Kolom Agama di KTP: Sebuah Ironi dalam Bingkai Toleransi?

Spread the love

Bogor – Perdebatan tentang kolom agama di KTP kembali menghiasi ruang publik, dan seperti biasa, kita disuguhi pertunjukan yang—boleh jadi—agak menggelikan tentang hak minoritas, kebebasan berkeyakinan, dan kemanusiaan. Namun, izinkan saya bertanya, apakah kita tidak merasa ada yang ganjil dengan semua ini? Seolah-olah, kita sedang berusaha menutupi sesuatu yang kurang sedap dengan kain sutra bernama toleransi.

Kita lantang berbicara tentang Pancasila, tentang Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan seringkali terasa seperti parodi dari nilai-nilai luhur itu. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung bagi semua warga, justru—dengan segala hormat—terkadang bertingkah seperti penata identitas yang memaksa penganut kepercayaan lokal untuk berbaris rapi di bawah bendera agama-agama yang “disetujui”. Kejadian ini mengingatkan kita pada pribahasa Sunda, ‘Jati kasilih ku junti’, yang berarti yang asli tersisih oleh yang palsu. Begitulah kiranya gambaran kepercayaan lokal yang terpinggirkan oleh dominasi agama-agama yang diakui. Padahal, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan santun mengingatkan kita bahwa setiap penduduk memiliki hak untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai keyakinannya.

Putusan Mahkamah Konstitusi? Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang memperbolehkan pengisian kolom agama dengan kepercayaan, tentu saja patut diapresiasi. Namun, mari kita telaah lebih dalam. Putusan ini lahir sebagai respons atas diskriminasi yang dialami penghayat kepercayaan yang sebelumnya tidak diakomodasi dalam kolom agama di KTP dan KK. Sebelum putusan ini, mereka dipaksa memilih agama yang diakui atau mengosongkan kolom tersebut, yang berpotensi menimbulkan masalah dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, apakah putusan ini benar-benar menyelesaikan masalah? Atau jangan-jangan, ini hanyalah sekadar pil pahit yang terpaksa kita telan demi menjaga citra sebagai negara yang toleran, sementara di sisi lain, kita masih melihat ‘Gajah ngidak rapah’, sebuah peribahasa yang menggambarkan bagaimana aturan yang dibuat sendiri justru dilanggar dalam praktiknya.

Putusan MK ini memerintahkan agar kolom agama pada KTP dan KK dapat diisi dengan kepercayaan yang dianut oleh setiap warga negara. Bagi penghayat kepercayaan yang agamanya belum diakui agama, kolom agama dapat diisi dengan tanda strip (-). Secara hukum, putusan ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak konstitusional penghayat kepercayaan. Secara sosial, putusan ini diharapkan dapat mengurangi diskriminasi dan stigma terhadap penghayat kepercayaan, serta meningkatkan akses mereka terhadap layanan publik.

Sayangnya, penghayat kepercayaan, meski sudah “diakui”, masih seringkali menjadi warga kelas dua, menghadapi stigma dan kesulitan dalam mengakses layanan publik. Ambil contoh kasus Ibu Sinta (nama samaran), seorang penghayat kepercayaan di Jawa Tengah yang—dengan segala hormat—mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan saat mengurus BPJS hanya karena kolom agamanya tidak sesuai dengan “standar” yang berlaku. Bukankah ini ironis, mengingat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia seharusnya melindungi hak-hak beliau?

Lalu, dalih kemanusiaan? Alasan ini—mohon maaf—terdengar sedikit ketinggalan zaman. Apakah di era digital ini kita masih mengandalkan kolom agama di KTP untuk mengidentifikasi jenazah? Bukankah lebih masuk akal jika kita berinvestasi pada teknologi forensik modern yang lebih akurat dan—tentu saja—lebih manusiawi? Ingat tragedi bom Bali? Identifikasi korban tidak hanya mengandalkan kolom agama, tetapi juga tes DNA dan sidik jari. Jadi, mengapa kita tidak fokus mengembangkan metode yang lebih canggih dan inklusif, yang sejalan dengan amanat UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan?

Saya—dengan segala kerendahan hati—merasa bahwa kita perlu berhenti bersandiwara. Kolom agama di KTP bukanlah jaminan kemanusiaan, melainkan—boleh jadi—sebuah alat yang—tanpa kita sadari—justru melanggengkan diskriminasi. Implementasi putusan MK ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah mengenai putusan MK, serta masih adanya resistensi dari sebagian masyarakat. Pemerintah dan masyarakat perlu terus bekerja sama untuk memastikan bahwa hak-hak penghayat kepercayaan dihormati dan dilindungi sepenuhnya.

Sebagai jurnalis, saya—dengan segala hormat—menolak untuk menjadi bagian dari sandiwara ini. Saya mengajak kita semua untuk merenungkan kembali keberadaan kolom agama di KTP. Apakah kita benar-benar membutuhkannya? Atau jangan-jangan, kita hanya takut kehilangan identitas jika kolom itu dihapus? Jika kita benar-benar peduli pada kemanusiaan, mari kita berani membuka diri terhadap perubahan dan membangun Indonesia yang lebih inklusif dan adil bagi semua.

Oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas), Jurnalis Pewarna Indonesia, Aktivis dan Penggiat Sosial

Tinggalkan Balasan