Ketika Kata-Kata Menusuk: Penghinaan Terhadap Suku Sunda, Perselisihan Antara Hukum, Budaya, dan Kesadaran Masyarakat

Spread the love

Bogor,15 Desember 2025 Dalam seminggu terakhir, nama Muhammad Adimas Firdaus Putra Nashihan alias Resbob meledak di media sosial — bukan karena karya yang hebat, melainkan karena video siaran langsungnya yang menyebarkan kata-kata kasar yang tegas dianggap menghina suku Sunda dan suporter Persib Bandung, Viking. Kasus ini tidak hanya membakar kemarahan ribuan warga, tetapi juga membuka luka baru tentang apakah negara sungguh-sungguh melindungi identitas etnis dan nilai-nilai budaya lokal. Apalagi sampai hari ini, proses hukumnya tidak menunjukkan satu pun tanda-tanda kemajuan yang jelas — meskipun laporan telah diterima oleh dua pihak kepolisian, Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Barat, sejak 12 Desember 2025.

Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu benar-benar memahami karakteristik urang Sunda yang menjadi inti identitas mereka: mereka cenderung ramah dan sopan sampai ke titik menyapa orang asing dengan “bapak/ibu”, memiliki etos kerja yang keras dengan semangat “negaraku kersa” (negara yang kuasihi), menjunjung tinggi kebersamaan dan gotong royong sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, serta memiliki sikap tenang dan sabar — namun tegas ketika prinsip-prinsip yang dipegang teguh diserang.

Sebagai bangsa yang mengaku bangga dengan keragaman, kita tidak boleh melupakan pesan dari pribahasa Sunda yang penuh filosofi: “Beda-beda asal bisa rahayu, beda-beda asal bisa urang” — berbeda-beda tidak masalah asal bisa hidup rukun, berbeda-beda tidak masalah asal tetap satu bangsa. Penghinaan terhadap kelompok etnis seperti yang dilakukan Resbob adalah pelanggaran yang jelas terhadap nilai ini yang telah diturunkan oleh karuhun selama berabad-abad.

Reaksi dari berbagai tokoh Sunda pun segera muncul, mencerminkan keprihatinan dan tegasnya sikap terhadap penghinaan tersebut. Respons dari Kang Dedi Mulyadi (KDM) selaku Gubernur Jawa Barat pun muncul setelah banyak didesak warganet. Dalam unggahan Instagramnya pada Jumat (12 Desember 2025), KDM menegaskan dirinya tidak tinggal diam, namun meminta masyarakat tetap tenang: “Warga Sunda sedang ramai dengan Resbob, stay calm”. Ia juga menekankan bahwa kasus ini sudah resmi dilaporkan dan harus diserahkan ke aparat penegak hukum: “Sudah dilaporkan, biarkan hukum yang menyentuh. Jangan kotori mulut dan tangan kita lagi”. Beberapa hari kemudian, ketika memantau bencana banjir di Aceh, KDM kembali menyentil dengan gaya khasnya: “Warga Aceh ngopi sambil numpang charge handphone karena listrik masih padam. Warga Sunda sedang ramai dengan Resbob, stay calm karena kita ahli membunuh tanpa menyentuh”. Kata-katanya yang santai namun tegas mencerminkan nilai sopan santun orang Sunda yang tidak perlu main fisik, tetapi percaya pada konsekuensi hukum yang tepat.

Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan juga mengaku secara pribadi terhina dan marah: “Saya sebagai orang sunda merasa sangat terhina dan sangat marah. Saya berharap kepolisian segera menangkap orang tersebut karena ini sudah sara dan bisa memecah belah bangsa”. Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak menggeneralisasi kesalahan satu orang ke seluruh suku: “Jangan dendam kepada suku nya, karena tidak semua sama. Fokus pada oknum tersebut”.

Dari sisi hukum, penghinaan terhadap suku tertentu adalah pelanggaran yang serius dan tidak bisa dibebaskan oleh alasan apapun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, pelaku dapat diancam penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda Rp500 juta. Selain itu, Pasal 156 KUHP mengatur pidana penjara paling lama 4 tahun bagi siapa pun yang menyebarkan permusuhan atau penghinaan terhadap golongan rakyat. Bahkan, berdasarkan UU ITE Nomor 1 Tahun 2024, Resbob juga terancam Pasal 45a ayat (2) yang mengatur pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda Rp1 miliar untuk penyebar konten hasutan kebencian di media sosial.

Namun, dalam kenyataan yang menyakitkan, penegakan hukum terhadap kasus seperti ini seringkali terjebak dalam “proses yang sedang ditindaklanjuti” tanpa hasil. Kasus Resbob adalah contohnya: meskipun polisi menyatakan telah melakukan profiling akun, melacak lokasi, bahkan mendatangi orang tua dan pacarnya di beberapa kota, sampai saat ini tidak ada satu pun tindakan konkrit — tidak ada penangkapan, tidak ada panggilan tersangka, tidak ada tahap penyidikan yang jelas. Hal ini membuat banyak pihak meragukan: apakah hukum hanya ada di kertas, atau sungguh ada untuk melindungi martabat kelompok etnis yang sopan namun tidak mau dihina?

Reaksi tegas juga datang dari tokoh masyarakat dan kalangan seniman. Aktor Ganindra Bimo menuliskan kalimat dalam bahasa Sunda yang penuh semangat: “Teang, salsa keun jeung a ing, atur weh kumaha jeung iraha na (cari, hadapi saya, tentukan sendiri mau bagaimana dan kapan)”. Responsnya dinilai sebagai bentuk keberatan terhadap penghinaan yang terjadi. Sementara itu, komedian Sule memberikan komentar yang pedas namun penuh makna: “Kalau masalah rasis nih ya guys dengerin. Anjing itu najis air liurnya, tapi anjing masih setia dan dia masih punya etika. Tapi mulutmu lebih najis daripada anjing”. Ia juga mengingatkan bahwa mulut adalah harimaumu yang tidak boleh disia-siakan.

Pribahasa Sunda “Tinimbang lalampahan, ngan ukur ka sampah” — sebelum melakukan tindakan, pikirkan akibatnya seperti membuang sampah — juga relevan di sini. Resbob mungkin tidak memikirkan konsekuensi hukum dan emosional dari kata-katanya, tetapi negara memiliki kewajiban mutlak untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum mendapatkan konsekuensi yang pantas. Kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945 tidak berarti hak untuk menyakitkan atau menghina — ada batas yang jelas, dan batas itu telah dilanggar Resbob.

Masyarakat Sunda memiliki kekayaan budaya yang luas dan terkenal di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri — mulai dari kesenian seperti angklung, gamelan, dan wayang golek, hingga nilai-nilai yang menjadi jiwa mereka. Semua ini tercakup dalam filosofi “Silih asah, silih asih, silih asuh” (saling belajar, saling mengasihi, saling merawat) yang membuat mereka hidup rukun. Selain itu, bahasa Sunda dengan tingkatan sopan (basa krama, basa madya, basa ngoko) adalah bukti nyata rasa hormat mereka terhadap sesama — sesuatu yang jarang ditemukan di bahasa lain.

Penghinaan terhadap suku Sunda tidak hanya merendahkan martabat individu dan kelompok yang pekerja keras dan sopan — itu juga melanggar akar-akar budaya yang telah ada sejak lama. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit hati yang mendalam, kemarahan, bahkan perpecahan dalam masyarakat. Dalam kasus Resbob, kata-katanya tidak hanya menghina suku Sunda, tetapi juga menyentuh titik lemah — rasa kebanggaan terhadap Persib Bandung yang telah menjadi simbol kebersamaan bagi jutaan orang Sunda.

Ketidakberadaan tanda-tanda kemajuan proses hukum juga membuat masyarakat Sunda merasa bahwa nilai-nilai budayanya dan karakteristik yang mereka junjung tinggi tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang layak dari negara. Ini berpotensi merusak kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum dan menimbulkan kesan bahwa penghinaan terhadap kelompok etnis dapat dilakukan dengan bebas tanpa konsekuensi.

Tokoh pemerintahan lokal juga turut berbicara. Wakil Bupati Bandung Barat Asep Ismail menyayangkan pernyataan Resbob yang bertolak belakang dengan semangat persatuan: “Pernyataan itu muncul di tengah upaya kita menguatkan persatuan. Ini menjadi pembelajaran bagi siapa pun agar tidak asal berbicara. Dalam islam ditegaskan, diam lebih baik daripada berbicara jika ucapan kita tidak mengandung kebaikan”. Ia juga menegaskan bahwa tindakan penghinaan tidak dapat ditoleransi dan harus diproses sesuai hukum. Sementara itu, Selly Andriany Gantina, anggota Fraksi PDI Perjuangan Komisi VIII DPR RI yang berasal dari Sunda, mengecam keras penghinaan tersebut: “Setiap ujaran yang merendahkan identitas etnis tertentu, dalam hal ini saudara Resbob yang diduga menghina masyarakat sunda, bukan hanya tidak pantas, tetapi juga berbahaya bagi persatuan bangsa”.

Pribahasa “Jangan nyerakah hak batur, jangan ngkhianat sahabat, jangan ngabdi bohong” — jangan merampas hak orang lain, jangan mengkhianati sahabat, jangan berdusta — mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki hak untuk dihormati, termasuk hak atas identitas budayanya. KDM juga mengingatkan masyarakat untuk tetap menjunjung nilai sopan santun: “Mati karena kerinduan pada sikap sopan santun yang ditunjukkan” — pesan yang sesuai dengan karakteristik orang Sunda yang tidak mau terjebak emosi dan tetap menjaga martabat.

Kasus penghinaan terhadap suku Sunda yang dilakukan Resbob adalah pengingat yang keras bagi kita semua tentang pentingnya menghormati identitas etnis, karakteristik yang membuat setiap kelompok unik, dan nilai-nilai budaya lokal. Reaksi dari berbagai tokoh Sunda menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam ketika martabat dan identitas suku diserang — namun tetap menjunjung prinsip hukum dan sopan santun.

Dari sisi hukum, penegakan hukum yang tegas dan proporsional adalah keharusan — bukan pilihan — untuk memberikan rasa keadilan kepada korban dan mencegah perbuatan serupa di masa depan. Kecepatan dalam proses hukum menjadi kunci untuk menunjukkan bahwa negara serius dalam melindungi warganya — bukan hanya bercakap-cakap tentang keragaman, tetapi benar-benar melindunginya.

Dari sisi budaya, kita perlu melakukan upaya nyata untuk mempelajari, memahami, dan menghargai nilai-nilai serta tradisi budaya lokal. Hanya dengan demikian, kita dapat menuju masyarakat yang lebih harmonis, berkeadilan, dan sejahtera — sesuai dengan harapan dari pribahasa Sunda yang kita junjung tinggi dan panggilan para tokoh untuk melindungi martabat rakyat Jawa Barat dengan cara yang elegan dan sesuai hukum.

Oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Tinggalkan Balasan