Kolom Agama di KTP: Dilema Antara Pengakuan Identitas dan Potensi Diskriminasi

Spread the love

JAKARTA (6 Oktober 2025) – Diskusi publik yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia, Asosiasi Pendeta Indonesia, dan Simposium Setara Menata Bangsa kembali menghidupkan perdebatan mengenai kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Isu ini menyentuh ranah hak asasi manusia, identitas kebangsaan, dan implementasi konstitusi pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya di KTP. Dalam diskusi bertajuk “Kolom Agama di KTP – Perlukah?”, Senator DPD RI, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa, S.E., M.Si. (AWK), memberikan pandangan komprehensif, didampingi penanggap Yohanis Henukh dan moderator Ashiong P. Muthe.

AWK menggarisbawahi sejarah kompleks agama di Nusantara, membedakan agama besar (termasuk Hindu sebagai agama tertua) dengan agama-agama lokal. Ia mengakui adanya periode di masa Orde Baru di mana negara melakukan “pengarahan atau bahkan mungkin pemaksaan” kepada penganut kepercayaan lokal untuk memilih salah satu dari lima agama resmi.

“Agama Hindu, secara historis, justru mendapatkan tambahan umat yang signifikan pada masa ini,” ungkap AWK, merujuk pada penganut agama lokal seperti Hindu Kaharingan, Parmalim, dan Sunda Wiwitan yang memilih bernaung di bawah Hindu Dharma.

Mengenai urgensi kolom agama, AWK menegaskan bahwa Putusan MK telah memberikan dua pilihan: mengosongkan kolom agama atau mencantumkan nama agama/penghayat kepercayaan. Ia menyebutkan data (yang perlu diverifikasi) bahwa sekitar sepuluh ribu warga negara Indonesia telah mengganti status agamanya menjadi penghayat kepercayaan sejak Januari hingga Oktober 2020.

Namun, AWK menekankan aspek humanisme dan mitigasi bencana. Ia berargumen bahwa kolom agama diperlukan dalam situasi darurat untuk menentukan perlakuan jenazah sesuai keyakinan. “Roh, jiwa, dan raga itu kan tidak terpisah,” ujarnya, menekankan pentingnya perlakuan yang tepat terhadap jenazah.

Menanggapi kriteria agama dan potensi tuntutan fasilitas negara oleh agama lokal, AWK menyatakan bahwa agama-agama lokal hampir seluruhnya memenuhi syarat dasar. Ia juga menjelaskan bahwa aliran kepercayaan berada di bawah Kemendikbud, bukan Kementerian Agama.

Yohanis Henukh memberikan pandangan bahwa selama Indonesia masih memiliki Kementerian Agama, kolom agama di KTP masih sangat diperlukan. Sementara itu, Paulus Suyatno merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat 2 sebagai dasar hukum yang menjamin kebebasan berkeyakinan.

Moderator, Ashiong, menyinggung dampak negatif dari masih adanya kolom agama di KTP. AWK mengakui bahwa keberadaan kolom agama memiliki “lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya” karena di sana “muncul satu politik angka.” Ia mencontohkan bahwa agama minoritas dirugikan oleh masalah sensus dan politik angka ini. Selain itu, ia mengakui bahwa kolom agama di KTP juga berpotensi memunculkan diskriminasi.

AWK menyimpulkan bahwa argumentasi yang menolak pencantuman kepercayaan di KTP bisa dipatahkan karena alas hukumnya sudah jelas. Ia mengajak semua pihak untuk menahan diri dan mendukung upaya menjalankan Putusan MK.

Diskusi ini menyajikan gambaran bahwa masalah Kolom Agama di KTP adalah isu yang berakar pada sejarah, diikat oleh konstitusi, dan dihadapkan pada tantangan implementasi kependudukan.

Jurnalis: Kefas Hervin
Editor: Tri Satini

Tinggalkan Balasan