LBH Tangerang Soroti Dugaan Penyimpangan Tunjangan DPRD di Banten, Desak BPK Lakukan Audit Investigatif

Spread the love

LBH Tangerang Soroti Dugaan Penyimpangan Tunjangan DPRD di Banten, Desak BPK Lakukan Audit Investigatif

Tangerang — Kasus penyimpangan tunjangan perumahan dan transportasi yang sejak 2022 ditangani aparat penegak hukum ternyata terjadi di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat. Di Bekasi, Indramayu, hingga Kota Banjar, perkara tersebut bahkan sudah masuk ranah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Negeri setempat.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tangerang, Rasyid Hidayat, SH, menegaskan bahwa kasus di tiga daerah itu bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat. Menurutnya, akar persoalan terletak pada penetapan besaran tunjangan perumahan dan transportasi yang tidak sesuai dengan harga pasar.
“BPK menemukan ada penetapan tanpa survei Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), atau KJPP yang dipakai justru tidak kredibel dan tidak berizin,” ujar Rasyid, Jumat (19/9/2025).

Ia kemudian mempertanyakan kinerja BPK Perwakilan Banten yang dinilai belum mengungkap dugaan serupa di wilayahnya. “Padahal secara kasat mata, tunjangan di Banten, termasuk Kota Tangerang, tidak rasional jika dibandingkan harga sewa rumah dan kendaraan sebenarnya,” tambahnya.

Sebagai contoh, Rasyid menyoroti Peraturan Wali Kota (Perwal) Tangerang Nomor 14 Tahun 2025 yang mengatur tunjangan transportasi DPRD. Dalam aturan itu, Ketua DPRD menerima Rp29 juta per bulan, wakil ketua Rp28,75 juta, dan anggota Rp28,2 juta. Angka tersebut jauh di atas standar sewa kendaraan pejabat daerah yang ditetapkan Rp13,95 juta per bulan dalam Permenkeu Nomor 49 Tahun 2024 dan Perwal Nomor 9 Tahun 2025.

“Dalam PP Nomor 1 Tahun 2023 jelas disebutkan, tunjangan transportasi DPRD harus sesuai dengan standar satuan harga sewa kendaraan. Jadi, penetapan lebih tinggi dari standar itu melanggar aturan,” tegasnya.

Rasyid juga mengkritik jika ada regulasi daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat. “Ini pelanggaran serius, karena bertentangan dengan Permenkeu dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak masuk akal jika Ketua DPRD mendapat tunjangan Rp. 29 juta sementara kepala daerah hanya Rp13,95 juta per bulan,” jelasnya.

Ia mendesak agar BPK Banten segera turun tangan menelaah lebih dalam praktik pemberian tunjangan di DPRD Kota Tangerang maupun daerah lain di Banten. “Selisih tunjangan ini jelas berpotensi menimbulkan kerugian daerah dan harus dikembalikan ke kas daerah,” tegasnya.

Rasyid menutup pernyataan dengan nada keras, “BPK Perwakilan Banten jangan mandul. Harus ada audit serius agar penyimpangan ini tidak terus berlanjut.”

Tinggalkan Balasan