KUOTA 30% PEREMPUAN DI PARPOL: TIDAK ADA WAKTU LAGI UNTUK PEMBOHONGAN—Kesetaraan Harus Terwujud SEKARANG!

Spread the love

Bogor – Perdebatan perihal peran dan kontribusi perempuan dalam ranah politik tidak pernah selesai dan kerapkali sengaja diabaikan—namun kesetaraan gender bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Salah satu faktor penyebab terbengkalainya suara perempuan dalam perpolitikan di negara ini ialah budaya patriarki yang masih mengakar—menganggap laki-laki lebih punya hak istimewa dibanding perempuan. Ini menjadi penghalang utama bagi emansipasi perempuan—proses melepaskan perempuan dari penindasan dan pemberian akses yang setara untuk menguasai dirinya sendiri dan berpartisipasi dalam kehidupan publik, yang merupakan dasar dari kesetaraan yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Gajah lan sapi ora beda kalibre”—gajah dan sapi tidak berbeda dalam nilai, artinya setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki martabat dan potensi yang sama.

Namun, adanya sistem kuota 30 persen tidak hanya sekadar kebijakan, melainkan juga wujud upaya yang kritis untuk menegakkan kesetaraan gender sesuai amanat Konstitusi Indonesia Tahun 1945 dan mendorong emansipasi perempuan di ranah politik. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang setara dan sama dalam pengadilan dan pengadilan lain yang sah menurut hukum”—ini berarti tidak ada beda perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik. Sementara Pasal 28I ayat (2) menekankan bahwa “setiap orang bebas dari diskriminasi dan berhak atas perlindungan terhadap diskriminasi apa pun berdasarkan apa pun juga”—yang secara tegas melarang setiap bentuk diskriminasi gender yang menghambat kesetaraan. Kedua pasal ini menjadi landasan konstitusional yang tak terbantahkan bahwa kesetaraan dan emansipasi laki-laki dan perempuan harus diwujudkan dalam semua ranah, termasuk politik. Contohnya, di India yang juga menerapkan kuota perempuan di parlemen, keterwakilan perempuan naik dari 11% ke 33% dalam waktu 5 tahun, yang langsung berdampak pada peningkatan kebijakan yang memihak perempuan seperti akses pendidikan dan kesehatan—bukti bahwa kuota dan kesetaraan bisa menghasilkan perubahan nyata.

Adanya sistem kuota 30 persen membuka ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam masalah politik—sebuah langkah krusial yang tidak bisa dilewati dalam pencapaian kesetaraan. Di Indonesia, upaya untuk mencapai kuota 30% perempuan di meja parlemen telah dilakukan sejak Pemilu 1999. Namun, masih terdapat tantangan baik dari segi elektoral maupun non-elektoral yang menyebabkan suara perempuan tidak terakomodasi secara baik—yang berarti amanat konstitusi tentang kesetaraan dan tujuan emansipasi belum sepenuhnya terealisasi, dan kita masih jauh dari demokrasi yang sebenarnya.

Berdasarkan data BPS misalnya, disebutkan bahwa pada Pemilu 2019 terbukti bahwa jatah 30 persen itu belum sepenuhnya terealisasi. Keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI—angka yang sangat jauh dari target kesetaraan yang seharusnya tercapai. Bandingkan dengan Swedia yang mencapai 47% keterwakilan perempuan di parlemen: negara itu sukses mengurangi kemiskinan perempuan sebesar 60% dan meningkatkan partisipasi perempuan di pasar kerja—bukti bahwa kesetaraan politik berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat.

Salah satu diskusi yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) bertema Talkshow Perempuan dan Politik: Jejak, Peran, dan Strategi memberikan penilaian yang tegas bahwa peran perempuan hanya dijadikan formalitas oleh partai politik, bukan melalui proses kaderisasi yang baik. Contoh nyatanya: pada Pemilu 2024, beberapa partai hanya menempatkan perempuan di urutan ke-5 atau ke-6 daftar calon—posisi yang sulit untuk menang, meskipun ada kuota. Hal ini menjadi salah satu kendala serius yang sangat berbahaya mengapa peran perempuan dalam sektor politik tidak terlalu terakomodasi dengan baik—dan menjadi penghalang nyata untuk mewujudkan kesetaraan dan emansipasi yang diinginkan. Karena kesetaraan tidak bisa dicapai hanya dengan “melihat cantik” melalui kuota yang tidak terisi dengan benar, tetapi harus melalui keterlibatan yang sebenarnya dan berkwalitas. Seperti pribahasa Jawa lain yang mengatakan: “Ojo nganggo wong kanggo patokan”—jangan gunakan orang hanya sebagai tanda-tanda, artinya perempuan tidak boleh hanya dijadikan hiasan, tetapi harus diberikan peran yang sebenarnya.

Benar bahwa upaya untuk mengakomodasi suara perempuan dalam politik tidak hanya tanggung jawab partai politik saja, tetapi juga harus melibatkan seluruh suara dan kesadaran masyarakat secara luas. Karena kesetaraan adalah tanggung jawab semua orang, bukan hanya perempuan atau partai politik. Contohnya, di Kota Surabaya, komunitas warga aktif mendukung calon perempuan dengan mengadakan kampanye edukasi pemilih—hasilnya, keterwakilan perempuan di DPRD Kota Surabaya naik menjadi 32% pada Pemilu 2024, melebihi target nasional.

Keterwakilan perempuan dalam politik adalah salah satu elemen sangat penting dalam demokrasi yang sehat dan berkelanjutan—dan juga bagian tak terpisah dari kesetaraan dan emansipasi yang diamanatkan konstitusi. Dalam konteks beberapa partai politik sendiri, hadirnya perempuan di posisi-posisi penting seperti Wakil Ketua Dewan Pembina, Anggota Dewan Pembina, Anggota Mahkamah Partai, dan Bendahara Umum telah memberikan contoh positif yang kuat perihal pelibatan perempuan dalam ranah internal parpol dan kemajuan kesetaraan. Contohnya, seorang anggota Mahkamah Partai di Jawa Timur berhasil menuntut partai untuk menerapkan proses kaderisasi perempuan yang adil—hasilnya, jumlah calon perempuan dari partai itu naik sebesar 40% pada Pemilu terbaru. Ini membuktikan bahwa perempuan mampu memegang posisi penting dan berkontribusi secara signifikan dalam pengambilan keputusan politik.

Pengaruh kuat kalangan pemimpin muda di jejaring sosial dan kalangan anak muda juga bisa menjadi nilai surplus bagi partai-partai yang ingin melibatkan suara perempuan dalam ranah politik. Popularitas mereka di media sosial memungkinkan partai menyebarkan pesan-pesan politik perihal pentingnya mengakomodasi kaum perempuan—contohnya, gerakan #PilihPerempuan yang digagas oleh pemimpin muda di Instagram berhasil mencapai 5 juta tayangan dan meningkatkan kesadaran pemilih muda tentang pentingnya keterwakilan perempuan. Hal ini dapat memperluas pemahaman tentang kesetaraan di kalangan generasi muda dan mendapatkan dukungan yang lebih luas untuk perubahan positif.

Upaya melibatkan suara perempuan di lingkungan partai politik setidaknya memberikan pendidikan politik bagi seluruh perempuan di Indonesia—yang menjadi dasar bagi emansipasi dan kesetaraan. Apa yang ditunjukkan beberapa partai telah menjadi langkah nyata untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di berbagai posisi di partai—termasuk pengangkatan perempuan sebagai anggota dewan pimpinan pusat serta pencalonan perempuan dalam pemilu dan pemilu daerah. Namun tugas partai tidak cukup di tahap itu, masih ada tugas lain yang harus mereka kerjakan untuk menutupi jarak yang luas antara amanat konstitusi, tujuan emansipasi, dan realitas kesetaraan di lapangan.

Tugas tersebut tercermin misalnya terkait adanya fakta bahwa kurangnya keterwakilan perempuan, meskipun sudah ada, di berbagai lembaga politik seperti parlemen dan pemerintahan daerah adalah indikasi nyata dari lemahnya suara perempuan dan gagasan kesetaraan yang belum meresap. Meskipun jumlah perempuan di Indonesia sekitar setengah dari populasi, proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga politik masih sangat rendah—contohnya, di Provinsi Nusa Tenggara Barat, keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi hanya mencapai 15% pada Pemilu 2024—yang menunjukkan bahwa emansipasi di ranah politik dan pencapaian kesetaraan masih memiliki jalan panjang yang harus dilalui.

Menyuarakan hak perempuan tentu bukanlah hal yang mudah dalam konteks Indonesia secara umum. Masih ada ketidaksetaraan gender yang signifikan di Indonesia, terutama dalam hal partisipasi politik. Stereotip sosial yang menuduh perempuan kurang kompeten dalam urusan politik dan kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kurang terakomodasinya suara perempuan—contohnya, seorang calon perempuan di Jawa Tengah pernah ditolak oleh pihak partai karena dianggap “terlalu lemah untuk berdebat”—padahal dia adalah lulusan magister hukum dengan pengalaman kerja 10 tahun di lembaga hukum. Hal ini membuat perempuan sering kali tidak mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama, serta menghambat emansipasi dan kesetaraan yang sebenarnya.

Stereotip tersebut kemudian diperkuat dengan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia. Budaya patriarki ini menjadi penghalang yang tebal bagi partisipasi aktif perempuan dalam politik. Perempuan dianggap lebih cocok di rumah dan dalam pekerjaan domestik, sehingga mereka sering kali tidak didorong untuk terlibat dalam kebijakan publik dan pengambilan keputusan politik—yang bertentangan langsung dengan amanat konstitusi tentang kesetaraan dan tujuan emansipasi perempuan. Contohnya, di beberapa daerah di Sumatera Utara, orang tua masih sering melarang anak perempuan untuk terlibat dalam politik karena dianggap “tidak pantas untuk perempuan”—padahal ini melanggar hak asasi manusia yang diamanatkan konstitusi. Seperti yang dikatakan dalam pribahasa Jawa: “Wong wadon ora mung kanggo njaga omah”—perempuan bukan hanya untuk mengurus rumah, artinya peran perempuan jauh lebih luas dari pada tugas domestik.

Perkembangan dinamika politik Indonesia yang semakin terbuka tidak boleh lagi menjadi alasan untuk menunda perubahan. Upaya yang telah diambil oleh beberapa partai adalah langkah awal—namun itu masih tidak cukup. Amanat Konstitusi Indonesia tidak bisa diabaikan, tidak bisa diubah, dan tidak bisa diputarbalikkan: setiap orang berhak atas kesetaraan, termasuk dalam politik.

Kuota 30% bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai kesetaraan yang sesungguhnya. Partai-partai politik harus berhenti bermain-main dengan formalitas dan pembenaran. Hentikan menempatkan perempuan di posisi yang tidak berdaya, hentikan merendahkan potensi mereka, dan hentikan melanggar hak asasi manusia yang diamanatkan UUD 1945.

Waktu sudah habis untuk berharap. Saatnya beraksi—sekarang juga—untuk menjadikan kuota 30% perempuan di parpol sebagai kenyataan, bukan sekadar kata-kata kosong. Karena hanya dengan kesetaraan yang terwujud, Indonesia bisa menjadi negara demokrasi yang sebenarnya dan adil bagi semua warganya.

Penulis: Kefas Hervin Devananda

Tinggalkan Balasan