Bogor – Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pahlawan bisa juga menjadi tiran? Atau seorang jenius, melakukan pengkhianatan moral? Sejarah dipenuhi tokoh-tokoh yang berdiri di persimpangan antara kekaguman dan kutukan. Soeharto, Heidegger, Nietzsche – mereka adalah paradoks yang memaksa kita untuk merenung lebih dalam.
Bukan Memuja, Bukan Mencela: Memahami dengan Hati Jernih
Terlalu mudah untuk langsung memuja atau mencela. Memuja membutakan kita pada kebobrokan, sementara mencela menutup pintu untuk pencerahan. Lebih baik, mari kita dekati mereka dengan pikiran jernih, mencoba memahami kekuatan dahsyat dan kelemahan mengerikan yang membentuk mereka. “Karena sekarang kita melihat dalam cermin, bayangan yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang saya hanya tahu sebagian, tetapi nanti saya akan tahu sepenuhnya, sama seperti saya dikenal.” (1 Korintus 13:12). Ayat ini mengingatkan kita bahwa pemahaman kita terbatas, dan kita harus terus berusaha melihat dengan lebih jelas.
Ambil contoh Soeharto. Kita bisa mengakui warisannya dalam pembangunan infrastruktur dan stabilitas ekonomi. Tapi, kita tidak boleh mengabaikan kejahatan kemanusiaan dan korupsi sistemik yang terjadi di bawah rezimnya. Dengan memahami kedua sisi ekstrem ini, kita belajar tentang bahaya kekuasaan absolut tanpa akuntabilitas. “Jangan menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” (Matius 7:1). Ayat ini mengingatkan untuk tidak cepat menghakimi, tetapi mencoba memahami kompleksitas situasi dan konsekuensinya.
Heidegger, dengan pemikirannya yang revolusioner tentang keberadaan, telah memberikan sumbangan tak ternilai pada filsafat. Sayangnya, ia merangkul Nazisme, yang menjadi noda abadi dalam reputasinya. Dari sini, kita belajar bahwa kecerdasan tanpa kompas moral bisa menjadi senjata pemusnah massal. “Orang bijak takut kepada Tuhan dan menjauhi kejahatan, tetapi orang bodoh terlalu percaya diri dan bertindak sembrono.” (Amsal 14:16). Kebijaksanaan sejati harus disertai dengan integritas yang tak tergoyahkan.
Nietzsche, dengan ide “kehendak untuk berkuasa” dan “manusia super,” mengguncang fondasi pemikiran tradisional. Tapi, penafsiran yang sesat terhadap idenya telah memicu ideologi yang menghancurkan. Kita belajar bahwa setiap ide, sebrilian apa pun, harus dipertimbangkan dengan tanggung jawab yang mendalam. “Segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” (1 Korintus 10:23). Kebebasan berpikir harus sejalan dengan tanggung jawab dan dampak positif yang berkelanjutan.
Menemukan Mutiara di Tengah Lumpur: Pembelajaran untuk Masa Depan
Belajar dari tokoh yang kontroversial bukan berarti memaafkan kesalahan mereka. Sebaliknya, ini adalah cara untuk menemukan pelajaran transformatif di tengah kejatuhan manusia. Dengan memahami akar kejahatan, kita bisa mencegah tragedi serupa terjadi lagi di masa depan.
Kita belajar tentang bahaya kekuasaan tanpa kendali, kecerdasan tanpa etika, dan ide tanpa pertanggungjawaban. Kita belajar bahwa tokoh yang benar-benar hebat tidak hanya diukur dari pencapaiannya, tetapi juga dari karakter dan kemanusiaannya. “Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23). Kita semua rentan terhadap kegelapan, tetapi kita juga memiliki kapasitas untuk belajar dan bangkit.
Merajut Empati, Menuai Harmoni: Mengakhiri Siklus Penghakiman
Pada akhirnya, tujuan kita adalah memahami, bukan menghukum. Dengan memahami, kita bisa menumbuhkan empati, bahkan kepada mereka yang telah melakukan pelanggaran berat. Empati adalah jembatan yang menghubungkan kita, memungkinkan kita belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih adil. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39). Kasih dan empati adalah kunci untuk memahami dan merangkul perbedaan.
Mari kita akhiri siklus pembalasan dan mulai babak baru yang penuh dengan pembelajaran dan kearifan. Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia di mana setiap orang dihargai, setiap kesalahan menjadi kesempatan untuk bertumbuh, dan setiap perbedaan dirayakan sebagai kekayaan. “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan takut hatimu.” (Yohanes 14:27). Semoga damai sejahtera sejati senantiasa membimbing kita.
Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Parkindo


