mampu:
– Merumuskan program dan strategi yang relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, khususnya di daerah-daerah dengan potensi basis dukungan yang kuat.
– Membangun koalisi dengan partai-partai lain yang memiliki visi yang sama, serta merangkul semua lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan.
– Mengamalkan filosofi “Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh” dalam setiap langkahnya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan.
– Meningkatkan solidaritas internal dan menghindari perpecahan yang dapat melemahkan posisi mereka.
– Berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur organisasi.
– Memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menjangkau pemilih muda dan memperluas jangkauan kampanye mereka.
– Menawarkan narasi alternatif yang menantang polarisasi identitas dan intoleransi yang semakin menguat.
– Berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil.
– Menjadi suara bagi mereka yang selama ini terpinggirkan dan terlupakan.
Kehadiran partai Kristen mungkin belum tentu menjamin kemenangan elektoral. Namun, kehadirannya akan memberikan warna yang lebih indah dalam politik kebangsaan. Partai Kristen dapat menjadi suara bagi mereka yang selama ini terpinggirkan, memperjuangkan hak-hak minoritas, dan memastikan bahwa setiap warga negara merasa dihargai dan dihormati.
Dengan demikian, kehadiran partai Kristen akan memperkuat fondasi kebangsaan
Penulis Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) Wasekjen Parkindo