Bogor – Di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering kali lupa bahwa kebenaran adalah fondasi dari keadilan. Namun, apa yang terjadi ketika kebenaran itu sendiri menjadi korban dari kekuasaan yang zalim? Kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan di Indonesia, seperti intimidasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan penghinaan, menunjukkan betapa pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan dalam menangani kasus-kasus tersebut.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, kebebasan pers memainkan peran penting dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Namun, kondisi jurnalis di Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Banyak jurnalis yang menghadapi intimidasi, kekerasan, dan ancaman dalam menjalankan tugasnya, seperti pengiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, dan pembunuhan jurnalis Juwita dari Newsway.co.id Perlakuan tidak menyenangkan lainnya yang sering dialami oleh wartawan termasuk pemblokiran media sosial, panggilan telepon mengancam, penganiayaan fisik, pelecehan seksual, dan umpatan serta cercaan yang ditujukan kepada mereka.
Situasi ini semakin diperparah dengan adanya sejumlah pejabat yang sering kali nyinyir terhadap wartawan, sehingga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kebebasan pers. Sikap pejabat yang tidak menghargai peran wartawan dalam mengawal demokrasi dan menyampaikan kebenaran kepada masyarakat dapat memperlemah upaya penegakan keadilan dan transparansi.
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan berpegang pada asas-asas hukum yang berlaku, seperti asas legalitas, non retroaktif, lex specialis derogat legi generali, lex posterior derogat legi priori, dan lex superior derogat legi inferior. Mereka juga harus memperhatikan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi asas kekeluargaan, kedaulatan rakyat, dan pembagian kekuasaan. Selain itu, wartawan juga berpegang pada Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang menjamin kemerdekaan pers dan mengatur perilaku wartawan dalam menjalankan tugasnya.
Dalam konteks filosofi Jawa, konsep keadilan dan kebenaran dapat dihubungkan dengan konsep “Manunggaling Kawulo Gusti”, yaitu kesatuan antara manusia dan Tuhan. Keadilan dan kebenaran bukan hanya tentang kepentingan manusia, tetapi juga tentang keseimbangan dan harmoni dengan Tuhan. Seperti yang tertulis dalam Kitab Mikha 6:8, “Manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apa yang dituntut TUHAN dari padamu: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.” Ayat ini menekankan bahwa keadilan dan kebenaran adalah perintah Tuhan, dan kita harus berlaku adil dalam segala aspek kehidupan.
Mari kita berjuang bersama-sama untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan beradab, dengan keyakinan bahwa “Satyam Eva Jayate” – Hanya Kebenaran yang Berjaya. Dengan berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan, kita dapat mengatasi kejahatan dan ketidakbenaran, dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan damai. Tuhan Yesus Memberkati. Selamat menjadi berkat bagi dunia ini.
Oleh Kefas Hervin Devananda [Romo Kefas]