Jakarta,22 September 2025 Dalam sorotan tajam terhadap perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana, sejumlah tokoh dari berbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan mendesak agar RUU ini segera dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Namun, realitas menunjukkan bahwa perjalanan RUU ini telah menemui berbagai hambatan, termasuk kurangnya kemauan politik dari partai politik di DPR.
Dialog Kebangsaan bertajuk “Macetnya RUU Perampasan Aset Koruptor” yang digelar secara daring pada 21 September 2025, menjadi ajang penting bagi para narasumber untuk menyampaikan pandangan kritis mereka. Sahat Martin Sinurat, Ketua Umum PP GAMKI, menyatakan bahwa RUU ini telah digagas sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri dan telah masuk dalam Prolegnas, namun belum kunjung dibahas dan disahkan oleh DPR.
“Kita bisa mendesak pemerintah dan DPR, tapi kalau partai politik tidak punya spirit yang sama, tidak akan ada gunanya,” ungkapnya dengan nada yang penuh keprihatinan. Sementara itu, Dr. Djasermen Purba, Ketua Umum MUKI, menekankan bahwa RUU ini adalah regulasi vital untuk mempercepat pemulihan kerugian negara dan memperkuat sistem hukum nasional.
Pdt. Dr. Japarlin Marbun, Ketua Umum BAMAGNAS, menyatakan dukungan penuh terhadap pengesahan RUU ini dan mengusulkan pembentukan Kaukus Kebangsaan untuk memberikan tekanan yang lebih kuat. Namun, Pdt. Harsanto Adi dari Asosiasi Pendeta Indonesia memberikan pandangan yang lebih mendalam, bahwa gereja harus menjadi “rahim” yang melahirkan politisi, pejabat, dan pengusaha yang memiliki rasa takut akan Tuhan dan bekerja sesuai firman-Nya.
Dalam sorotan kritis ini, kita dapat melihat bahwa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bukan hanya sekedar regulasi, tetapi juga merupakan cerminan dari komitmen politik dan moral bangsa. Apakah kita akan terus menunggu ataukah bertindak untuk menyelamatkan keuangan negara dan memperkuat sistem hukum nasional?
Jurnalis Vicken Highlanders, Editor Romo Kefas.