SLEMAN, 13/12/3025, Perjalanan partai politik Kristen di Indonesia sarat dengan dinamika pasang surut. Setelah Indonesia merdeka, kehadiran wadah politik bagi umat Kristen terasa penting, ditandai dengan berdirinya Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada tahun 1945. Parkindo, yang semula bernama Partai Kristen Nasional, menjadi satu-satunya representasi umat Protestan, sementara umat Katolik membentuk Partai Katolik.
Partai-partai ini sempat memainkan peranan penting dalam politik nasional, termasuk pada Pemilu 1955, dengan mendapatkan kursi yang signifikan di parlemen. Namun, di era Orde Baru, kebijakan fusi politik yang dipaksakan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973 menjadi titik balik. Parkindo dan Partai Katolik dilebur ke dalam satu wadah besar bersama partai-partai nasionalis lainnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Identitas partai Kristen pun praktis “hilang” dari panggung politik, walaupun kader-kader Kristen tetap berkiprah di PDI. Hilangnya wadah khusus ini, akibat fusi paksa, menjadi penyebab utama redupnya partai Kristen pada masa itu.
Kran demokrasi yang kembali terbuka di era Reformasi (pasca 1998) memunculkan kembali hasrat untuk mendirikan partai berbasis Kristen. Lahirlah berbagai partai baru, termasuk upaya menghidupkan kembali nama Parkindo (Parkindo 45) dan yang paling menonjol, Partai Damai Sejahtera (PDS) yang didirikan pada tahun 2001.
PDS sempat mencicipi keberhasilan, meraih 13 kursi di parlemen pada Pemilu 2004, menjadi harapan baru bagi umat Kristen. Namun, layaknya pendahulu mereka, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Pada Pemilu berikutnya, PDS gagal menembus ambang batas parlemen. Beberapa upaya penyatuan 10 partai Kristen kecil pada tahun 2012 di bawah PDS juga tidak mampu mengembalikan kejayaan. Kegagalan ini, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, disebabkan oleh konflik internal dan gagalnya partai untuk meraih dukungan elektoral yang berkelanjutan (tidak mampu melewati electoral threshold). Sejak 2009, praktis tidak ada lagi fraksi khusus partai Kristen di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kesulitan partai Kristen untuk berkembang disebabkan oleh berbagai kendala, baik dari dalam maupun luar.
• Kendala Internal (Disintegrasi Umat): Umat Kristen di Indonesia terbagi dalam beragam denominasi, sinode, atau gereja yang seringkali memiliki fokus dan orientasi yang berbeda-beda. Menyatukan visi politik dari berbagai kelompok yang terpecah ini, mulai dari Protestan hingga Katolik, dengan latar belakang etnis dan daerah yang majemuk, adalah tantangan besar. Para pemilih Kristen cenderung lebih memilih partai nasionalis-sekuler karena dianggap lebih mampu mengakomodasi pluralisme daripada memilih partai yang “terlalu sektarian” dan kecil.
• Kendala Eksternal (Isu Sektarianisme): Dalam iklim politik Indonesia yang mayoritas, partai berbasis agama minoritas sering dianggap rentan terhadap isu sektarianisme. Meskipun partai Kristen berasaskan Pancasila, label “partai agama” membuat mereka kesulitan untuk menarik pemilih di luar basis komunitasnya.
Partai Kristen saat ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Menggalang dana dan partisipasi yang masif untuk operasional dan kampanye partai berskala nasional merupakan hambatan besar bagi partai-partai kecil. Inklusivitas adalah tantangan berikutnya, dimana Partai Kristen harus mampu membangun partai yang inklusif, tidak hanya mewakili kepentingan umat Kristen, tetapi juga menyuarakan isu-isu keadilan, pluralisme, dan hak asasi manusia untuk seluruh warga negara. Partai tidak bisa lagi hanya menjadi “perpanjangan tangan” gereja. Partai Kristen juga harus bisa menempatkan diri sejalan dengan semangat moderasi beragama yang tengah didorong pemerintah, menjauhi politik identitas yang sempit. Peran mereka harus berfokus pada agenda kebangsaan, bukan sekadar kepentingan kelompok.
Dengan melihat kendala dan tantangan yang ada, pertanyaan besarnya adalah: apakah masih ada peluang bagi kebangkitan partai Kristen?
Jawabannya adalah: Peluang itu tipis, namun bukan tidak ada, tergantung bagaimana partai menyikapi realitas. Partai Kristen bisa menjadi relevan jika mereka bertransformasi menjadi partai moralitas dan pluralisme yang lantang menyuarakan keadilan sosial, antikorupsi, dan perlindungan minoritas, alih-alih hanya berfokus pada isu keagamaan internal. Tentu saja, apa yang disuarakan oleh partai Kristen tersebut harus juga diteladani oleh para pengurusnya.
Partai Kristen tidak boleh meminggirkan basis elektoral non-Agama. Mereka harus menyadari bahwa basis elektoral potensial ada pada kelompok pemilih yang merindukan politik berbasis nilai dan yang sudah lelah dengan politik identitas. Partai harus mampu menawarkan solusi konkret terhadap masalah-masalah publik yang luas.
Mengimpikan munculnya kembali partai politik Kristen di Indonesia masih relevan, asalkan definisinya bergeser. Bukan lagi tentang partai yang didirikan hanya untuk “melayani” umat Kristen secara sektarian, tetapi tentang partai yang didorong oleh nilai-nilai kekristenan yang transformatif untuk melayani kepentingan nasional.
Jika tetap ingin mendirikan atau membangun partai Kristen baru, ada beberapa hal krusial yang harus dipersiapkan:
1. Landasan Visi yang Inklusif: Partai harus tegas berdiri di atas ideologi Pancasila dan memiliki visi yang benar-benar menjangkau semua suku, agama, dan golongan. Visi harus lebih besar dari sekadar “Kristen”, fokus pada Bonum Commune (kebaikan bersama).
2. Penggalangan Kader Lintas Denominasi: Harus ada upaya serius untuk mempersatukan tokoh-tokoh kunci dari berbagai sinode dan organisasi Kristen, agar partai tidak dianggap sebagai perpanjangan tangan satu gereja saja. Soliditas internal adalah kunci.
3. Keterjangkauan Isu Publik: Partai harus aktif dalam isu-isu yang dekat dengan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, sejalan dengan tradisi pelayanan sosial gereja, agar tidak terkesan eksklusif.
4. Adaptasi Digital dan Pendanaan Kreatif: Mengingat tantangan dana, partai baru harus memanfaatkan platform digital untuk kampanye dan penggalangan dana secara inovatif, serta membangun struktur partai yang ramping dan efisien.
Singkatnya, partai Kristen di masa depan harus berani melepaskan label sektarian, fokus pada agenda kebangsaan, dan menjadi “garam dan terang” bagi seluruh bangsa, bukan hanya bagi komunitasnya sendiri.
Jurnalis: SHN
Gambar: AI
Membaca Jejak Sejarah Partai Kristen: Dari Parkindo hingga Senyap di Senayan
SLEMAN, 13/12/3025, Perjalanan partai politik Kristen di Indonesia sarat dengan dinamika pasang surut. Setelah Indonesia merdeka, kehadiran wadah politik bagi umat Kristen terasa penting, ditandai dengan berdirinya Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada tahun 1945. Parkindo, yang semula bernama Partai Kristen Nasional, menjadi satu-satunya representasi umat Protestan, sementara umat Katolik membentuk Partai Katolik.
Partai-partai ini sempat memainkan peranan penting dalam politik nasional, termasuk pada Pemilu 1955, dengan mendapatkan kursi yang signifikan di parlemen. Namun, di era Orde Baru, kebijakan fusi politik yang dipaksakan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973 menjadi titik balik. Parkindo dan Partai Katolik dilebur ke dalam satu wadah besar bersama partai-partai nasionalis lainnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Identitas partai Kristen pun praktis “hilang” dari panggung politik, walaupun kader-kader Kristen tetap berkiprah di PDI. Hilangnya wadah khusus ini, akibat fusi paksa, menjadi penyebab utama redupnya partai Kristen pada masa itu.
Kran demokrasi yang kembali terbuka di era Reformasi (pasca 1998) memunculkan kembali hasrat untuk mendirikan partai berbasis Kristen. Lahirlah berbagai partai baru, termasuk upaya menghidupkan kembali nama Parkindo (Parkindo 45) dan yang paling menonjol, Partai Damai Sejahtera (PDS) yang didirikan pada tahun 2001.
PDS sempat mencicipi keberhasilan, meraih 13 kursi di parlemen pada Pemilu 2004, menjadi harapan baru bagi umat Kristen. Namun, layaknya pendahulu mereka, kejayaan ini tidak berlangsung lama. Pada Pemilu berikutnya, PDS gagal menembus ambang batas parlemen. Beberapa upaya penyatuan 10 partai Kristen kecil pada tahun 2012 di bawah PDS juga tidak mampu mengembalikan kejayaan. Kegagalan ini, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, disebabkan oleh konflik internal dan gagalnya partai untuk meraih dukungan elektoral yang berkelanjutan (tidak mampu melewati electoral threshold). Sejak 2009, praktis tidak ada lagi fraksi khusus partai Kristen di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kesulitan partai Kristen untuk berkembang disebabkan oleh berbagai kendala, baik dari dalam maupun luar.
• Kendala Internal (Disintegrasi Umat): Umat Kristen di Indonesia terbagi dalam beragam denominasi, sinode, atau gereja yang seringkali memiliki fokus dan orientasi yang berbeda-beda. Menyatukan visi politik dari berbagai kelompok yang terpecah ini, mulai dari Protestan hingga Katolik, dengan latar belakang etnis dan daerah yang majemuk, adalah tantangan besar. Para pemilih Kristen cenderung lebih memilih partai nasionalis-sekuler karena dianggap lebih mampu mengakomodasi pluralisme daripada memilih partai yang “terlalu sektarian” dan kecil.
• Kendala Eksternal (Isu Sektarianisme): Dalam iklim politik Indonesia yang mayoritas, partai berbasis agama minoritas sering dianggap rentan terhadap isu sektarianisme. Meskipun partai Kristen berasaskan Pancasila, label “partai agama” membuat mereka kesulitan untuk menarik pemilih di luar basis komunitasnya.
Partai Kristen saat ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Menggalang dana dan partisipasi yang masif untuk operasional dan kampanye partai berskala nasional merupakan hambatan besar bagi partai-partai kecil. Inklusivitas adalah tantangan berikutnya, dimana Partai Kristen harus mampu membangun partai yang inklusif, tidak hanya mewakili kepentingan umat Kristen, tetapi juga menyuarakan isu-isu keadilan, pluralisme, dan hak asasi manusia untuk seluruh warga negara. Partai tidak bisa lagi hanya menjadi “perpanjangan tangan” gereja. Partai Kristen juga harus bisa menempatkan diri sejalan dengan semangat moderasi beragama yang tengah didorong pemerintah, menjauhi politik identitas yang sempit. Peran mereka harus berfokus pada agenda kebangsaan, bukan sekadar kepentingan kelompok.
Dengan melihat kendala dan tantangan yang ada, pertanyaan besarnya adalah: apakah masih ada peluang bagi kebangkitan partai Kristen?
Jawabannya adalah: Peluang itu tipis, namun bukan tidak ada, tergantung bagaimana partai menyikapi realitas. Partai Kristen bisa menjadi relevan jika mereka bertransformasi menjadi partai moralitas dan pluralisme yang lantang menyuarakan keadilan sosial, antikorupsi, dan perlindungan minoritas, alih-alih hanya berfokus pada isu keagamaan internal. Tentu saja, apa yang disuarakan oleh partai Kristen tersebut harus juga diteladani oleh para pengurusnya.
Partai Kristen tidak boleh meminggirkan basis elektoral non-Agama. Mereka harus menyadari bahwa basis elektoral potensial ada pada kelompok pemilih yang merindukan politik berbasis nilai dan yang sudah lelah dengan politik identitas. Partai harus mampu menawarkan solusi konkret terhadap masalah-masalah publik yang luas.
Mengimpikan munculnya kembali partai politik Kristen di Indonesia masih relevan, asalkan definisinya bergeser. Bukan lagi tentang partai yang didirikan hanya untuk “melayani” umat Kristen secara sektarian, tetapi tentang partai yang didorong oleh nilai-nilai kekristenan yang transformatif untuk melayani kepentingan nasional.
Jika tetap ingin mendirikan atau membangun partai Kristen baru, ada beberapa hal krusial yang harus dipersiapkan:
1. Landasan Visi yang Inklusif: Partai harus tegas berdiri di atas ideologi Pancasila dan memiliki visi yang benar-benar menjangkau semua suku, agama, dan golongan. Visi harus lebih besar dari sekadar “Kristen”, fokus pada Bonum Commune (kebaikan bersama).
2. Penggalangan Kader Lintas Denominasi: Harus ada upaya serius untuk mempersatukan tokoh-tokoh kunci dari berbagai sinode dan organisasi Kristen, agar partai tidak dianggap sebagai perpanjangan tangan satu gereja saja. Soliditas internal adalah kunci.
3. Keterjangkauan Isu Publik: Partai harus aktif dalam isu-isu yang dekat dengan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, sejalan dengan tradisi pelayanan sosial gereja, agar tidak terkesan eksklusif.
4. Adaptasi Digital dan Pendanaan Kreatif: Mengingat tantangan dana, partai baru harus memanfaatkan platform digital untuk kampanye dan penggalangan dana secara inovatif, serta membangun struktur partai yang ramping dan efisien.
Singkatnya, partai Kristen di masa depan harus berani melepaskan label sektarian, fokus pada agenda kebangsaan, dan menjadi “garam dan terang” bagi seluruh bangsa, bukan hanya bagi komunitasnya sendiri.
Jurnalis: SHN
Gambar: AI


