MENGINJIL TANPA MELAWAN HUKUM

Spread the love

JAKARTA – PELITAKOTA.ID Mengabarkan Injil merupakan amanat Agung Yesus Kristus yang wajib dilakukan oleh orang percaya. Mencermati perkembangan pelayanan pekabaran injil di era digital saat ini, sangat diperlukan sikap kehati-hatian dan bijaksana dalam menyampaikan pendapat melalui media sosial, jika tidak berhati-hati bisa-bisa dapat dijerat Undang-Undang ITE atau aturan-aturan lain dalam hukum positif Indonesia. Meskipun setiap warga Negara dijamin oleh undang-undang untuk menyampaikan pendapatnya, namun demikian kebebasan tersebut ada aturan main yang wajib diperhatikan. Demikian disampaikan Fredrik J. Pinakunary, S.H.,S.E Ketua Umum Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI) dalam Seminar Latihan Staf Nasional 2021 Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) seluruh Indonesia pada Kamis, 9 September 2021 yang diselenggarakan secara Online dan dihadiri oleh sekitar 350 peserta. Sebagai Pembicara pada sesi Pertama dengan Tema “Hukum dan Misi di Negeri Indonesia” dalam Seminar  tersebut Putra Papua lulusan S1 Hukum Universitas Airlangga Surabaya ini, membawakan materi dengan Judul  “MENGABARKAN INJIL TANPA MELAWAN HUKUM”.

Fredrik mengawali dengan Firman Tuhan yang dikutip dari Injil Matius  28 : 18-20 Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa disorga dan dibumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. Mengabarkan Injil merupakan kewajiban setiap orang percaya. Dalam penyampaian materi tersebut Bang Fredrik panggilan akrabnya, menyebutkan bahwa setiap warga negara bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya itu. Kebebasan memeluk Agama dan menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi sebagaimana dalam pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945 sehingga setiap penyelenggaraan ibadah warga negara apapun agamanya dijamin oleh konstitusi yang berlaku di Indonesia, termasuk bebas berbicara tentang agamanya, termasuk berbagi atau sharing tentang Injil yang  dipercayai umat Kristianis sebagai Firman Tuhan. Beliau kemudian melanjutkan dengan pertanyaan: bagaimana injil dapat diberitakan tanpa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

Fredrik J Pinakunary, S.H.,S.E, yang juga pendiri Fredrik J. Pinakunary Law Offices itu mengutip Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, di mana dalam Pasal 4 disebutkan bahwa pada KUHP diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 156a yang berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Hal yang perlu diperhatikan dalam peraturan tersebut, (Pasal 4 Undang-undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 jo Pasal 156a KUHPidana) lanjut beliau mengandung multi tafsir dan karena itu sudah beberapa kali diajukan untuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar dicabut karena para pemohon berpendapat bahwa aturan ini mengandung multitafsir, bisa diartikan sangat luas sesuai dengan kepentingan orang yang lagi berkuasa. Fredrik mencontohkan permohonan judicial review yang diajukan oleh atau terkait denga kelompok Ahmadiyah pada tahun 2017. Dalam kasus tersebut para pemohon menghadirkan ahli dari Komnas HAM  Imdadun Rahmat. Menurut ahli tersebut, para pakar atau pemerhati hak asasi manusia, UU PNPS No. 1 Tahun 1965 jo Pasal 156 a KUHPidana bersifat, penindasan, mengekang, diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Menurut  Imdadun Rahmat dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi waktu itu, sebagaimana dikutip Bang Fredrik bahwa  Undang-undang itu dipersepsikan oleh para pihak, termasuk penggiat Hak Asasi Manusia sangat mengekang kebebasan Hak Asasi Manusia dalam menyatakan pendapat atau pemikiran mengenai sesuatu hal, dalam hal ini kepercayaan, mengingat bahwa dengan adanya peraturan ini, orang gampang dipidana.

Oleh karena itu menurut Imdadun Rahmat sudah saatnya dengan kemajuan teknologi, masyarakat yang semakin berkembang itu seharusnya sudah dihentikan peraturan ini. Dalam kesaksian Imdadun Rahmat, menurut Ketua Umum PPHKI Imdadun Rahmat menjelaskan tentang latar belakang tahun 1965, mengapa Undang-Undang ini dibuat. karena pemerintah Indonesia ingin menekan aliran yang ketika itu dianggap sebagai atheis atau komunis yang ketika itu mulai marak dikampanyekan. Maka untuk membendung paham-paham atheis itu, dibikinlah peraturan 1/PNPS Tahun 1965 ini.  Ahli tersebut kemudia melanjutkan bahwa dalam situasi sekarang yang berkembang, hal ini sudah berbeda karena pasal ini dipakai bukan untuk dalam tanda”(petik-red) mengekang, membatasi gerakan atheism, tetapi mengekang kelompok-kelompok minoritas. Inilah yang menjadi sorotan pemohon uji materi pada waktu itu.

Kata “dimuka umum”, sangat multitafsir  dan memberikan peluang yang sangat besar bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat untuk melakukan intervensi berita pelarangan keyakinan dan ketika orang berbicara sesuatu yang dia percayai dan oleh kebanyakan orang bilang “itu gak benar”, maka dengan adanya undang-undang ini, itu bisa menjadi pintu masuk bagi kelompok masyarakat yang berjumlah banyak untuk  menghakimi dan membawanya kepada proses hukum. Ini bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Setelah sidang satu tahun dari 2017 sampai 2018, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Judicial Review tersebut. Kenapa ? karena menurut Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP itu masih relevan dengan kehidupan Bangsa Indonesia pada saat ini. Yang dipersoalkan pemohon menurut Mahkamah Konstitusi adalah lebih cenderung kepada penerapan SKB-SKB dan peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan Kepala Daerah.

Menurut Mahkamah Konstitusi, kekisruhan itu bukan lahir dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP tetapi itu akibat dari keputusan Kepala Daerah dan juga SKB. Jadi menurut Mahkamah Konstitusi tidak tepat untuk menghapus ketentuan tersebut tapi bereskanlah pada level-level bawah yaitu Peraturan Daerah dan juga SKB yang penerapannya harus benar. itulah alasan penolakan Mahkamah Konstitusi. Sampai 2019 masih ada permohonan judicial review yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait hal ini dan juga ditolak.

Dalam ulasannya kaka Fredrik, sapaan moderator seminar LPMI, bahwa sebagai warga negara yang baik terlepas dari pendapat kita setuju atau tidak, sekarang ini hukum positif ini masih berlaku, itu juga yang harus patuhi karena kita adalah warga negara Indonesia. Selain peraturan-peraturan di atas kata beliau, maka pasal yang dipakai adalah pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transasksi Elektronik (ITE), ini sangat perlu diperhatikan. Kenapa ? sekarang ini banyak sekali orang menginjil itu melalui media teknologi digital. Masukin Youtube kemudian berbicara tentang Iman keyakinan, itu yang saat ini menjadi trending di masyarakat. Di era sekarang kita bisa dengan mudah membuat sebuah video, kita bicara apa saja dan kemudian diupload ke media Facebook atau Youtube misalnya, dan itu akan ditonton umum. Semakin kontroversi omongan kita, semakin banyak yang menonton bahkan menjadi viral. Dalam dunia pers dikenal sebuah statement “ Bad News is a Good News”, “Bad News Selling”. Kalau beritanya heboh, sensasional, kontroversi  maka banyak yang nonton. Ini sesuatu yang diakui atau tidak yang melahirkan konten-konten di media sosial yang sifatnya sensasional bukan lagi edukasi tetapi sensasi, dengan maksud meraih banyak penonton atau viewers. Kalau bisa masuk Youtube, penontonnya banyak maka bisa dapat uang dari situ. Ini membuat sebagian orang mengupload berbagai materi yang menurut mereka bisa mendatangakan banyak viewers atau yang lihat.

Persoalannya adalah ketika mereka mengupload berita injil atau kotbah, lanjut bang Fredrik dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE berbunyi “setiap orang dilarang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Jika dilihat dari defenisi pasal 28 ayat 2, maka ada dua unsur yang multi tafsir. Yang  pertama adalah unsur “Tanpa hak” karena itu pertanyaannya adalah apakah kita punya kapasitas, legal standing untuk berbicara tentang sesuatu atau tidak?

Jika kita tidak punya legal standing atau hak untuk berbicara tentang hal tersebut, maka kita bisa disangkutkan dengan Pasal 28 ayat 2 itu. Kita mengakui adanya kebebasan berekspresi namun kebebasan berekspresi bukan tanpa batasan. Sebab ketika sesorang dengan kebebasan berekspresi melanggar batas dalam arti apa yang diucapkan di media, termasuk media sosial kemudian menimbulkan kebencian kepada orang lain, kepada umat beragama yang lain, maka secara hukum orang itu rentan untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Unsur yang kedua mengandung multitafsir  adalah standar “rasa kebencian”. Penjelasan dari defenisi rasa kebencian tidak begitu jelas mendefenisikan apa yang dimaksud dengan rasa kebencian karenanya menurut Pak Advokat yang dulu pernah berkantor di Todung Mulya Lubis ini merujuk pada sebuah artikel dari Dosen Hukum Pidana UGM Bernama Devita Putri. Terkait ujaran kebencian, Dosen tersebut  merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia atau (OHCHR) pada 2012, ada tiga klasifikasi ujaran kebencian yaitu :
Penyampaian pendapat yang harus diancam pidana;
Penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan
Penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakkan pemerintah.
Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) menegaskan bahwa larangan dan sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau necessity yang dinilai berdasarkan factor-faktor:
Konteks, yaitu suatu ujaran kebencian harus berkaitan dengankonteks sosial atau politik tertentu pada saat ucapan itu dibuat dan disebarluaskan;
Status atau posisi pelaku ujaran kebencian dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan;
Kesengajaan. Merujuk pada pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens, dalam arti, pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakan orang lain;
Konten dan bentuk. Artinya suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif serta bentuk, gaya, sifat argument yang digunakan;
Jangkauan ujaran kebencian yang melibatkan penilaian terhadap sifat audiens yang dituju, keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya;
Kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut.
Jadi menurut Dosen tersebut tidak semua ucapan dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Orang bisa menyampaikan pandangannya, keyakinannya tanpa harus apa-apa dianggap sebagai ujaran kebencian. Bang Fredrik  kemudian mengingatkan bahwa kita hidup di negara hukum tetapi kita harus paham bahwa hukum itu produk politik. Seharusnya hukum menjadi panglima namun dalam beberapa kasus ketika banyak orang atau massa “berteriak” hakim menjadi terpengaruh dengan teriakan orang banyak. Berbicara penginjilan dalam perspektif hukum menurut beliau hal-hal seperti ini perlu dipelajari.

Setiap pelayan-pelayan Firman Kristus perlu dibekali pengetahuan hukum dalam penginjilan. Sebisa mungkin orang Kristen mengerti tentang hukum, supaya materi yang disampaikan dalam pekabaran injil itu, tidak melanggar hukum. Sebagai orang Kristen, mengabarkan injil, Kabar Baik, Damai Sejahtera harus dilakukan. Jika seseorang yang telah meninggalkan agama sebelumnya dan masuk atau menjadi orang Kristen, hendaklah orang tersebut berbicara tentang Injil dan bukan tentang kitab agama sebelumnya, kecuali dia dosen dan berbicara diruang akademis tidak membicarakannya di media sosial yang dapat ditonton, didengar oleh banyak orang, apalagi menjelekkan kitab atau agama sebelumnya. Hal ini tidak boleh dilakukan karena dapat menimbulkan kebencian kepada orang lain yang berujung pada  masalah hukum.
Fredrik menegaskan, Perintah Tuhan Yesus jelas “Kabarkan Injil” bukan kabarkan kitab lain, apalagi dengan tujuan menyerang atau menjelek-jelekkan. Inilah yang menyebabkan rasa kebencian. Ada beberapa saran teknis dalam mengabarkan injil tanpa melawan hukum yang disimpulkan Bang Fredrik sebelum menutup sesi Hukum dan Misi di Negeri Indonesia yang dibawakannya yaitu :
Menginjil dilakukan dengan menyampaikan kabar baik, damai sejahtera;
Menginjil dilakukan dengan membicarakan Injil/Alkitab dan berbagai hal terkait kekristenan; Menginjil tidak dilakukan dengan mengkaji kitab suci atau doktrin agama dan kepercayaan lain; Menginjil tidak dilakukan dengan cara-cara yang dapat menimbulkan rasa kebencian kepada umat beragama lain; Menginjil lewat media sosial harus memperhatikan ketentuan dalam UU ITE; dan Menginjil harus memperhatikan rambu-rambu dalam peraturan perundang-undangan, yaitu UU No 1/PNPS Tahun 1965 dan Pasal 156 KUHP
(Junus Boy Makahekung, S.H.,M.Pd)

Tinggalkan Balasan